Advertisement

OPINI: Aturan Main Cukai Plastik

Alifia Qhoiriyah, Analis Kebijakan Pajak Pratama-Kreston Tax Research Institute
Jum'at, 31 Desember 2021 - 06:07 WIB
Maya Herawati
OPINI: Aturan Main Cukai Plastik Pekerja mengemas biji plastik usai dijemur di salah satu industri pengolahan limbah plastik di Jakarta. Bisnis - Arief Hermawan P

Advertisement

Undang-Undang No.7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) akhirnya diundangkan pada 29 Oktober 2021. Salah satu yang menarik adalah hilangnya ketentuan cukai plastik. Padahal, pembahasan mengenai pengenaan cukai atas produk plastik sempat tertuang di dalam Pasal 44F Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan 2021 (RUU KUP).

Pertanyaannya, apakah ketentuan cukai plastik yang menguap tersebut akan selamanya lenyap dari regulasi perpajakan di Indonesia atau berpotensi muncul di aturan pelaksana UU HPP?

Advertisement

Plastik telah menjadi material yang banyak digunakan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Plastik membutuhkan waktu puluhan atau bahkan ratusan tahun untuk bisa terurai. Beberapa jenis komponen plastik akan terurai menjadi partikel-partikel kecil yang dikenal dengan mikroplastik. Mikroplastik inilah yang akan mencemari lingkungan dan secara tidak langsung akan berdampak bagi kesehatan manusia. Hal ini bukan masalah sepele.

Di Indonesia, setiap tahunnya terdapat jutaan sampah plastik bekas pakai yang terbuang. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK, 2020) menunjukkan bahwa jumlah sampah di Indonesia mencapai 33 juta ton per tahun dan 17,1% di antaranya sampah plastik. Jadi, belum sempat satu sampah plastik terurai dalam waktu satu tahun, sudah terdapat 5 juta lagi yang tertimbun.

Dari total sampah plastik yang ada di Indonesia, setiap tahunnya hanya 10%—15% yang didaur ulang. Hasil penelitian Jenna Jambeck (2015) juga menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara kedua tertinggi dengan tingkat pembuangan sampah plastik tidak terkelola ke laut, yaitu sebesar 3,22 juta ton per tahun.

Pemerintah telah melakukan berbagai cara untuk mengatasi permasalahan sampah plastic. Salah satunya dengan memberlakukan plastik berbayar. Pemerintah melalui KLHK sebelumnya mengeluarkan Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup No. S-1230/PSLB3-PS/2016 tentang Harga dan Mekanisme Penerapan Kantong Plastik Berbayar.

Uji coba tersebut sudah dilakukan di beberapa daerah percontohan seperti DKI Jakarta, Bogor, Depok, Bandung, Medan, Denpasar, Jayapura, dan daerah lainnya. Sayangnya, pemasukan atas mekanisme plastik berbayar bukan bagian dari penerimaan Negara, karena dananya masuk ke kantong pengusaha ritel. Pemerintah juga merencanakan pengenaan cukai terhadap produk plastik.

Pengenaan cukai plastik sudah menjadi pembahasan pemerintah beberapa tahun terakhir. Pada awal 2020, Kementerian Keuangan dan DPR RI dalam Rapat Kerja Komisi XI telah menyetujui penambahan BKC berupa produk plastik. Ekstensifikasi BKC berupa kemasan plastik juga telah direncanakan pemerintah di dalam APBN sejak 2019.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani juga pernah mengusulkan pengenaan tarif cukai atas kantong plastik sebesar Rp30.000 per kilogram atau Rp200 per lembarnya. Nyatanya, hingga saat ini belum ada peraturan resmi yang mengaturnya.

Pembahasan mengenai pengenaan cukai atas produk plastik sempat tertuang di dalam Pasal 44F RUU KUP 2012. Ketentuan itu mengubah bunyi Pasal 4 ayat (1) UU No. 39/2007 tentang Cukai (UU Cukai), khususnya pada butir d terkait penambahan produk plastik sebagai salah satu BKC. Namun, ketentuan ini kemudian absen di dalam UU HPP.

Poin penting yang harus digarisbawahi adalah UU HPP mengatur bahwa penambahan atau pengurangan jenis BKC diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah (PP). Masih ada kemungkinan bahwa ketentuan cukai plastik nantinya muncul kembali di dalam aturan pelaksana UU HPP.

Pengaturan produk plastik sebagai BKC masih dirasa perlu untuk menangani permasalahan sampah plastik di Indonesia. Penerimaan cukai plastik ini nantinya dapat digunakan sebagai kompensasi biaya eksternalitas yang timbul akibat konsumsinya.

Sesuai dengan salah satu legal character atas cukai (Cnossen, 1977) yaitu discrimination in intent (tujuan pemungutannya), cukai tidak hanya semata mata dijadikan sebagai sumber penerimaan negara. Pasalnya, ia juga merupakan salah satu wujud tanggung jawab masyarakat atas dampak negatif dari penggunaan plastik.

Produk plastik sendiri pada dasarnya telah memenuhi seluruh sifat dan karakter BKC menurut Pasal 2 ayat (1) UU Cukai, yaitu konsumsinya perlu dikendalikan; peredarannya perlu diawasi; pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; dan pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.

Pengenaan cukai plastik, yang termasuk jenis Pigouvian Tax, diharapkan dapat mengurangi konsumsi plastik di Indonesia. Pengenaan cukai plastik kemungkinan berdampak pada kenaikan harga produk plastic, sehingga diharapkan masyarakat akan beralih pada komponen lain yang lebih ramah lingkungan.

Rencana pemerintah mengenakan cukai plastik dengan besaran Rp200/lembar juga dirasa tidak terlalu besar. Jika dibandingkan dengan negara Asean lain seperti Kamboja yang tarif cukai plastiknya Rp1.349/lembar dan Malaysia Rp659/lembar, tarif cukai plastik di Indonesia masih tergolong rendah.

Namun, plastik sendiri bukanlah produk yang bersifat elastis sehingga dengan kenaikan harga plastik kemungkinan tidak berdampak signifikan terhadap konsumsi masyarakat. Selain itu, pengenaan cukai plastik akan berdampak pada industri plastik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Lulusan Pertanahan Disebut AHY Harus Tahu Perkembangan Teknologi

Sleman
| Kamis, 25 April 2024, 20:37 WIB

Advertisement

alt

Dipanggil Teman oleh Bocah Berusia 2 Tahun, Beyonce Kirim Bunga Cantik Ini

Hiburan
| Kamis, 25 April 2024, 19:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement