Advertisement
OPINI: Wisatawan Semakin Rasional, Inovasi dan Agility Semakin Diperlukan

Advertisement
Industri pariwisata merupakan salah satu industri jasa dengan kontribusi yang signifikan pada perekonomian Indonesia. Siaran Pers Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada 4 Februari 2025 menyampaikan bahwa pada Q3 tahun 2024, sektor pariwisata berkontribusi 4,01% terhadap PDB yang menunjukan peningkatan 0,11% terhadap tahun 2023.
Indonesia menjadi negara dengan peringkat TTDI ke-22 dari 119 negara, artinya Indonesia memiliki produk wisata yang unggul dibandingkan dengan 97 negara lainnya. BPS melaporkan bahwa selama tahun 2024 jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung ke Indonesia mencapai 13,9 juta, yang merupakan angka yang tinggi dibandingkan lima tahun terakhir.
Advertisement
Tanpa mengurangi makna quality tourism, jumlah kunjungan masih menjadi salah satu indikator utama. Quality tourism tidak dapat terwujud tanpa quantity, karena berwisata itu terkait dengan mobilisasi manusia, nilai belanja, dan dampak lingkungan. Namun kita jangan terlena, pada tahun 2024 Thailand berada di peringkat 47 TTDI dengan kunjungan wisman 35,32 juta.
Contoh lain Malaysia yang berada di peringkat 35 TTDI namun jumlah kunjungan selama delapan bulan tahun 2024 sudah mencapai 16,45 juta kunjungan. Mari jangan mencari-cari alasan pembenaran dari kondisi ini, namun habiskan waktu dan pikiran untuk berpikir solutif. Negara lain tidak statis, semua bergerak menuju kemajuan, demikian juga Indonesia.
Keterikatan industri jasa dengan konsumennya jauh melebihi industri manufaktur, karena fokus utamanya adalah pada pertukaran nilai. Konsep Service-Dominant Logic yang diperkenalkan tahun 2004 oleh Vargo dan Lusch menunjukan pergeseran perspektif dalam menyampaikan sebuah output kepada pasar, yaitu fokus pada sumber daya intangible, penciptaan nilai bersama, dan menjaga hubungan dengan konsumen.
Ranjan dan Read pada 2016 memperkenalkan sebuah istilah Value in Use, yaitu bahwa konsumen akan melakukan evaluasi terhadap pengalamannya dalam mengonsumsi suatu produk atau jasa, berdasarkan motivasi pembelian, kompetensi, proses, dan kinerja konsumen tersebut. Hasil evaluasinya menunjukan apakah suatu produk atau jasa dapat berguna melebihi atribut fungsionalnya atau tidak. Dalam kata lain, konsumen semakin logis dan tidak hanya menggunakan istilah Value for Money saja dalam keputusan pembelian.
Konektivitas internet menyebabkan derasnya aliran informasi yang mudah sekali didapatkan melalui gawai yang mungkin menyertai lebih dari 10 jam kehidupan generasi modern. Push notification selalu muncul dan mencoba menyesuaikan kontennya dengan kebutuhan kita. Sistem pada android membaca perilaku kita beberapa periode terakhir dan memprediksi apa yang sedang kita cari.
Traveloka, tiket.com, dan aplikasi lain membanjiri layar ponsel pintar dengan konten jalan-jalan. Wisatawan bisa dengan mudah membanding-bandingkan daya tarik wisata satu dengan lainnya, moda kendaraan yang tersedia, akomodasi yang ditawarkan, dan pilihan kuliner, untuk kemudian dirajut menjadi pengalaman wisata yang diinginkan.
Ingat, berwisata adalah kebutuhan tersier namun saat ini seolah-olah menjadi kebutuhan sekunder dengan adanya trend healing dan keseimbangan hidup, FOMO, dan YOLO di kalangan muda. Keputusan berwisata menjadi semakin rasional, apalagi dalam kondisi daya beli yang menurun dan perekonomian yang lesu.
Ketidakpastian global pasti akan berpengaruh terhadap belanja wisatawan, tidak hanya wisatawan nusantara (wisnus) namun juga wisman. Dengan budget yang ada, wisatawan bisa membuat peta perjalanannya sendiri yang menurutnya paling optimal, dengan memperhatikan review yang bertebaran di media sosial dan internet.
Mari kita melihat apa yang terjadi di salah satu destinasi pariwisata prioritas di Indonesia, yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta. Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta melakukan analisis belanja wisatawan tahun 2023. Meskipun wisatawan ke wilayah ini masih didominasi oleh wisatawan dalam negeri, khususnya dari pulau jawa, namun jumlah wisatawan mancanegara tahun 2024 cukup banyak, yaitu 103.064 orang.
Pada tahun 2023, menurut survey pada wisman, moda transportasi menuju DI Yogyakarta masih didominiasi oleh pesawat terbang (55,67%) dan kereta api (19,88%) serta kendaraan pribadi (13,12%). Sementara itu kendaraan yang digunakan untuk berwisata di DI Yogyakarta didominasi oleh transportasi publik (34,19%), kendaraan travel agent (25,45%), dan sewa mobil dan sepeda motor (34,79%).
Tampak bahwa sebagian besar wisatawan mancanegara juga merencanakan perjalanannya tanpa travel agent, sehingga lebih bebas menentukan produk wisata yang dipilihnya. Demikian juga dengan wisatawan Nusantara yang mayoritas menggunakan kendaraan pribadi (31,68%) yang memberikan kesempatan untuk bergerak ke berbagai daya tarik wisata yang tersedia.
Kondisi ini menunjukan adanya kesempatan bagi para pengusaha di bidang pariwisata untuk menciptakan produk yang kompetitif dan mempengaruhi keputusan wisatawan melalui jalur komunikasi yang efektif, seperti media sosial dan internet. Pertanyaannya, apakah produk wisata yang ditawarkan cukup inovatif atau tidak? Kita sering mendengar bahwa daya tarik wisata unggulan di DI Yogyakarta adalah wisata budaya, disusul oleh wisata alam.
Salah satu representasi wisaya budaya berada di desa wisata. Fenomena kesamaan paket wisata di desa wisata satu dengan lainnya sudah diketahui secara umum, dan menunjukan bahwa tidak ada perbedaan pengalaman wisata yang signifikan antara satu desa dengan lainnya. Paket edukasi seperti membuat kerajinan anyaman, membuat gerabah, melukis batu, menanam mundur di sawah, membatik, dan sejenisnya dapat ditemukan hampir di semua website desa wisata.
Dalam dunia yang dinamis saat ini, menciptakan dan memasarkan pengalaman wisata tidaklah mudah, apalagi untuk mendapatkan repeat order. Para tour operator maupun pengelola destinasi wisata harus agile (luwes) dan inovatif, jangan hanya mengandalkan produk eksisting seperti: outbond lembaga pemerintah dan BUMN, study tour siswa, dan tour religi. Memang ada risiko dalam pengembangan produk, namun harus ditempuh daripada terlambat.
Begitu terjadi pemotongan anggaran perjalanan dinas dan rapat oleh pemerintah serta ramai-ramai kepala daerah melarang study tour siswa keluar provinsinya, maka kinerja keuangan tour operator yang fokus pada produk eksisting akan terkena dampaknya.
Agile itu berarti melakukan diversifikasi produk sejalan dengan meningkatkan kecepatan produk masuk ke pasar. Hal ini tidak mudah, namun mau tidak mau harus dimulai. Kelompok wisatawan yang selama ini belum banyak disentuh harus mulai diperhatikan, karena potensi memasarkan produk masih relatif tinggi, dan di sanalah blue ocean strategy masih bisa diterapkan.
Misalnya dengan penyediaan pre-post tour terhadap events olah raga lari dan sepeda yang disiapkan jauh-jauh hari bekerja sama dengan penyelenggara. Paket tour disusun berdasarkan analisis terhadap preferensi para pesertanya, dengan database yang sudah ada dari events beberapa tahun sebelumnya. Di sini teknologi informasi sudah harus terintegrasi dalam pengambilan keputusan.
Produk lainnya seperti wisata minat khusus untuk canyoning, jelajah goa, dan fotografi flora-fauna harus mulai digarap. Di sekitar DI Yogyakarta terdapat Cagar Biosfer Dunia, yaitu Merapi-Merbabu-Menoreh yang kaya akan biota dan landscape alami yang khas. Demikian juga dengan pre-post tour untuk konferensi internasional yang dilaksanakan kampus-kampus bereputasi di Yogyakarta.
Tour operator bisa membuat paket tour penelitian bagi para peserta dari luar negeri dengan tema-tema yang menarik seputar kebudayaan, kemanusiaan, nilai-nilai sosial dan sebagainya bekerja sama dengan panitia penyelenggara. Tour ini akan memberi bekal peserta untuk menyusun artikel ilmiah di negaranya. Para peneliti menang banyak: pengalaman wisata sambil mendapatkan data untuk membuat artikel ilmiah yang penting untuk karirnya sebagai dosen.
DI Yogyakarta juga mendapatkan awareness dari para pembaca jurnal internasional, dengan harapan jika ada suatu teori baru yang perlu dikembangkan melalui observasi, akan semakin banyak peneliti mancanegara berkunjung. Potensi wisata di atas adalah beberapa yang masih jarang disentuh namun akan menjadi bagian dari masa depan yang penting bagi pengembangan pariwisata berkualitas DI Yogyakarta.
*Direktur Industri Pariwisata dan Kelembagaan Kepariwisataan, Badan Pelaksana Otorita Borobudur
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- HIKMAH RAMADAN: Meningkatkan Keterampilan Regulasi Emosi Anak saat Ramadan
- HIKMAH RAMADAN: Lansia Sehat, Berilmu, Bertaqwa, dan Bahagia
- NGUDARASA: Ramadan Mubarak, Korupsi Pun Terkuak
- HIKMAH RAMADAN: Puasa Ramadan Membentuk Kesalihan Pribadi dan Kesalihan Sosial
- 3 Catatan untuk Perbaikan Perekonomian Indonesia dalam Jangka Menengah
Advertisement

PERTUMBUHAN EKONOMI SLEMAN: Bansos Semangat & Program Lansia Terintegrasi Jadi Jurus Andalan
Advertisement

Nonton Solo Leveling Episode Terbaru Setiap Sabtu, Ini Linknya
Advertisement
Advertisement
Advertisement