Advertisement

OPINI: Koruptor Tertawa

Indra Tranggono
Jum'at, 13 Juli 2018 - 08:33 WIB
Sugeng Pranyoto
OPINI: Koruptor Tertawa Ilustrasi Korupsi

Advertisement

Kaum koruptor tertawa. Itu sudah lama terjadi. Bukan hanya kerena ringannya hukuman tapi juga oleh regulasi atau perundang-undangan yang menguntungkan mereka. Misalnya, diperbolehkannya kaum mantan koruptor menjadi caleg, meskipun sebelumnya KPU terang-terangan membuat regulasi yang melarang mereka melalui Peraturan KPU (PKPU). Hal lain yang membikin kita ngelus dada adalah tetap disahkannya kemenangan tersangka korupsi dalam pilkada serentak 2018.
Dalam konteks HAM, hak politik adalah hak yang melekat bagi siapa pun untuk mengaktualisasi dirinya dalam peran-peran sosial-politik. Tidak peduli jenis kelamin, latar belakang sosial, pendidikan, budaya dan agamanya. Sampai di sini, definisi itu bagus. Namun ketika dikaitkan dengan moralitas, definisi itu terasa bias. Sebab, dengan moralitas apa pun seseorang bisa mewujudkan hak-hak politiknya. Persoalannya menjadi genting ketika hal itu dikaitkan dengan moralitas para mantan koruptor, yang sudah terbukti bersalah berdasarkan pengadilan.

Dengan melakukan korupsi, sejatinya seseorang telah mengalami cacat integritas yang bukan tidak mungkin akan mempengaruhi cara berpikir dan berperilaku dalam menjalankan peran dan fungsi sosial-politik, meskipun ada kesempatan bagi mereka untuk memperbaiki perilakunya. Namun, pilihan yang terakhir bersifat gambling. Ya, kalau bisa, kalau tidak?
Jika cacat moral dan cacat integritas dikaitkan dengan kualitas kepribadian dan watak, sangat besar kemungkinannya seorang mantan koruptor mengulangi perbuatannya. Faktor hukuman melalui pemenjaraan fisik, tidak otomatis membuat mereka kapok, jera. Banyak orang walaaupun sudah dihukum tetap saja mengulangi perbuatan brutalnya dalam melanggar hukum.
Di penjara, seseorang justru mengalami proses pematangan sebagi pelaku tindak kriminal. Karena itu, sejatinya KPU melalui PKPU mencoba menjadikan produk-produk pileg (pemilihan legislatif) bersih. Parlemen pun diisi wakil-wakil rakyat yang segar dan punya integritas. Tidak direcoki dengan problem moral para bekas koruptor.
Kata “bekas” atau “mantan” tidak serta merta menggugurkan cacat integritas pelaku koruptor. Jika kata “bekas” itu dikaitkan dengan barang, yang terjadi adalah perubahan bentuk, fungsi dan sifat. Baru bekas tetap saja bisa dikenakan, meskipun warnanya telah pudar atau ada cacat kain. Tentu saja baju bekas tersebut tidak lagi memiliki nilai ideal baik secara estetik maupun fungsional. Begitu pula dengan bekas koruptor. Bagaimana pun cacat moralitas dan cacat integritas tetap menjadi faktor yang menjadikan mereka tidak memiliki kinerja ideal atau mendekati ideal. Namun, kenapa mereka tetap saja diberi ruang? Sangat mungkin hal ini berkaitan dengan kepentingan mereka yang berkuasa. Penguasa cenderung membuat aturan yang menguntungkan dirinya. Jika ada peraturan yang dinilai merugikan, mereka segera mengubah atau bahkan membatalkan.

Advertisement

Di Atas Hukum
Hukum ialah keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat. Peraturan dalam menjalankan kehidupan diperlukan untuk melindungi kepentingan dengan tertib (Van Kan). Sedangkan menurut Wiryono Kusumo, hukum adalah keseluruhan peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur tata tertib dalam masyarakat dan terhadap pelanggarnya umumnya dikenakan sanksi. Sedangkan tujuan dari hukum adalah untuk mengadakan keselamatan, kebahagiaan, dan ketertiban dalam masyarakat.
Seluruh definisi di atas menunjukkan bahwa hukum adalah sistem yang dijadikan alat untuk menjamin kepastian hak, kewajiban dan sanksi yuridis warga masyarakat sehingga semua hal bisa berjalan secara adil. Jadi muara operasionalisasi hukum adalah keadilan. Keadilan bersifan objetif, sesuai dengan realitas yang nyata dan faktual.
Di atas hukum ada nilai, etika dan moral. Nilai merupakan konsep ideal yang menjadi acuan dalam berpikir dan perilaku. Etika merupakan dasar, prinsip dan aturan hidup yang berorientasi pada kebaikan, keluhuran, kesopanan, adab, tata krama. Adapun moral adalah pengetahuan dan kesadaran tentang budi pekerti yang beradab. Hukum merupakan perangkat keras yang menjaga nilai, etika dan moral. Artinya, hukum diciptakan agar setiap masyaratakat hidup dalam orientasi kebenaran, kebaikan dan keindahan.
Namun, dalam praktiknya hukum tidak selalu diselaraskan dengan kebenaran, kebaikan dan keindahan. Seorang koruptor secara yuridis dinyatakan oleh pengadilan sebagai pihak yang tidak bersalah, meskipun dalam konteks kebenaran, kebaikan dan keindahan dia melanggar. Hanya karena si terdakwa dan penasihat hukumnya saja mampu membuat pembelaan dan rekayasa, maka seorang koruptor bisa dinyatakan tidak bersalah dan bebas dari hukuman. Persoalan ini lebih berkaitan dengan etika dan moral yang turunannya adalah kepantasan.
Maraknya korupsi dan segala penyimpangan hukum di negeri ini selalu berawal dari krisis etika dan moral. Dulu, ketika kehidupan belum permisif seperti saat ini, orang masih punya rasa malu untuk mencuri, atau merampas hak orang lain. Kepantasan personal dan kolektif masih dijunjung tinggi, karena orang selalu ingin mencapai martabat.
Tradisi hidup dalam kepantasan personal dan kepantasan sosial bisa terus diperkuat dengan penumbuhan kesadaran atas nilai, etika dan moral dalam sistem pendidikan keluarga, masyarakat dan sekolah serta menegakkan hukum dan keadilan. Perbaikan moralitas yang dilakukan intensif dan sistemik berpotensi menekan korupsi. Begitu juga dengan pemberantasan korupsi tanpa kompromi bisa membungkam tawa kaum koruptor.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Mudik Lebaran, Gunungkidul Bakal Dijejali 154.000 Kendaraan

Gunungkidul
| Kamis, 28 Maret 2024, 18:07 WIB

Advertisement

alt

Film Horor Gunakan Unsur Islam dalam Judul, MUI Sebut Simbol Agama Harus di Tempat yang Pas

Hiburan
| Selasa, 26 Maret 2024, 09:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement