Advertisement
OPINI: Tarif Amerika dan Pelambatan Ekonomi, Saatnya DIY Memperkuat Daya Tahan Ekonomi Berbasis Kearifan Lokal

Advertisement
Keputusan Amerika Serikat untuk memberlakukan tarif tambahan atas sejumlah komoditas asal Indonesia, termasuk produk-produk Industri Kecil dan Menengah (IKM), membawa dampak yang tidak bisa dianggap remeh. Meskipun kontribusi ekspor DIY ke Amerika Serikat secara nominal tidak sebesar provinsi industri besar seperti Jawa Barat atau Jawa Timur, namun efek domino dari kebijakan tersebut tetap terasa, khususnya bagi pelaku industri kreatif, kerajinan, dan produk olahan DIY yang mengandalkan ekspor bernilai tambah tinggi.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada triwulan I tahun 2025, pertumbuhan ekonomi DIY hanya sebesar 4,32% (y-on-y), melambat dibanding periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 5,12%. Perlambatan ini sejalan dengan tren nasional yang mencatatkan pertumbuhan sebesar 4,82%, lebih rendah dari capaian tahun 2024 yang berada di atas 5%. Sektor industri pengolahan di DIY yang selama ini menjadi pilar transformasi struktural, turut mengalami tekanan akibat lemahnya permintaan eksternal dan meningkatnya biaya produksi.
Advertisement
Lebih jauh, pada saat ini secara umum negara kita sedang menghadapi gejala deindustrialisasi dini yakni adanya penurunan kontribusi sektor industri terhadap PDB sebelum mencapai tingkat kemakmuran tinggi. DIY tidak luput dari tren ini. Pada tahun 2024, kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDRB DIY hanya sekitar 11,82%, jauh lebih rendah dibanding sektor tersier seperti jasa dan perdagangan.
Ini menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya basis produksi yang kuat untuk menopang pertumbuhan jangka panjang. Namun di balik tantangan itu, terdapat peluang bagi DIY untuk menciptakan model industrialisasi baru yang berbasis inovasi, kearifan lokal, dan keberlanjutan. Dalam perspektif falsafah Jawa, kita mengenal istilah "sabar lan makarya, nrimo ing pandum, nanging ojo kendho ngupadi kamulyan."
Artinya, kita harus bersabar dan menerima realitas dengan ikhlas, namun tidak boleh berhenti berusaha untuk meraih kemajuan. Sikap ini merepresentasikan etos kerja dan resiliensi yang sangat relevan dalam menghadapi tantangan global seperti saat ini. Tarik menarik kepentingan dagang antarnegara harus dijawab bukan dengan kegamangan, tetapi dengan penguatan akar ekonomi lokal.
Dalam ilmu ekonomi regional, resiliensi ekonomi daerah diukur dari kemampuannya dalam menghadapi guncangan eksternal dan menjaga stabilitas pertumbuhan jangka panjang. Dalam konteks DIY, penguatan struktur IKM dan sektor ekonomi berbasis budaya lokal menjadi kunci untuk menciptakan daya tahan tersebut. Pembangunan industri yang tidak hanya berorientasi ekspor, tetapi juga memiliki ketergantungan yang sehat terhadap pasar domestik, menjadi strategi adaptif dalam situasi geopolitik yang tidak menentu.
Inisiatif seperti pembentukan Klinik Layanan Industri (KINANTI) oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan DIY merupakan langkah strategis untuk memperkuat kapasitas teknis, kelembagaan, dan digitalisasi IKM. Melalui pendekatan berbasis data, pelatihan, dan kolaborasi antar stakeholder, KINANTI menjadi simpul pembelajaran dan pelayanan terpadu yang memungkinkan pelaku usaha naik kelas secara berkelanjutan.
Visi DIY
Di sisi lain, perlunya mendorong diversifikasi pasar ekspor juga tak kalah penting. Kawasan ASEAN, Timur Tengah, hingga Afrika memiliki potensi pertumbuhan konsumsi yang tinggi, dengan persyaratan tarif yang lebih longgar. Pemerintah daerah perlu memfasilitasi diplomasi dagang dan konektivitas logistik agar pelaku usaha tidak terkonsentrasi pada satu pasar utama.
Upaya-upaya ini sangat selaras dengan visi Gubernur DIY untuk "Mewujudkan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat yang Berkeadilan, Berbasis Keistimewaan, dan Berwawasan Budaya." Strategi penguatan industri lokal yang berpijak pada kearifan budaya, gotong royong, dan teknologi tepat guna menjadi bagian dari misi DIY dalam menciptakan kemandirian ekonomi berbasis potensi unggulan daerah.
Diperlukan pula optimalisasi keunggulan lokal DIY yang tidak hanya mengandalkan nilai estetika, tetapi juga nilai fungsional, keberlanjutan, dan daya saing harga. Integrasi antara kearifan lokal, teknologi tepat guna, serta model bisnis digital berbasis platform menjadi jalan tengah yang menjanjikan.
Dalam bahasa Jawa, "ajining dhiri saka lathi, ajining rogo saka busana" produk industri kita harus mencerminkan kualitas yang bukan hanya tampak, tetapi juga bermakna. Kesimpulannya, pengenaan tarif oleh Amerika bukan akhir dari cerita. Justru ini adalah panggilan bagi DIY untuk meneguhkan jati diri ekonominya, dengan memperkuat sektor industri berbasis budaya, inovasi, dan kolaborasi.
Di tengah gejala deindustrialisasi dan perlambatan global, DIY harus tampil sebagai pelopor model pembangunan daerah yang resilien dan berdikari, dengan semangat guyub, gumregah lan gotong royong sebagai landasan menghadapi turbulensi ekonomi dunia. Ini bukan hanya strategi adaptif, tetapi bentuk nyata dari pelaksanaan Keistimewaan Yogyakarta dalam ranah ekonomi.
*Kepala Bidang Sarpras Industri, Dinas Perindag DIY
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement

Kraton Laporkan Pelanggaran Pemanfaatan Tanah Kas Desa Condongcatur ke Polda DIY
Advertisement

Heboh Film Demon Slayer, di Jepang Telah Ditonton 19,8 Juta Orang
Advertisement
Advertisement
Advertisement