Advertisement

OPINI: Ada Orang Tua yang Tak Layak Diberi Sungkem

Ki Sugeng Subagya
Kamis, 21 Juni 2018 - 23:25 WIB
Budi Cahyana
OPINI: Ada Orang Tua yang Tak Layak Diberi Sungkem

Advertisement

Dalam tradisi Jawa setiap hari raya Idulfitri tidak pernah lepas dari silaturahmi keliling kampung yang dikenal sebagai ujung. Ujung bermakna berkunjung dari satu rumah ke rumah lainnya.

Mereka yang merasa lebih muda berkunjung kepada yang lebih tua atau dianggap lebih tua untuk sungkem. Sungkem selalu dikaitkan dengan tiga hal, yaitu pangabekti, pangapura, dan pangestu atau “pang telu”(tiga-P).

Advertisement

Pang telu” dirangkai dan dilafalkan dalam kalimat berbahasa Jawa yang sangat baik dan cenderung puitis. Lafal “pang telu” diajarkan para tetua secara turun-temurun dalam literasi kultural lisan.

Selain secara individual, biasanya ujung dilakukan secara berkelompok. Kelompok ujung dipimpin oleh salah seorang di antara mereka. Pemimpin inilah yang kemudian menyampaikan maksud dan tujuan sebagai ikrar sungkem.

Di antara lafalnya adalah, “Kula sowan Simbah, sepisan silaturahmi saha tuwi kawilujenganipun Simbah. Kaping kalih ngaturaken sungkeming pangabekti mugi katur ing ngarsanipun Simbah. Ingkang kaping tiga ngaturaken sedaya lepat, lampah setindak, wiraos saklimah ingkang boten andadosaken sarjuning penggalih, mugi Simbah kepareng paring pangapunten dados lantaraning leburing dosa kula ing dinten riyadi punika. Wusana nyuwun tambah berkah pangestu mugi-mugi sedaya sedya pangangkahipun ingkang wayah sageda kasembadan. Matur nuwun.”

Maknanya adalah, “Saya mengunjungi Simbah, pertama silaturahmi. Kedua menyampaikan sungkem pangabekti. Ketiga mengakui semua kesalahan, sikap, dan perilaku yang tidak berkenan kami mohon untuk dimaafkan sebagai perantaraan leburnya dosa pada hari raya ini. Akhinya, kami mohon doa restu semoga cita-cita kami terlaksana. Terima kasih.”

Orang tua yang disungkemi menjawab, “Ya, anak putuku, pangabektimu dak tampa. Aku wong tuwa uga akeh lupute, aku uga njaluk pangapura marang kowe. Pandongaku rina kalawan ratri, kowe kabeh dadiya wong kang utama, ora nerak angger-anggering agama lan negara. Pinaringan gampang anggonmu golek kepinteran. Gampang golek sandhang pangan barokah. Kasembadana kabeh kang mbok sedya.

Artinya, “Anak cucuku, pangabektimu saya terima. Saya orang tua juga banyak salah, saya juga minta maaf. Doa saya siang dan malam, kalian menjadi orang baik yang tidak melanggar aturan agama dan negara. Semoga Tuhan memberikan kemudahan kalian mencari ilmu dan mencari rezeki penuh berkah. Semoga semua cita-cita kalian tercapai.”

Setelah itu, satu demi satu sungkem dengan cara laku dhodhok (berjalan sambil berjongkok) ngambung dhengkul (mencium lutut) yang disungkemi. Suasana berubah menjadi sangat khidmat. Orang tua dengan lembut mengelus kepala dengan tangan kanan dan menepuk punggung dengan tangan kiri kepada yang sedang sungkem.

Tidak jarang masing-masing pihak sangat tersentuh hatinya sampai keluar air mata haru. Suasana kembali gembira ketika tuan rumah menawarkan minuman dan makanan kecil yang disediakan untuk dinikmati para tamu.

Pada umumnya yang disajikan adalah makanan kecil dan minuman khas Lebaran. Jika segala sesuatu dirasa cukup, tamu berpamitan. Saat inilah anak-anak menemukan momentum kegembiraan, memperoleh pemberian sekadar uang receh yang biasanya uang yang masih baru. Meskipun nominalnya tidak seberapa, anak-anak sangat senang.

Kriteria

Secara denotatif maupun konotatif, setidaknya ada empat kosakata bahasa Jawa yang menunjukkan kategori orang tua yang wajib disungkemi. Mereka adalah orang tua tuwa tuwuh, tuwa kawruh, tuwa apuh, dan tuwa sepuh.

Selain itu, ada satu kosakata yang menunjukkan kategori orang tua yang tidak pantas disungkemi, ialah orang tua tuwa tuwas. Tuwa tuwuh artinya orang tua yang menjadi perantara kita lahir ke dunia, ialah ibu dan bapak.

Sungkem kepada mereka menunjukkan bahwa kita adalah manusia yang tahu diri, rendah hati, dan tahu berterima kasih. Sekalipun pada saat ini kita sedang dalam jabatan dan kedudukan yang tinggi, tetap harus sungkem terhadap kedua orang tua kita, termasuk kepada orang tua istri/suami (mertua).

Sungkem kepada orang tua tuwa kawruh menunjukkan bahwa kita adalah manusia yang tahu bersyukur dan berterima kasih. Tuwa kawruh artinya orang tua yang memiliki ilmu dan pengetahuan lebih tinggi, lebih dalam, dan lebih luas.

Guru berada dalam kategori ini, baik guru di sekolah maupun di luar sekolah. Bukan usia yang menjadi kriteria orang tua tuwa kawruh. Bisa jadi ada orang yang usianya lebih muda daripada kita, tetapi ilmunya jauh lebih tinggi. Sungkem kepada orang tua tuwa kawruh menunjukkan bahwa kita adalah manusia yang berbudi pekerti luhur.

Tuwa apuh atau yang sering dikenal dengan awune luwih tuwa ialah orang yang secara struktur kekerabatan lebih tua daripada kita. Anak-anak dari kakak ibu dan kakak bapak berada dalam kategori ini. Tuwa apuh bisa diperluas kepada pemimpin dalam struktur masyarakat tempat kita berada.

Kepala kantor, kepala sekolah, dekan, rektor, ketua rukun tetangga, ketua rukun warga, kepala dusun, kepala desa, camat, bupati, gubernur, menteri sampai presiden dan/atau raja masuk katerogri tuwa apuh.

Kriteria usia tidak berlaku pada orang tua tuwa apuh. Sungkem kepada orang tua dalam kategori tuwa apuh menunjukkan bahwa kita adalah manusia yang bermartabat. Tuwa sepuh artinya orang yang lebih dahulu dilahirkan daripada kita. Orang yang angka usianya lebih tua daripada kita.

Kriteria ini tidak sebatas orang tua dalam hubungan kerabat, tetapi bisa karena kedekatan tempat tinggal, hubungan sosial, profesi, bahkan pertemanan dan kesejawatan. Sungkem kepada orang tua dalam kategori tuwa sepuh menunjukkan bahwa kita adalah manusia yang cakap menempatkan diri.

Tuwa tuwas adalah orang tua yang tak tahu diri atas usianya. Meskipun tidak pandai, tidak mewawas diri atas kebodohannya. Angkuh dan tidak bijak dalam bertutur kata dan berperilaku. Orang tua tuwa tuwas hanya cakap memberi contoh, tetapi tidak dapat menjadi contoh.

Termasuk dalam kategori tuwa tuwas adalah para penguasa yang melakukan tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme. Jabatan dan kedudukan tinggi dijadikan instrumen untuk melanggar pantangan atas kekuasaan, kesusilaan, dan kekayaan.

Sungkem tidak pantas diberikan kepada orang tua dalam kategori tuwa tuwas karena mereka manusia yang tidak tahu diri, tidak bermartabat, tidak berbudi pekerti luhur, dan tidak tahu bersyukur dan berterima kasih.

*Penulis adalah pamong Taman Siswa di Kota Jogja.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Solopos

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terkait

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Puluhan Kilogram Bahan Baku Petasan Disita Polres Bantul

Bantul
| Kamis, 28 Maret 2024, 21:27 WIB

Advertisement

alt

Film Horor Gunakan Unsur Islam dalam Judul, MUI Sebut Simbol Agama Harus di Tempat yang Pas

Hiburan
| Selasa, 26 Maret 2024, 09:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement