Advertisement

OPINI: Efek Budaya Nglungsur dalam Bisnis Fashion, Berkah atau Musibah?

Mahestu N Krisjanti
Kamis, 11 April 2019 - 06:57 WIB
Galih Eko Kurniawan
OPINI: Efek Budaya Nglungsur dalam Bisnis Fashion, Berkah atau Musibah? Ilustrasi belanja - Reuters

Advertisement

Pada masa lalu, adalah suatu berkah bagi anak tertua dalam keluarga. Karena dialah satu-satunya yang akan mendapat seragam baru, sepatu baru, baju baru, bahkan sepeda dan buku baru. Bagaimana nasib anak kedua dan seterusnya?

Rezeki anak kedua dan seterusnya adalah mendapat warisan baju dari si Sulung. Pada komunitas Jawa, biasa disebut nglungsur. Memakai barang-barang lungsuran dari kakak-kakak merupakan suatu “ritual” yang jamak dilakukan, demi penghematan anggaran pengeluaran rumah tangga. Saking banyaknya yang memakai baju lungsuran, pada waktu itu tidak ada perasaan gengsi, malu ataupun kehilangan kepercayaan diri pada orang-orang yang memakai baju lungsuran. Hal ini sudah dianggap sebagai sesuatu yang lumrah.

Advertisement

Budaya nglungsur yang sudah ada sejak bertahun yang lalu, saat ini mulai luntur. Ada beberapa faktor yang mungkin menjadi penyebabnya. Pertama, naiknya daya beli masyarakat. Ketika daya beli masyarakat naik, maka membeli baju bukan lagi menjadi suatu kemewahan. Masyarakat mampu membeli baju di saat mereka menginginkannya ataupun membutuhkannya.

Berbeda dengan situasi di masa lalu, dimana pembelian baju hanya dilakukan pada hari-hari besar, seperti misalnya Idulfitri. Masyarakat harus menabung terlebih dahulu sebelum mereka melakukan pembelian baju. Faktor kedua adalah kemampuan industri fashion dalam menyediakan barang dalam jumlah banyak di pasar. Impor produk fashion juga berkotribusi pada semakin melimpahnya produk fashion di pasar. Tentu persaingan ini akan memberikan efek pada penurunan harga produk fashion.

Ketiga, pendeknya masa model baju. Pada saat ini, model baju yangf menjadi tren beberapa bulan yang lalu, sudah tidak lagi diminati di bulan ini. Semakin pendeknya siklus trend model baju, akan mendorong konsumen, terutama orang-orang muda untuk meningkatkan frekuensi pembelian baju mereka, demi mengikuti mode. Status fashionable menjadi trigger bagi industri fashion untuk semakin inovatif dalam membuat tren model baru, demi mempengaruhi peningkatan frekuensi pembelian konsumen. Penggunaan endorser-endorser selebritis maupun blogger dan vlogger fashion, semakin mempengaruhi persespsi konsumen tentang pendeknya siklus tren model baju.

Kombinasi dari naiknya daya beli masyarakat, turunnya harga produk fashion di pasar dan pendeknya siklus tren model baju telah memberikan kontribusi yang sangat signifikan pada peningkatan pembelian baju baru. Dengan demikian, “ritual” nglungsur secara perlahan namun pasti akan ditinggalkan oleh masyarakat. Keberadaan baju lungsuran sudah tidak mendapat tempat lagi di hati masyarakat.

Bagi industri fashion, kelekatan masyarat pada baju lungsuran di masa lalu, bisa dipandang sebagai suatu kendala yang menghambat peningkatan penjualan perusahaan. Sulitnya mengubah persepsi pasar untuk tidak melungsuri baju, sangat dirasakan oleh para pemain dalam industri fashion.

Implementasi penghematan anggaran belanja keluarga dalam memenuhi kebutuhan fashion sudah berubah trennya. Dari yang awalnya nglungsur baju, menjadi membeli baju baru yang ditawarkan lebih murah lewat strategi-strategi pemasaran seperti misalnya diskon.

Hilangnya ritual nglungsur tentu dipandang sebagai suatu berkah bagi industri fashion. Menjadi tidak sulit bagi para pemain dalam industri fashion untuk mempengaruhi konsumen untuk membeli lebih banyak baju dari pada yang mereka butuhkan. Iming-iming diskon, beli dua gratis satu dan strategi rayuan pemasaran lainnya menjadi sangat jamak, dan tentunya ditanggapi konsumen dengan positif.

Permak Baju
Ketika membicarakan baju lungsuran, tiba-tiba saya teringat pada suatu pengalaman unik di salah satu sekolah dasar di Australia, di mana siswa boleh mendonasikan seragam-seragam yang sudah terlalu sempit. Disiapkan satu kotak besar untuk tempat donasi seragam. Tentu syarat dan ketentuan berlaku, seperti misalnya seragam sudah dicuci dan disetrika demi mengurangi kemungkinan adanya kuman.

Uniknya, para siswa juga boleh mengambil seragam di dalam kotak tersebut, ketika mereka membutuhkan seragam. Dengan demikian, toko seragam sekolah yang menyediakan seragam baru hanya akan menjadi alternatif kedua ketika seragam lungsuran tidak tersedia. Ternyata ada alasan mendasar dan sederhan dari donasi seragam bekas tersebut, yaitu mengurangi sampah.

Memakai baju seragam lungsuran bagi mereka masuk dalam kategori strategi reuse. Mungkin ini juga yang sudah dipikirkan oleh masyarakat kita di masa lalu. Anak-anak sebaiknya melungsuri baju dari para kakak. Selain untuk menghemat pengeluaran keluarga, juga untuk mengurangi baju yang akhirnya akan terbuang sia-sia.

Menjadi pertanyaan besar, apakah konsep nglungsur masih bisa dihidupkan lagi demi penghematan anggaran keluarga dan demi menyelamatkan bumi dari tumpukan sampah, tanpa merugikan industri fashion?

Jawaban singkatnya bisa. Perlu adanya pola pemikiran kreatif dan inovatif untuk menjawab pertanyaan ini. Mengapa tidak membuat satu lini bisnis baru, yang nenek moyangnya sebenarnya sudah ada sejak lama, yaitu bisnis permak baju. permak baju sangat mudah ditemui di setiap pojok-pojok kota Jogja, terutama di area dekat kampus.

Namun, bisnis ini baru merambah permak memotong yang terlalu panjang, mengecilkan yang terlalu besar, dan membesarkan yang terlalu kecil. Dengan memasukkan satu sentuhan tangan yang sensitif pada rancangan busana yang up-to-date, bisnis permak ini bisa berkontribusi untuk memperpanjang hidup sepotong baju. Tidak sekadar membesarkan ataupun mengecilkan tetapi mengubah model baju bekas menjadi model kekinian. Para pemain dalam industri fashion yang selama ini fokus pada produksi baju, mungkin sudah saatnya untuk ekspansi ke lini permak baju.

Ini menjadi alternatif win-win solution bagi produsen dan konsumen di dalam industri fashion. Produsen bisa meningkatkan penghasilan dari lini bisnis baru sedangkan konsumen bisa menghemat pengeluaran pembelian baju baru tanpa harus mengorbankan orientasi mereka yang fashionable. Sebagai bonus dari win-win solution ini, kita juga membantu bumi dengan mengurangi serbuan sampah kain. What a wonderful idea...


*Penulis merupakan dosen Program Studi Manajemen Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Pilkada 2024, KPU Jogja Gandeng Disdukcapil Memastikan Akurasi Data Pemilih

Jogja
| Kamis, 18 April 2024, 10:57 WIB

Advertisement

alt

Orang Terdekat Mengantarkan Kepergian Park Bo Ram

Hiburan
| Rabu, 17 April 2024, 21:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement