Advertisement

OPINI: Tragedi Lion Air & Hak Penumpang

Kapler A. Marpaung
Senin, 10 Desember 2018 - 08:25 WIB
Budi Cahyana
OPINI: Tragedi Lion Air & Hak Penumpang Petugas gabungan Polri dan Basarnas menata dan mengidentifikasi berbagai serpihan dan barang penumpang pascakecelakaan pesawat Lion Air JT 610 di Posko Basarnas, Terminal JICT 2, Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (30/10/2018). - Antara Foto/ Rajali Saragih

Advertisement

Sejak 2004 sedikitnya ada delapan kecelakaan pesawat udara yang menelan korban jiwa. Sebut saja Mandala Air (2004 dan 2005), Adam Air (2007), Garuda (2007), Merpati (2011), Sukhoi (2012), Air Asia (2014), dan 29 Oktober 2018 Lion Air JT 610 jatuh di Tanjung Karawang, Jawa Barat dengan penumpang 178 orang dan diperkirakan semua meninggal dunia, karena sampai hari ini belum ditemukan penumpang yang selamat.

Pascatragedi tersebut, ada berita sehari sebelumnya pesawat ini dalam penerbangan Denpasar-Jakarta telah mengalami kerusakan, tapi kabarnya sudah diatasi, sehingga Lion Air JT 610 dinyatakan layak terbang.

Advertisement

Lion Air tentu mengalami kerugian seperti kerugian atas kerusakan pesawat (aircraft hull), tanggungjawab terhadap penumpang (passenger legal liability), biaya-biaya pencarian atau investigasi serta kerugian atas kerusakan harta benda atau jiwa pihak ketiga lainnya.

Karena Lion Air JT 610 jatuh di perairan, sangat kecil kemungkinan ada pihak ketiga selain penumpang yang mengalami kerugian. Pesawat jenis Boeing 737 Max 8 keluaran baru seperti JT 610 diperkirakan senilai US$117,1 juta per unit.

Apa yang mau dikaji dalam tulisan ini utamanya adalah mencoba menghitung berapa jumlah santunan meninggal dunia dan hak-hak lainnya dari penumpang berdasarkan peraturan perundangan yang ada.

Ada beberapa landasan perlindungan hukum bagi penumpang pesawat udara. Pertama, UU No. 33/1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang dan Peraturan Menteri Keuangan No. 37/PMK.010/2008 tentang Besar Santunan dan Iuran Wajib Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang Alat Angkutan Penumpang Umum.

Disebutkan dalam aturan itu bahwa penumpang yang menjadi korban akibat kecelakaan selama di dalam angkutan umum di udara atau ahli warisnya berhak memperoleh santunan sebesar Rp50 juta dan ini diberikan oleh PT Asuransi Jasa Raharja (Persero).

Kedua, Peraturan Menteri Perhubungan No. 77/2011 tentang Tanggungjawab Pengangkut Angkutan Udara. Dalam Pasal 3 (a) disebutkan penumpang yang meninggal dunia di dalam pesawat udara, karena akibat kecelakaan pesawat udara atau kejadian yang semata-mata ada hubungannya dengan pengangkutan udara diberikan ganti kerugian sebesar Rp1,25 miliar per penumpang.

Ketiga, UU No. 1/2009 tentang Penerbangan, Pasal 141 menyebutkan pengangkut bertanggungjawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia. Masih menurut aturan ini, apabila kerugian yang timbul karena tindakan sengaja atau kesalahan dari pengangkut atau orang yang dipekerjakannya, pengangkut bertanggungjawab atas kerugian yang timbul dan tidak dapat menggunakan ketentuan dalam undang-undang ini untuk membatasi tanggungjawabnya.

Aturan yang sama menekankan pula bahwa ahli waris atau korban dapat melakukan penuntutan ke pengadilan untuk mendapatkan kerugian tambahan selain ganti rugi yang telah ditetapkan.

Landasan hukum lain yang dapat digunakan misalnya Polis Asuransi Jiwa, Asuransi Kecelakaan Diri atau Asuransi Perjalanan yang dijual perusahaan asuransi. Jenis-jenis polis tersebut bisa dibeli langsung oleh penumpang atau oleh instansi tempat bekerja penumpang yang meninggal dunia.

Pihak bank harus proaktif karena tidak sedikit perbankan yang menjual produk asuransi melalui jalur distribusi bancassurance. Banyak juga bank yang menerbitkan kartu kredit kategori Gold atau Platinum ke atas memberikan benefit berupa santunan meninggal dunia apabila pemegang kartu meninggal dunia yang jumlahnya bervariasi dari Rp500 juta sampai dengan Rp5 miliar.

Beberapa bank mensyaratkan pemberian santunan apabila pembelian tiket pesawat menggunakan kartu kredit mereka. Bank lain tidak memberikan persyaratan menggunakan kartu kredit dalam pembelian tiket pesawat.

Perbankan yang menawarkan program Kredit Tanpa Jaminan (KTA) yang sangat gencar dipasarkan melalui program telemarketing, mungkin saja dibeli penumpang.

Sampai dengan tulisan ini dibuat, belum terdengar dari perbankan bahwa ada penumpang Lion Air JT 610 tercatat sebagai nasabah mereka yang berhak atas santunan meninggal dunia. Ada juga Polis Asuransi Perjalanan berupa kupon yang dijual oleh perusahaan asuransi di terminal keberangkatan.

Penumpang atau ahli waris dapat menuntut pihak Lion Air melalui Pengadilan Negeri untuk membayar ganti rugi selain dari jumlah yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No. 77/2011 dengan jumlah tak terbatas.

Hak penumpang untuk menuntut pihak penerbangan dilindungi oleh undang-undang dan juga berdasarkan Montreal Convention dimana Indonesia ikut meratifikasi pada Maret 2017.

Poin penting dari konvensi tersebut adalah the principle of an air carrier’s unlimited civil liability in the event of bodily injury; of which are: a first tier of strict carrier liability for damage of up to 100,000 SDRs (special drawing right, as defined by the International Monetary Fund, i.e. around 120,000 Euro); in excess of that amount, a second tier of liability based on the presumed fault of the carrier, which the letter may avoid only by proving that it was not at fault ( the burden of proof is on the carrier).

Jumlah santutan untuk 178 penumpang berdasarkan Permenhub sebesar Rp 225 miliar. Angka ini jauh dibawah coverage asuransi tanggung gugat (combined single limit liability) yang rata-rata sekitar US$100 juta per pesawat atau sedikitnya Rp1,4 triliun. Tentu masyarakat sangat berharap pemerintah bersikap adil dan independen dalam menyimpulkan hasil investigasi yang dilakukan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Bila memang Lion Air salah maka katakan salah.

Lion Air juga dapat menuntut pabrikan pesawat dengan menggunakan polis Asuransi Product Liability untuk memenuhi tuntutan ahli waris. Apabila ahli waris menerima santunan sebesar Rp1,25 miliar maka kepada penumpang/ahli waris sebaiknya jangan menandatangani Release and Discharge (RD) yang disodorkan oleh pihak maspakai atau perusahaan asuransi.

Pasalnya, dengan menandatangani RD berarti penumpang/ahli waris telah setuju jumlah santunan yang diterima dan membebaskan pihak maskapai membayar kewajiban lainnya. Dalam hal ini ahli waris cukup menandatangani Kwitansi Tanda Terima dengan keterangan Uang Muka Santunan Meninggal Dunia.

Tulisan ini tidak bermaksud mengukur nyawa manusia dengan uang, tetapi untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat dan juga mengingatkan maspakai penerbangan bahwa tanggungjawab hukumnya kepada penumpang dan pihak ketiga lainnya adalah sangat besar. Jadi, tidak boleh dianggap sepele.

Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia juga perlu mengawasi proses pemberian hak-hak dari penumpang oleh lembaga keuangan, baik bank maupun nonbank yang dikaitkan dengan produk-produk atau perjanjian-perjanjian di sektor keuangan.

*Penulis adalah Penasihat Asosiasi Ahli Pialang Asuransi dan Reasuransi Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Alert! Stok Darah di DIY Menipis, PMI Dorong Instansi Gelar Donor Darah

Jogja
| Sabtu, 20 April 2024, 13:47 WIB

Advertisement

alt

Lokasi dan Harga Tiket Museum Dirgantara Jogja, Cek di Sini

Hiburan
| Sabtu, 20 April 2024, 13:37 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement