Advertisement

OPINI: Balada Negeri Para Penghujat

Nurudin
Sabtu, 18 Agustus 2018 - 08:25 WIB
Budi Cahyana
OPINI: Balada Negeri Para Penghujat Presiden Joko Widodo menyambangi Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di kediamannya, di Hambalang, Bogor. - Antara

Advertisement

Siapa pun yang keluar sebagai pemenang dalam pertarungan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 nanti, pasangan itu akan tetap dihujat oleh sebagian masyarakat. Pernyataan ini bukan tanpa alasan. Sejarah bangsa ini masih kental dilumuri oleh cacian dan makian sebagian masyarakat kepada para pemimpinnya. Presiden Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo tak lepas dari itu semua.

Apakah kondisi di atas mencerminkan masyarakat kita memang sedang sakit? Atau ada sebab lain yang membuat masyarakat kita terkesan kurang toleran, beringas, dan mau menang sendiri? Kita akan mencoba melihat persoalan bangsa ini dari kacamata lain.

Advertisement

Miskin Segalanya

Banyak orang bilang, bangsa ini adalah bangsa yang kaya. Kita kaya sebagai bangsa yang mewarisi budaya luhur hasil karya masyarakat terdahulu. Budaya luhur itu di antaranya sikap toleran dan menghargai kemajemukan karena kita selama ini terdiri dari berbagai suku, agama, ras dan antargolongan. Warisan penting itu juga sering kita dengarkan dari buku-buku pelajaran sekolah, cerita-cerita heroik dan teladan dari tradisi lisan.

Sejarah juga mencatat bahwa bangsa ini juga dibesarkan dari berbagai latar belakang yang sangat beragam. Pengalaman keragaman kehidupan di masa lalu sering dianggap menjadi spirit kehidupan kita di masa kini. Para pejabat pemerintah, orang tua, guru, dan siapapun yang peduli pada keragaman akan berupaya mengajarkan ajaran luhur warisan nenek moyang kita tersebut.

Nusantara kaya dengan peninggalan candi dan bangunan tua lainnya sebagai bukti bahwa itu membuat kita sering diklaim sebagai bangsa yang beradab. Dengan kata lain, bangsa yang pernah memiliki hasil karya seni tinggi pada zaman dahulu. Kita juga mewarisi berbagai bentuk kerajaan dengan beberapa latar belakang kepercayaan raja, sultan, dan pemimpin lainnya. Itu semua sering dianggap memperkaya jiwa bangsa kita dulu dan kini.

Tentu rekaman warisan leluhur di atas hanya ada dalam sejarah. Benar bahwa kita memang pernah mempunyai warisan adiluhung bangsa ini di masa lalu. Namun kita hanya selalu bangga dengan warisan tersebut dan merekamnya dalam teks-teks sejarah. Kita baca, kemudian kita cerna lalu kita lupakan karena diangggap sekedar nostalgia zaman dulu.

Kita memang kaya dalam soal warisan budaya adiluhung. Namun demikian kita miskin segalanya saat ini. Harusnya, warisan itu membuat kita lebih kaya dari para pendahulu. Bahkan saat ini kita terjerembab pada jurang kemiskinan. Miskin karena kita tidak bisa meneladani warisan luhur itu.

Coba lihat, warisan itu hanya ada dalam buku sejarah dan petuah bijak. Jika itu dikaitkan dengan perbedaan pendapat yang nyata ada di depan mata, hal demikian susah dilakukan. Kasus perbedaan kepentingan politik di Tanah Air akhir-akhir ini menjadi contoh konkret bagaimana miskinnya kita mewarisi ajaran luhur para pendahulu. Anggap saja kita sekarang miskin segalanya pada soal bagaimana menghadapi dan menyelesaikan perbedaan pendapat yang muncul di lingkungan sekitar. Berbeda pendapat saja susah apalagi bahu membahu menyelesaikan masalah di sekitar kita, apalagi masalah bangsa?

Kekuasaan

Kemiskinan warisan luhur bangsa itu kemudian menjadi semakin rumit jika sudah berkaitan dengan kepentingan. Kepentingan ini menjadi lebih ruwet jika sudah berkaitan dengan politik, sebut saja kepentingana politik. Dalam politik, apa pun seringkali dilakukan untuk meraih tujuan. Politisi bisa mudah berganti haluan jika sudah berkaitan dengan kepentingan.

Kekuasaan politik menjadi salah satu sebab mengapa kita sangat miskin dalam hal toleransi dengan orang yang yang berbeda pendapat. Masalahnya, perilaku menyimpang yang dipertontonkan elite politik kita yang kemudian ditiru masyarakat.

Kepentingan telah meluluhtantakkan sendi-sendi kehidupan masyarakat kita yang selama ini sangat majemuk. Kemiskinan akibat kepentingan tidak saja merembet pada masyarakat umum, tetapi juga oleh mereka yang punya gelar pendidikan tinggi.

Coba disimak pada lini masa media sosial. Orang cenderung hanya mau menyebar berita, informasi, link, gambar, grafis yang sesuai dengan kecenderungan dirinya. Bahkan seandainya informasi itu benar disebar tetapi membuat seseorang semakin marah pada kelompok lain juga kurang bijak, apalagi kebanyakan hoaks.

Kita sekarang hidup dalam masyarakat yang disebut the clicking monkeys. Artinya, julukan untuk orang yang dengan riang gembira mengklik dan menyebarluaskan hoaks ke sana ke mari, me-retweet atau mem-posting ulang di media sosial. Inilah yang terjadi pada kehidupan sosial di sekitar kita saat ini.

Menang

Saat kita sudah miskin warisan leluhur, didukung oleh kepentingan kekuasaan politik, yang ada dalam benak kita adalah bagaimana caranya menang. Jika sudah begini, maka segala cara akan dilakukan untuk meraih kemenangan politik. Kenyataan inilah yang sedang terjadi pada suhu politik di Tanah Air.

Asumsi ini tentu bukan sekadar meluapkan kejengkelan pada kondisi sekarang. Lebih dari itu, sejarah bangsa ini membuktikan pula bahwa setiap periode kepresidenan selalu tidak pernah memuaskan semua pihak. Lihat semua presiden di Indonesia tidak lepas dari hujatan. Anehnya, hujatan itu sangat tergantung kebutuhan saat itu juga, bukan pada kepentingan jangka panjang. Begitu kepentingannya terwadahi maka seseorang bisa akan berubah haluan secara drastis.

Melihat dinamika sejarah Indonesia, siapa pun presiden terpilih pada tahun 2019, maka ia akan tetap panen gugatan. Gugatan itu mengarah pada suka dan tidak suka. Inilah yang sering membuat masyarakat alergi politik. Politik dianggap sebuah permainan kotor, padahal yang kotor itu orang-orangnya.

Lalu sampai kapan kita bisa menjadi kaya raya dengan warisan leluhur yang adiluhung untuk dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari? Sejarah adiluhung bukan sekadar teks tulis yang dihafal, tetapi ia adalah pengejawantahan praktik rasa cinta kita kepada tanah air. Itu semua menjadi tugas kita semua.

*Penulis adalah Kepala Pusat Kajian Sosial Politik (PKSP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Kirab Pengantin Tebu di Pabrik Gula Madukismo

Bantul
| Selasa, 23 April 2024, 21:27 WIB

Advertisement

alt

Berikut Rangkaian Program Pilihan Keluarga Indonesia Paling di Hati, Hanya di MNCTV

Hiburan
| Selasa, 23 April 2024, 14:57 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement