Advertisement

OPINI: Memacu Pembiayaan Kreatif Untuk Daerah

Astera Primanto Bhakti
Jum'at, 28 Februari 2020 - 05:02 WIB
Galih Eko Kurniawan
OPINI: Memacu Pembiayaan Kreatif Untuk Daerah

Advertisement

Pembangunan infrastruktur dan SDM merupakan kunci keberhasilan pembangunan nasional. Pada saat Singapura memutuskan merdeka, banyak pihak skeptic karena situasi sosial ekonomi negara tersebut dihadapi pada angka pengangguran yang meningkat 13% per tahun dan income per kapita dibawah US$320.

Namun, berbagai kebijakan diambil saat itu, terutama program industrialisasi dengan menarik banyak investasi dan membangun infrastruktur secara masif. Tanpa comparative advantage sumber daya alam (SDA), pendanaan utama hanya mengandalkan pinjaman dan kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) sejak 1980-an. Hasilnya, dalam 40 tahun, Singapura menjadi negara maju dengan full employement dan income per kapita US$58.770.

Advertisement

Bagaimana dengan Indonesia? Pemerintah berupaya mengakselerasi pembangunan infrastruktur guna mendorong pertumbuhan ekonomi. Selama 2015-2019 belanja infrastruktur meningkat dari Rp679 triliun menjadi Rp1.820 triliun. Hal ini penting untuk menjaga economic growth di angka 5,3%. Namun meski belanjanya meningkat, nilai stok infrastruktur terhadap produk domestik bruto (PDB) cenderung turun (43% pada 2017). Kita masih tertinggal dibandingkan dengan India (58%) dan China (76%). Untuk itu, pada RPJMN 2020-2024, akselerasi pembangunan infrastruktur terus dilakukan dengan estimasi pendanaan Rp6.445 triliun.

Jika hanya mengandalkan APBN 2020 (Rp2.540,4 triliun) yang juga digunakan untuk belanja strategis lain, seperti pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial, target tersebut sulit tercapai. Jika hal itu terjadi, Indonesia akan kehilangan momentum untuk meningkatkan produktivitas, karena lemahnya daya saing.

Setelah desentralisasi, Pemda diberikan dana transfer dan kewenangan memungut pajak daerah, yang pada 2019 nilainya masing-masing Rp826 triliun dan Rp221 triliun, sebagai sumber utama pendapatan APBD. Namun, peningkatan size APBD tersebut belum diikuti dengan kenaikan belanja infrastruktur. Empat tahun terakhir, porsi belanja infrastruktur dalam APBD turun dari 21,8% menjadi 19%. APBD masih didominasi oleh belanja pegawai 34,9% dan belanja barang 24,3%.

Adapun infrastruktur mayoritas didanai dari Dana Alokasi Khusus, porsi 25% dari Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil serta sebagian Dana Desa. Untuk itu, Pemda juga diberikan kewenangan mengakses skema pembiayaan lain. Pertama, melalui ‘dana dari masa depan’ atau pinjaman. Sejak 2001, Pemda dapat meminjam dari sumber dalam negeri, baik pinjaman jangka pendek untuk pengelolaan kas maupun jangka panjang untuk pembangunan infrastuktur yang menghasilkan penerimaan.

Persyaratannya, yakni jumlah kumulatif pokok pinjaman tidak melebihi 75% penerimaan APBD tahun sebelumnya, mampu mengembalikan pinjaman, dan disetujui DPRD. Selain itu, mengacu pada defisit nasional sebesar 3% dari APBN maka batas maksimal kumulatif defisit APBD 2020 ditetapkan sebesar 0,28%, dan pembatasan total pinjaman maksimal 60% dari PDB.

Pada 2005 diperkenalkan pinjaman jangka menengah untuk penyediaan infrastruktur yang tidak menghasilkan penerimaan selama periode jabatan kepala daerah. Namun, minat Pemda tetap masih rendah, terutama terhadap pinjaman jangka menengah dan panjang. Pemda lebih banyak mengakses pinjaman jangka pendek, untuk kebutuhan kas sesaat.

Pada 2011 dilakukan kembali terobosan kebijakan. Pemerintah memperjelas definisi pinjaman jangka panjang yang menghasilkan penerimaan, yaitu menghasilkan direct revenue berupa pendapatan, menghasilkan indirect revenue yakni penghematan belanja, atau memberikan manfaat ekonomi-sosial.

Seperti halnya perusahaan go public, Pemda juga dapat menerbitkan obligasi dengan beberapa tahapan, yaitu menentukan usulan proyek, menyiapkan dokumen terkait, dan meminta persetujuan DPRD. Kemudian, pemerintah melakukan penilaian administrasi-keuangan. Jika disetujui, dilakukan persiapan registrasi ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Terakhir, OJK melakukan penelaahan dan persetujuan penerbitan obligasi.

Skema lain berupa KPBU untuk mengajak partisipasi aktif sektor swasta dalam pembangunan. Tahap pertama skema KPBU yakni perencanaan dengan studi pendahuluan. Setelah itu dirumuskan struktur proyek, bentuk dukungan, dan prastudi kelayakan. Terakhir, proses lelang untuk memilih badan usaha sebagai mitra. Pemerintah juga menyediakan fasilitas dukungan penyiapan proyek (PDF) dan pendanaan untuk menurunkan biaya konstruksi (VGF).

Selama 2014-2019, dari 457 Pemda yang eligible untuk meminjam, baru 63 Pemda yang mengaksesnya untuk membangun rumah sakit, jalan, dan pasar. Sampai saat ini juga belum ada Pemda yang menerbitkan obligasi daerah. Untuk KPBU, baru 3 proyek yang berhasil diwujudkan dari 25 proyek yang ditawarkan. Mengapa pembiayaan kreatif belum diminati? Kendala utama yaitu sulitnya mengubah mindset dari pembiayaan tradisional ke kreatif.

Selain itu, Pemda tidak dapat mendanai kegiatan praproyek, seperti studi kelayakan. Persetujuan legislatif untuk mengakses pembiayaan kreatif juga menjadi tantangan tersendiri. Untuk itu, berbagai terobosan terus dilakukan. Pertama, telah dibentuk Special Mission Vehicle seperti PT Sarana Multi Infrastruktur, PT Sarana Multigriya Finansial, dan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia untuk mendukung pembiayaan infrastruktur.

Kedua, dilakukan relaksasi kebijakan obligasi, seperti perubahan revenue bond menjadi general bond, dan pengurangan biaya registrasi menjadi 0,0125% dari nilai emisi. Ketiga, sedang dikaji perubahan regulasi pinjaman, yaitu meniadakan pinjaman jangka menengah, karena tidak operasional, dan persetujuan DPRD diintegrasi dalam pembahasan RAPBD. Keempat, penerapan sukuk daerah juga sedang dipelajari.

Kelima, regulasi integrated funding diformulasi untuk sinergi berbagai sumber pendanaan. Terakhir, Dana Insentif Daerah diberikan bagi Pemda berkinerja baik dalam mengelola pembiayaannya. Semua ini dilakukan untuk mendorong Pemda mengakses pembiayaan kreatif, karena seperti dikatakan Samuel Johnson, “Masa depan itu dibeli oleh masa sekarang.”

*Penulis merupakan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Jadwal Bus Damri dari Jogja-Bandara YIA, Bantul, Sleman dan Sekitarnya

Jogja
| Jum'at, 29 Maret 2024, 04:37 WIB

Advertisement

alt

Film Horor Gunakan Unsur Islam dalam Judul, MUI Sebut Simbol Agama Harus di Tempat yang Pas

Hiburan
| Selasa, 26 Maret 2024, 09:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement