Advertisement

OPINI: Prediksi 2019, Penerbangan Indonesia Harus Optimistis

Arista Atmadjati
Selasa, 11 Desember 2018 - 18:25 WIB
Budi Cahyana
OPINI: Prediksi 2019, Penerbangan Indonesia Harus Optimistis Para penumpang penerbangan perdana Xpress Air XT 761 dengan rute Jogja-Samarinda berfoto bersama sebelum take off di Bandara Internasional Adisutjipto, Sabtu (8/12). - Ist./Angkasa Pura I

Advertisement

Dengan jumlah penduduk Indonesia saat kini yang mencapai sekitar 262 juta orang, tak pelak jumlah traffic penumpang udara di Indonesia dalam satu dekade terakhir telah meningkat dengan tajam, bahkan beberapa analis penerbangan di Tanah Air memperkirakan jumlah penumpang udara di Indonesia pada 2019 akan bisa menembus 100 juta penumpang di pasar domestik saja.

Mengingat di Indonesia saat ini ada 237 bandara kecil sampai dengan bandara lebel international. Bandara aktif komersial yang dipergunakan secara regular ada 76 bandara, data dari dephub.go.id.Sekitar 30 bandara yang dikelola oleh otoritas bandara BUMN yang dinamakan Perum Angkasa Pura I dan II tersebar mulai Aceh sampai dengan Papua. Itulah beberapa penopang revenue, jumlah traffic pesawat dan penumpang di Indonesia. Tak pelak sejak 2003, pertumbuhan penumpang komersial kita selalu bertumbuh diatas angka dua digit dan tidak pernah turun dua digit sampai dengan detik ini.

Advertisement

Kebangkitan bisnis penerbangan niaga di Indonesia dalam lima tahun belakangan ini memang sungguh luar biasa. Salah satu contohnya maskapai komuter yang didirikan pada 2007, Susi Air, yang sangat pesat perkembangannya dalam waktu empat tahun terakhir ini. Armadanya saat ini sudah mendekati sekitar 45 pesawat turbo propeller jenis grand caravan berpenumpang 12 seater ke atas sampai dengan 20 seater.

Lanskap bisnis aviasi di daerah juga menggeliat. Di pelosok pelosok tanah banyak sekali tumbuh maskapai operator yang kelas komuter seperti Tri Nusa di NTB, Aviastar, Express Air yang melayani beberapa kabupaten di Kalimantan, tetapi kurang dikenal di masyarakat Jawa.

Kita baru menyadari kalau potensi traffic udara di Indonesia saat ini sungguh luar biasa besarnya bahkan pilot pilot asing dari Eropa dan Selandia Baru mau bergabung dengan maskapai Susi Air karena pilot Indonesia rupanya lebih memilih menjadi pilot pesawat ber mesin full jet dan maskapai besar di Indonesia. Otomatis kekurangan pilot baru ini banyak diisi oleh pilot-pilot dari seantero dunia.

Dua contoh kasus pilot dan FO luar negeri baru ketahuan masyarakat jika ada pesawat yang celaka. Pilot dari India di JT610 dan FO QZ 8501 dari Karibia membuktikan sinyalemen tersebut.

Dengan jumlah armada pesawat komersial di Indonesia pada 2011 cuma ada sekitar 300 pesawat, saat ini tahun 2018 sudah diperkiran tidak kurang dari 2.000 pesawat komersial yang melayani 2000 traffic sehari di langit Indonesia dengan mengangkut penumpang 80 juta dengan uang yang berputar hanya di atas Rp20 triliun. Uni menunjukkan kekuatan ekonomi kita di bisnis penerbangan.

Sebagai gambaran dengan beberapa negara tetangga kita, seperti Singapura dengan jumlah penduduk hanya sekitar lima juta orang bisa mendapatkan penumpangnya 10 juta per tahun. Amerika Serikat dengan jumlah penduduk 300 jutaan mempunyai armada pesawat komersial 3000 pesawat. Australia dengan jumlah penduduk 23 juta penumpang yang diangkut per tahun mencapai 71 juta.

Jadi idealnya Indonesia dengan dengan jumlah penduduk 262 juta harusnya jumlah pesawat yang tersedia mencapai 2.000 armada dengan jumlah penumpang setahun bisa mencapai 500 juta jika rasio orang Indonesia akan naik pesawat minimal dua kali per tahun, apalagi mengingat negara kita adalah kepulauan yang memerlukan mobilitas dengan kecepatan yang cepat di era modern saat kini. Jadi memang potensi penumpang udara kita masih sangat luar berkembang lagi ke masa depannya.

Tantangan

Pemerintah juga semakin intensif membangun bandara bandara baru yang besar seperti New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulonprogo serta sudah mengoperasikan aerospace park komprehensif di Kertajati, Majalengka, Jawa Barat.

Maka prediksi jumlah penumpang pada 2019 sebesar 100 akan dengan mudah bisa di tembus oleh pebisnis penerbangan  Indonesia. Apalagi saat ini beberapa maskapai sangat gencar akan menambah armada barunya secara masif, seperti Lion Air yang telah memesan sebanyak 230 pesawat baru Boeing 737-900 MAX , Citilink juga memesan sekitar 25 Airbus 320 Neo.

Ini semua menunjukkan betapa langit di Indonesia memang memiliki potensi finasial yang dahsyat. Tony Tyler , mantan Chairman IATA pun waktu berkunjung  di Jakarta memprediksi perkembangan market penerbangan niaga di Asia Pasifik tahun ke depan yang paling besar adalah Tiongkok, India, dan Indonesia.

Tak heran sampai dengan 2020 di Indonesia akan tetap memerlukan sumber daya baru sekitar dua juta di bidang penerbangan mulai dari pilot, pramugari , staf mekanik, staf reservasi, staf tiket, dan karyawan karyawan di bandara di seluruh Indonesia.

Perkembangan pertumbuhan bisnis yang konsisten pesat bukannya tanpa kendala. Masih banyak yang bisa dilakukan oleh otoritas penerbangan di Indonesia, misal saja operating hours (jam kerja) di bandara bandara di luar Jawa masih  sangat terbatas,ini maslah yang sudah lama.

Hampir semua bandara kelas dua tidak mungkin membuka penerbangan malam karena kekurangan sumber daya manusia, dan minimalnya fasilitas. Ini sungguh sebuah pekerjaan besar bagi kita untuk mengoptimalkan pasar potensi bisnis penerbangan di Indonesia .

 

Pada 2015 kita sudah dihadapkan pada sebuah tantangan besar memasuki  kompetisi global. Negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia sangat antuasias dalam menyongsong ASEAN Open Sky yang sudah berjalan empat tahun ini. Maklum Indonesia dengan jumlah penduduk 262 juta merupakan pasar empuk bagi mereka dengan entry port point ke kota kota Indonesia .

Dengan posisi kita yang lebih strategis, dengan jumlah penduduk yang besar, letak geografis yang luas, serta indikator pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil, diperkirakan 2019 Indonesia masih mencapai pertumbuhan ekonomi 5,1 %.

Angka positif  ini merupakan daya tarik Indonesia yang sangat kuat dan Indonesia harus mengambil sikap yang menguntungkan dalam setiap air talk bilateral di antara negara ASEAN. 

Hal yang perlu diperhatikan dengan semakin meningkat pesatnya pertumbuhan bisnis penerbangan di Indonesia adalah unsur keselamatan, apalagi beberapa bulan terakhir ini cukup banyak operator dan beberapa pesawat latih sekolah pilot mengalami kecelakaan fatal. Anda bisa bayangkan minimnya fasiltas di bandara-bandara Kalimantan, Sulawesi, Papua. Sungguh sebua ironi besar. Di tengah geliat dan potensi pasar penerbangan di Indonesia, pembangunan infrastruktur pendudukung utamanya yakni bandara penerbangan yang memenuhi standar international belum banyak.

Bersyukur dunia keselamatan udara Indonesia pada 2017 meraih capaian yang memuaskan dari ICAO dan FAA dengan meraih peringkat pertama FAA dan score 81,5 dari ICAO untuk keselamatan penerbangan. Semoga pekerjaan-pekerjaan besar tersebut bisa segera dicari jalan keluarnya. Pemerintah  tidak mustahil mengundang investor untuk segera membenahi fasiltas kebandaraan sehingga potensi bisnis penerbangan di Indonesia akan terwujud dalam waktu tidak lama lagi, tentu dengan tetap mengutamakan faktor kenyamanan dan keselamatan penerbangan serta menjadi raja di langitnya sendiri.

*Penulis adalah Direktur AIAC Aviation Jakarta & Risk Management Expert Airline.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Di Jogja Macet Maksimal Hanya 10 Menit Selama Libur Lebaran

Jogja
| Selasa, 16 April 2024, 12:27 WIB

Advertisement

alt

Agensi Ungkap Hasil Autopsi Kematian Park Bo Ram

Hiburan
| Senin, 15 April 2024, 19:57 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement