Advertisement

OPINI: Tantangan Bisnis Asuransi, Risiko Sistemik Industri Asuransi

Ardhienus, Asisten Direktur di Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Bank Indonesia
Jum'at, 22 Februari 2019 - 08:00 WIB
Galih Eko Kurniawan
OPINI: Tantangan Bisnis Asuransi, Risiko Sistemik Industri Asuransi  Pengunjung beraktivitas di dekat logo asuransi jiwa di gedung Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Jakarta, Rabu (9/1/2019). - Bisnis/Felix Jody Kinarwan

Advertisement

Beberapa tahun belakangan ini, industri asuransi Indonesia sering dirundung masalah. Bahkan, sejumlah perusahaan asuransi diantaranya telah dicabut izinnya oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Adapun yang lain masih terus bergelut dengan permasalahannya. Dalam kondisi seperti itu, nasabah pemegang polis tercundangi, tidak mendapatkan dana yang ditempatkan di perusahaan asuransi itu. Terlebih Lembaga Penjamin Polis (LPP) yang diamanatkan Undang-Undang Perasuransian Tahun 2014, suatu lembaga mirip Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang diperuntukan bagi industri perbankan, masih juga belum terbentuk di republik ini.

Namun terlepas dari permasalahan yang membelit perusahaan asuransi kita, salah satu isu yang mulai berkembang di level global adalah apakah permasalahan (distress) yang melanda perusahaan asuransi dapat memicu timbulnya atau memperburuk (amplify) risiko sistemik, sehingga berujung pada instabilitas sistem keuangan?

Advertisement

Isu itu mulai mengemuka seiring terjadinya krisis keuangan global 2008-2009. Sebabnya, di periode awal krisis itu, salah satu perusahaan yang diselamatkan (bail out) pemerintah Amerika Serikat (AS) justru adalah perusahaan asuransi, yakni American International Group (AIG) yang merupakan salah satu perusahaan asuransi terbesar di AS.

Keputusan itu diambil karena AIG dianggap sistemik (systemically important) yang apabila gagal dapat menyebabkan instabilitas sistem keuangan dan berdampak pada terganggunya kegiatan ekonomi.

Penyelamatan perusahaan asuransi tersebut tentu membalikkan argumen selama ini bahwa institusi keuangan yang menimbulkan risiko sistemik dan mengganggu stabilitas sistem keuangan hanyalah sektor perbankan. Ternyata sektor asuransi pun bisa berlaku demikian. Bahkan, studi empiris Weiß dan Mühlnickel (2014) dan Bernal et. al (2014) memperlihatkan risiko sistemik yang ditimbulkan sektor asuransi lebih besar ketimbang perbankan. Lalu, mengapa bisa begitu?

Ada beberapa faktor yang dapat menjelaskan mengapa industri asuransi berkontribusi terhadap risiko sistemik. Pertama, adanya perubahan perilaku (behavior) dari perusahaan asuransi. Saat ini, perusahaan asuransi mulai banyak melakukan kegiatan di luar kegiatan tradisionalnya (non-core and non-insurance activities). Kegiatan itu umumnya berisiko tinggi seperti credit derivatives dan financial guarantees. Perusahaan asuransi global seperti AIG, Hartford Financial Services Group (HSFG) atau Lincoln National banyak menawarkan produk asuransi yang diiringi investasi yang memberikan jaminan return (financial guarantees).

Tidak hanya itu, AIG juga diketahui sebagai penerbit Credit Default Swap (CDS) atas surat utang korporasi. Dan peran AIG inilah yang kemudian menyeretnya ke lubang krisis. Ini dikarenakan banyaknya klaim dari pembeli CDS akibat surat utang yang dijadikan underlying mengalami default, imbas dari krisis.

Perubahan perilaku itu juga membuat komposisi aset investasi mereka selain makin berisiko juga makin seragam (common exposures). Akibatnya, aset mereka menjadi terekspos volatilitas pasar (common shocks) dan semakin rentan terhadap perubahan variabel ekonomi makro. Mereka berpotensi mendapatkan kerugian yang besar bila terjadi gejolak di pasar keuangan.

Kedua, perusahaan asuransi memiliki keterkaitan (interconnectedness) yang erat, baik dengan sektor keuangan maupun korporasi. Hal ini tidak lepas dari peran perusahaan asuransi yang krusial bagi kegiatan ekonomi, yakni sebagai penyedia produk proteksi (asuransi) terhadap risiko keuangan dan kegiatan ekonomi, dan sebagai sumber pendanaan bagi korporasi yang menerbitkan surat utang dan saham. Sebagai penyedia produk proteksi, misalnya asuransi kebakaran dan jiwa. Kedua jenis asuransi ini sangat dibutuhkan perbankan dalam memberikan kredit KPR kepada masyarakat karena dapat memitigasi risiko kredit (risk management product). Bila perusahaan asuransi bermasalah dan mereka dominan di industri maka tentu berimbas pada penyediaan produk itu, dan penyaluran kredit KPR perbankan akan terpengaruh. Hubungan positif antara pasokan produk asuransi dan kredit ditunjukkan oleh studi empiris Garmaise dan Moskowitz (2009).

Sementara itu, sebagai sumber pendanaan bagi korporasi tidak lepas dari peran perusahaan asuransi itu sebagai investor institusional. Dengan kepemilikan dana yang melimpah, mereka mempunyai kemampuan yang besar pula dalam menginvestasikan dananya dalam surat berharga yang diterbitkan korporasi. Sebagai contoh di AS, asuransi jiwa merupakan salah satu investor institusional terbesar di pasar modal dan sumber pendanaan penting bagi ekonomi AS.

Kendati begitu, penguasaan yang besar atas surat utang dan saham inilah yang kemudian perlu diwaspadai otoritas, terutama dalam periode krisis. Sebabnya, di kondisi itu nilai surat berharga akan cenderung menurun, sehingga untuk menghindari loss yang semakin besar dan memenuhi kebutuhan likuiditas, perusahaan asuransi akan menjual surat utangnya secara masif (fire sales) yang pada gilirannya dapat mengakibatkan harga semakin menurun. Efek menularnya (contagion) akan mengeskalasi krisis menjadi sistemik.

Terakhir, ukuran (size) perusahaan asuransi yang makin membesar. Hal ini mengakibatkan semakin besar pula kemampuan perusahaan asuransi untuk menyediakan produk dan menginvetasikan dananya di pasar keuangan.

Imbasnya, makin besar pula ketergantungan atau tingkat interkoneksinya dalam pasar keuangan Besarnya aset itulah yang menjelaskan mengapa kontribusi sektor asuransi terhadap risiko sistemik di AS lebih besar ketimbang di Eropa.

Singkatnya, too big to fail (TBTF) juga berlaku untuk industri asuransi.

Makroprudensial

Melihat makin berperannya sektor asuransi dalam menimbulkan risiko sistemik, akhirnya telah mendorong Financial Stability Board dan The International Association of Insurance Supervisors memutuskan dan mempublikasikan sejumlah perusahaan asuransi yang tergolong sistemik atau Global Systemically Important Insurers (G-SIIs). Tidak hanya itu, pendekatan yang diperlukan tidak lagi cukup dengan pendekatan mikroprudensial tetapi perlu dikomplemen dengan makroprudensial.

Hal ini berarti bahwa surveilans tidak hanya fokus pada perusahaan asuransi secara individu tetapi juga perilaku industri asuransi secara keseluruhan serta interkoneksinya dengan sistem keuangan. Penguatan resiliensi atau daya tahan industri asuransi terhadap berbagai gejolak pun harus dijaga secara berkesinambungan.

Beberapa instrumen makroprudensial dapat pula diterapkan pada industri asuransi, sebagaimana yang diperuntukkan industri perbankan, seperti countercyclical capital buffer dan limitasi pada kegiatan atau produk-produk tertentu.

Selain itu, asesmen melalui metode stress test perlu dilakukan secara regular. Ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menilai resiliensi industri asuransi terhadap potensi kerentanan ataupun gejolak yang terjadi. Dan yang tak kalah pentingnya adalah koordinasi dan sinergi antar otoritas yang terus diperkuat agar kestabilan sistem keuangan tetap terjaga.

*Penulis merupakan Asisten Direktur di Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Bank Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Usulan Formasi PPPK-CPNS 2024 Disetujui Pusat, Pemkab Bantul: Kami Tunggu Kepastian Alokasinya

Bantul
| Jum'at, 29 Maret 2024, 16:07 WIB

Advertisement

alt

Rela, Ungkapan Some Island tentang Kelam, Ikhlas dan Perpisahan

Hiburan
| Jum'at, 29 Maret 2024, 09:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement