Advertisement

OPINI: Disinformasi dan Peran Intelektual Organik

Finsensius Yuli Purnama
Selasa, 23 Oktober 2018 - 07:25 WIB
Budi Cahyana
OPINI: Disinformasi dan Peran Intelektual Organik Ilustrasi hoaks. - JIBI

Advertisement

Kondisi masyarakat yang sering dikacaukan oleh berbagai berita palsu maupun disinformasi seringkali tidak mendapatkan jawaban. Terakhir, permintaan maaf Ratna Sarumpaet (3/10) membuka tabir cerita yang dia buat dengan memberikan keterangan yang tidak benar. Maaf tentu sudah kita berikan, tetapi pelajarannya perlu kita endapkan. Perlu adanya campur tangan dari kaum intelektual. Antonio Gramsci menyebut, bahwa supaya kaum intelektual mampu mengubah situasi masyarakat, mereka harus menjadi bagian dari intelektual organik. Kondisi ideal tersebut tidak akan tercipta selama perguruan tinggi hanya hadir di tengah masyarakat bak menara gading.

Banjir (Dis)informasi

Advertisement

Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2010) dalam Blur: How to Know What's True in the Age of Information Overload menulis bahwa problem masyarakat saat ini bukanlah untuk mendapatkan sumber-sumber informasi. Akan tetapi, bagaimana menentukan berita yang benar dan penting bagi dirinya dalam situasi information overload. Dengan dibukanya kebebasan informasi didukung dengan teknologi internet beserta berbagai situs yang memungkinkan setiap orang menjadi prosumer (produsen sekaligus konsumer), maka informasi tidak bisa lagi terbendung.

Informasi yang seringkali tidak tepat tidak selalu terjadi karena adanya keterbatasan metode dan pengetahuan dari penulis amatir. Persoalannya adalah seringkali hal itu sengaja dibuat untuk kepentingan politis. Sementara di sisi lain, kaum intelektual yang seharusnya memberikan pencerahan seringkali tidak banyak berbuat.

Pendidikan tinggi sering diasoasikan dengan sebuah menara gading. Menara gading kurang lebih digambarkan sebagai sebuah tempat atau kedudukan yang serba mulia, enak, dan menyenangkan. Sekolah atau perguruan tinggi sebagai sebuah tempat yang menyenangkan sampai tahap ini tidak bermasalah. Memang sudah seharusnya sekolah menjadi tempat yang menyenangkan bagi para mahasiswa.

Konsekuensi logis dari deksripsi tersebut ditemukan pada arti kedua: tempat untuk menyendiri, misalnya tempat studi, yang memberi kesempatan untuk bersikap masa bodoh terhadap hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Inilah yang menjadi persoalan. Bahwa dalam situasi yang menyenangkan tersebut orang menjadi asyik dengan dirinya sendiri dan bersikap masa bodoh akar dari keterpisahan universitas dari problem yang dihadapi masyarakat. 

Beberapa kondisi semakin menyuburkan kondisi tidak ideal tersebut. Dari sistem pengelolaan universitas sendiri, terlihat muncul pergeseran epistemologis dalam memandang institusi pendidikan. Tekanan persaingan yang dialami terutama di institusi swasta telah mendorong adanya konsep-konsep marketing—meminjam istilah Raymond Williams—sebagai konsep yang emergence kepada para calon mahasiswa dan menggeser isu tanggung jawab sosial sebagai residual.

Di sisi lain, para dosen juga berada dalam situasi yang tidak menguntungkan. Aturan dari pemerintah yang membebani dosen dengan serangkaian tugas administratif, beban mengajar berlebih, dan sebagian lagi mencari “objekan” untuk menambah pendapatan yang minim. Selain itu, tren juga muncul pada dosen yang maju dalam pemilihan kepada daerah maupun di sektor legislatif. Yang ketiga, para mahasiswa.

Kurikulum yang didisain untuk memenuhi kebutuhan institusi dalam meluluskan mahasiswa secepatnya demi catatan masa studi yang baik mendorong tumbuhnya kultur baru untuk menempatkan studi sebagai prioritas. Hal itu benar, selama tidak menafikan pentingnya bekerja dalam kelompok dan berorganisasi. Kegiatan mahasiswa sering sebagai event organizer dibandingkan dengan menjadi aktor dalam sebuah diskusi.

Intelektual Organik

Antonio Gramsci, pemikir dari Italia yang hidup pada masa represi rezim Fasis Benito Mussolini, semasa di penjara berpikir tentang bagaimana sebuah kekuasan yang totaliter selalu memiliki celah. Celah itulah yang bisa digunakan untuk melawan-balik kekuasaan yang seorang tidak bisa dilawan.

Dalam kerangka kaum intelektual, Gramsci membuat pembedaan: intelektual tradisional dan intelektual organik. Selama seorang akademisi hanya berkutat pada teori dan tidak pernah menempatkan penyelidikannya dengan upaya menyelesaikan persoalan sosial yang ada, ia akan terjebak pada teori semata. Di lain pihak, keterkaitan kegiatan akademik yang menjawab persoalan dan terlibat dalam isu-isu konkret dalam masyarakat akan menumbuhkan apa yang disebut sebagai intelektual organik.

Akademisi dilihat sebagai sebuah kekuatan yang besar terkait dengan modal sosial yang dimilikinya dan kemampuan mengorganisir masa. Oleh karena itu, penulis mendesak tumbuhnya intelektual organik sebagai bagian dari upaya kita untuk Indonesia yang lebih baik dalam riuh rendah wacana yang seringkali tidak bisa dipertanggunjawabkan kebenarannya menjelang Pemilu 2019. 

Mengutip Soejadmiko, visi politik kaum intelektual harus diarahkan ke bentuk penelitian yang memberi arah pembangunan negara (1994:17): 1) mendefinisikan masalah masyarakat menggunakan pemahaman baru mengenai tujuan bangsa; 2) mempertajam visi mengenai model masyarakat untuk mengarahkan perubahan; 3) mengaitkan sistem nilai baru dengan realitas sosial yang terus berubah; 4) mengidentifikasi perangkap kemajuan dan mencari alternatif; 5) menemukan makna setiap perkembangan baru dalam kaitannya dengan tujuan bersama.

*Penulis adalah dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, juga mahasiswa Doktoral Media & Cultural Studies Universitas Gadjah Mada.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Kronologi Bocah Hanyut Saat Bermain di Tepian Sungai Oyo

Gunungkidul
| Jum'at, 29 Maret 2024, 12:57 WIB

Advertisement

alt

Rela, Ungkapan Some Island tentang Kelam, Ikhlas dan Perpisahan

Hiburan
| Jum'at, 29 Maret 2024, 09:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement