Advertisement
Dari Clay ke Model Digital, Siswa SMA Belajar Masa Depan Kerajinan
Dan Daniel Pandapotan, S.Ds., M.Ds. Dosen Desain Produk UKDW Yogyakarta
Advertisement
Workshop Clay to Digital Jewelry yang digelar Program Studi Desain Produk UKDW Yogyakarta menjadi ruang belajar kreatif yang menghadirkan dialog menarik antara kerajinan tradisional dan teknologi digital. Puluhan siswa SMA dari DIY dan Jawa Tengah mengikuti rangkaian pembuatan clay, pemindaian 3D, hingga pencetakan ulang memakai printer 3D.
Tahap awal membuat clay mengajak siswa kembali pada esensi kerajinan: sentuhan langsung, tekanan jari, intuisi bentuk, serta kebebasan bereksperimen tanpa batasan antarmuka digital. Tidak ada perintah software, tidak ada menu yang membatasi ide. Hanya tangan dan imajinasi.
Advertisement
Namun ketika karya clay mereka dipindai dan berubah menjadi model digital tanpa perlu menguasai software seperti 3ds Max atau Blender, suasana langsung berubah. Banyak yang kagum, tetapi muncul pula pertanyaan apakah teknologi benar-benar mempermudah kreativitas atau justru membuat proses belajar terasa instan.
Di titik ini, 3D scan berperan sebagai “jalan pintas” yang memudahkan mereka yang belum menguasai desain digital. Teknologi membuka pintu, membuat dunia 3D terasa lebih ramah. Siswa bisa melihat karya mereka diduplikasi secara presisi. Di sisi lain, kemudahan tersebut bisa menciptakan ketergantungan sehingga dorongan mempelajari proses desain digital lebih dalam bisa melemah.
Pertanyaan ini sejalan dengan temuan Future of Jobs Report 2025 dari World Economic Forum, yang menyebut tiga dari 10 keterampilan inti tahun 2030 adalah creative thinking, analytical thinking, dan curiosity with lifelong learning.
Workshop ini memantik kreativitas dan rasa ingin tahu, tetapi aspek analitis tampak belum tergarap optimal. Sebagian siswa melihat proses transformasi clay menjadi model digital sebagai “keajaiban” tanpa memahami struktur geometrinya atau potensi pengembangannya.
Meski demikian, di situlah nilai penting kegiatan ini. Workshop bukan sekadar menghasilkan karya, melainkan membuka ruang diskusi lebih luas. Pendidikan desain tidak cukup bertumpu pada penguasaan alat, dan kerajinan tidak bisa berdamai dengan teknologi tanpa pemahaman kritis.
Kerajinan tradisional seperti perak Kotagede bertumpu pada sentuhan tangan, detail intuitif, dan proses meditatif—hal yang kerap dianggap tidak selaras dengan pendekatan digital. Padahal digitalisasi bisa memperkaya cara kerja, mempercepat iterasi, dan membantu generasi muda memahami kerajinan masa depan yang lebih hibrid.
Ketika siswa yang awalnya canggung memegang clay tersenyum melihat versi digital karyanya, tampak jelas sebuah transisi. Ada harapan bahwa kerajinan tetap memiliki ruang di era teknologi, bukan sebagai antitesis, tetapi sebagai mitra. Meski demikian, optimisme ini perlu dibarengi dorongan bagi siswa untuk tidak hanya menikmati hasil instan, tetapi juga memahami proses, bertanya lebih kritis, dan mengembangkan rasa ingin tahu jangka panjang.
Akhirnya, workshop ini bukan sekadar soal mengubah clay menjadi model digital, tetapi tentang bagaimana pendidikan desain dan dunia kerajinan beradaptasi. Bukan hanya mengejar laju teknologi, tetapi memadukan kepekaan tangan dengan kecerdasan digital. Masa depan kerajinan akan berada di tangan mereka yang mampu merawat tradisi sekaligus merangkul kemungkinan baru yang ditawarkan teknologi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Pemkab Gelontorkan Rp7,5 M untuk Perbaikan 4 Ruas Jalan di Gunungkidul
Advertisement
Danyang Wingit Jumat Kliwon Siap Teror Bioskop 20 November
Advertisement
Advertisement
Advertisement



