Advertisement

OPINI: Kekerasan Simbolik dalam Kampanye Pemilu

Sumbo Tinarbuko
Jum'at, 14 Desember 2018 - 07:25 WIB
Budi Cahyana
OPINI: Kekerasan Simbolik dalam Kampanye Pemilu Penertiban APK melanggar aturan di Gunungkidul, Rabu (14/11/2018). - Harian Jogja/Herlambang Jati Kusumo

Advertisement

Bawaslu Sleman seperti dikutip Harianjogja.com (5/12/2018) mendata 1.059 alat peraga kampanye (APK) yang melanggar aturan bertebaran di Kapupaten Sleman. Menurut Abdul Karim Mustofa, Ketua Bawaslu Sleman, jenis APK yang paling banyak melanggar aturan pemasangan yaitu bendera dengan jumlah 925 buah. Jenis APK lainnya yang menyalahi aturan pemasangan yaitu baliho, spanduk, rontek dan banner.

Dikatakan Karim, berdasarkan data Bawaslu Kabupaten Sleman, total APK yang ditertibkan sebanyak 204 buah. “APK yang ditertibkan tersebut terdiri dari 31 baliho, 24 spanduk 24, 68 rontek, 24 umbul-umbul, dan 37 lembar bendera,” kata Karim.

Advertisement

Sementara itu, masih berdasarkan liputan Harianjogja.com, Satpol PP Sleman berhasil menertibkan APK yang melanggar Perbup Sleman No.27/2018 tentang Pemasangan APK. “Sebelum melakukan penertiban, jajarannya menerima rekomendasi dari Bawaslu Sleman terkait dengan APK mana saja yang bakal diturunkan,” kata Sri Madu, Kepala Seksi Operasi dan Keamanan dan Ketertiban Satpol PP Sleman.

Gangguan Visual

Sudah menjadi rahasia umum ketika para caleg berikut tim suksesnya dengan dukungan politik aktivis parpol secara serampangan mematok daerah kekuasaannya. Hal itu dilakukan untuk menandai dapil kekuasaannya. Setelah menemukan area kekuasaannya, kemudian mereka menempatkan dan memasang iklan politik serta atribut parpol dengan sesuka hatinya.

Atas nama pengukuhan dapil kekuasaannya, mereka memprivatisasi seluruh ruang publik. Lebih spesifik lagi, mereka memprivatisasi jalan raya berikut ruas jalan simpangannya yang dianggapnya strategis. Sependek akal rasionalitasnya, mereka  melakukan hal itu untuk menempatkan penanda visual iklan politik miliknya. Sudah menjadi rahasia umum, penanda visual iklan politik milik para caleg selalu divisualkan dalam wujud media iklan luar ruang. Di antaranya: rontek, spanduk, umbul-umbul, poster, stiker, baliho, billboard dan bendera parpol.

Mereka sengaja melakukan kekerasan simbolik dengan menebarkan iklan politik di ruang publik yang dimitoskannya memiliki nilai daya ganggu visual. Ruang patembayatan sosial itu kemudian didaku menjadi milik pribadi sang caleg beserta parpol peserta Pemilu 2019. 

Kekerasan simbolik yang sengaja mereka lakukan di ruang publik sama sekali tidak mengindahkan etika dan estetika kampanye pemilu yang telah disepakati bersama. Padahal inti dari kesepatan itu sejatinya ingin menempatkan aspek etika dan estetika kampanye pemilu sebagai bagian integral dari sebuah dekorasi kota yang artistik dan menawan. Dampak visual atas pelanggaran kesepakat tersebut, menyebabkan panorama visual kota kehilangan roh keelokannya. Tata visual panorama kota menjadi berantakan. Penampakan visual kota yang dikepung sampah visual iklan politik milik caleg yang kebingungan mencari suara menjadi terlihat kotor dan kumuh.            

Berdasarkan realitas sosial atas carut marut penempatan iklan politik milik caleg dan atribut parpol yang mengemuka selama ini, seyogianya segera dilakukan upaya penertiban oleh kedua pihak. Semuanya itu sebaiknya dilaksanakan bersama antara pemerintah dengan partai politik. Upaya paling simpatik dalam konteks ini, penertiban itu dilakukan atas kesadaran sendiri dari peserta pesta demokrasi, yakni: tim sukses dan calon legislatif peserta Pemilu 2019 yang dengan sengaja menebar iklan politik di ruang publik.

Tetapi, manakala  tidak segera dilakukan penertiban atas pemasangan atribut kampanye yang semrawut, menyebabkan suasana kota akan menjadi sumpek.  Karena faktanya, kebanyakan billboard, poster, baliho, spanduk, umbul-umbul milik caleg dan bendera partai politik sudah menjadi sampah visual yang membuat tata ruang kota secara visual berantakan tidak terkendali. Kalau hal itu dibiarkan bergulir liar, dikhawatirkan akan menjadi teror visual yang berujung pada bencana sosial di ruang patembayatan sosial warga masyarakat.

Masalahnya sekarang, bagaimana membangun kesadaran bersama untuk mengatur penempatan iklan politik milik para caleg. Begitu pula menumbuhkembangkan kesadaran bersama untuk pemasangan atribut parpol didasarkan pada aturan perundang-undangan yang ada. Hal itu wajib dijalankan secara bersama-sama dan bertanggung jawab demi mewujudkan ekologi visual dan estetika kota secara bertanggung jawab.

Ketika hal itu dapat diwujudkan oleh caleg, tim sukses dan partai politik, maka penyelenggaraan kampanye pemilu dengan menempatkan iklan politik para caleg dan memasang atribut parpol, yang dipasang dengan tertib, indah, dan nyaman di pandang mata, akan menciptakan untaian dekorasi kota yang artistik. Ujungnya  akan tercipta etika dan estetika kampanye Pemilu yang nyeni, komunikatif serta menawan hati jutaan calon pemilih.

Sampah Visual

Undang-Undang No.7/2017 tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD, dan DPRD, menyatakan semua peserta pemilu harus memperhatikan estetika dalam menyebarkan bahan kampanye. Kalau aturan itu dijunjung tinggi, estetika kampanye pemilu dengan sangat artistik dapat diparadekan di seantero negeri ini.

Selain itu, estetika kampanye pemilu akan terjaga estetikanya secara elegan. Keberadaannya ditopang Pasal 298 Ayat 2 dan 3 dari Undang-Undang Pemilu. Di sana  telah diatur tata cara dan tata kelola pemasangan alat peraga kampanye pemilu. Dalam Ayat 2 ditetapkan aturan sebagai berikut: pemasangan alat peraga kampanye pemilu oleh pelaksana kampanye pemilu sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 dilaksanakan dengan mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan, dan keindahan kota atau kawasan setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.  Sementara itu Ayat 3 menegaskan pemasangan alat peraga kampanye pemilu pada tempat yang menjadi milik perseorangan atau badan swasta harus dengan izin pemilik tempat tersebut.

Mengacu hasil catatan Komunitas Reresik Sampah Visual, berdasar tinjauan lapangan di setiap kabupaten dan kota, dia menemukan pelanggaran alat peraga kampanye berupa iklan politik caleg, bendera dan  atribut partai politik. Pelanggaran tersebut dilakukan antara lain memasang alat peraga kampanye berupa iklan politik caleg dan bendera parpol yang di pasang di ruang publik. Ditebarkan di taman kota, jembatan dan trotoar. Diikatkan di tiang listrik, tiang telepon, tiang rambu lalulintas dan tiang lampu penerangan jalan. Yang paling menyedihkan, iklan politik milik caleg peserta pemilu dipakukan di batang pohon yang ada di sepanjang jalan.

Masih berdasarkan catatan dari Komunitas Reresik Sampah Visual, pelaku pelanggaran perundang-undangan pemilu ternyata berasal dari parpol papan atas. Mereka banyak melakukan pelanggaran pemasangan alat peraga kampanye Pemilu di ruang publik. Ironisnya, pelanggaran tersebut dilakukan oleh mayoritas parpol besar yang sudah berpengalaman mengikuti pesta coblosan pemilu periode lima tahun sebelumnya. 

Kemerdekaan Visual

Atas peristiwa pelanggaran Undang-Undang Pemilu yang mengakibatkan bermunculannya sampah visual iklan politik, masyarakat pun secara terbuka mengambil sikap tegas. Mereka lalu berkeluh kesah lewat medsos. Hal itu dilakukan karena masyarakat merasa terganggu kemerdekaan visualnya di ruang publik. Mereka juga rajin menulis di media massa perihal gangguan visual yang disebabkan tebaran sampah visual iklan politik di ruang publik.

Hal itu dilakukan karena mereka mulai jengah dengan perilaku sang caleg, tim sukses dan parpol yang senang menebar sampah visual iklan politik di ruang publik. Para caleg yang kebingungan mencari suara itu dengan sengaja memasang atribut parpol dan iklan politik miliknya tanpa mengindahkan estetika keindahan kota. Mereka pun rupanya enggan mengikuti kaidah baku ekologi visual sebuah kota demi melahirkan rasa  keindahan dan kenyamanan lingkungan, serta menjaga ruang hati masyarakat penghuni perkotaan.

Ujungnya, para caleg, tim sukses dan elite parpol sengaja memberangus kemerdekaan visual yang menjadi hak sosial warga sipil di ruang patembayatan sosial. Pemberangusan hak kemerdekaan visual tersebut mereka lakukan dengan menempatkan teroris visual di ruang publik. Para caleg memberi tugas kepada teroris visual untuk memorakporandakan tata kelola visual sebuah kota. Hal itu dilakukannya  dengan cara menebar sampah visual iklan politik milik sang caleg di ruang publik. Pada titik inilah, kemerdekaan visual milik warga sipil menjadi terganggu. Gangguan-gangguan visual seperti itu senantiasa didengungkan secara masif. Ujungnya, bencana sosial pun menimpa warga masyarakat tanpa ada yang mau menolongnya.

*Penulis adalah Inisiator Reresik Sampah Visual dan Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Jogja.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terkait

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Jadwal Terbaru! KRL Jogja-Solo Sabtu 20 April 2024, Berangkat dari Stasiun Tugu dan Lempuyangan

Jogja
| Sabtu, 20 April 2024, 00:57 WIB

Advertisement

alt

Lirik Lagu Kristen Tak Terbatas, Tuhan Akan Angkat Kamu From Mess to Masterpiece!

Hiburan
| Jum'at, 19 April 2024, 23:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement