Advertisement
NGUDA RASA: Mendorong Kuliner Indonesia Merajai Lidah Dunia
Ketua Dewan Redaksi Harian Jogja, Ahmad Djauhar. - Harian Jogja/Hengky Kurniawan
Advertisement
Kenapa kuliner Indonesia tiba-tiba mendunia? Hal itu dibuktikan dari beberapa informasi terkini tentang hidangan Indonesia yang kian digemari di seluruh dunia. Harus diakui bahwa media sosial memang menjadi katalisator utama pencapaian tersebut, tetapi itu bukan satu-satunya alasan. Fenomena "mendunianya" kuliner Indonesia saat ini adalah hasil dari kombinasi antara teknologi digital, perubahan selera global, dan strategi diplomasi budaya.
Baru-baru ini, kuliner Indonesia meraih posisi terhormat—tertinggi di antara negara-negara Asia Tenggara—dengan menduduki peringkat ke-10 dalam daftar 100 masakan terbaik dunia versi TasteAtlas 2025. Hal ini selayaknya menjadi momentum untuk mendorongnya ke posisi lebih tinggi lagi, sehingga kelak suatu hari masakan Indonesia dapat merajai lidah orang-orang di seluruh dunia.
Advertisement
Media yang menjadi rujukan industri kuliner dunia itu memosisikan masakan Vietnam di peringkat kedua terbaik di Asia Tenggara, diikuti oleh masakan Thailand. Sedangkan Singapura dan Laos berada di peringkat terbawah. Majalah makanan internasional tersebut merekomendasikan para penikmat kuliner untuk mencoba beberapa hidangan ikonik di Indonesia seperti Nasi Padang, serta kombinasi nasi dan berbagai hidangan tradisional Padang.
Selain itu, TasteAtlas juga merekomendasikan rawon (dengan bumbu khas dari biji pucung/kluwak/kluwek), pempek, sate, nasi goreng ayam, siomay (pangsit ikan kukus dengan sayuran yang disajikan dengan saus kacang), dan soto Betawi (sup daging sapi), gulai, dan banyak lagi.
BACA JUGA
Apalagi cita rasa kuliner Indonesia yang memang kompleks dan unik (kaya rempah/spicy) kebetulan sangat cocok dengan lidah masyarakat global modern. Mereka mulai bosan dengan rasa yang "hambar" pada sejumlah masakan yang selama ini kerap diglorifikasi sebagai “haute cuisine” itu.
Kekuatan media sosial memang mengubah cara dunia mengonsumsi informasi tentang makanan. Adanya kunjungan para food vloggers & youtubers sebagai konten kreator internasional di bidang kuliner, sedikit banyak memiliki kontribusi tersebut. Vlogger kuliner seperti Mark Wiens—yang sudah menjelajah ke mana-mana termasuk beberapa kali ke Indonesia dan membuat konten tentang rendang, nasi padang, atau jajanan kaki lima—mendapatkan—jutaan views. Algoritma YouTube mendorong konten ini ke penonton global.
Format video pendek macam TikTok & Instagram juga terbukti sangat efektif untuk makanan yang ‘visual’ dan menggugah selera. Tren seperti mukbang atau tantangan makan pedas (misalnya Samyang challenge yang kemudian merembet ke mi instan Indonesia) mempercepat penyebaran gaya makan dengan porsi sak hohah itu.
Ketika terjadi, misalnya, selebriti dunia (misalnya idola K-Pop atau artis Hollywood) terlihat makan Indomie atau sate, klip tersebut langsung viral dalam hitungan detik di kalangan penggemar global.
Adanya program gastrodiplomasi "Indonesia Spice Up the World" yang disponsori pemerintah juga turut menyumbang kesuksesan tersebut. Gastrodiplomasi alias diplomasi lewat perut yang digeber pemerintah itu setidaknya terinspirasi oleh kesuksesan Thailand (dengan "Global Thai") dan Korea Selatan (Kimchi & Korean BBQ) yang berhasil mengerek kuliner mereka ke tingkat dunia.
Program tersebut menargetkan pembukaan ribuan restoran Indonesia di luar negeri. Dengan demikian, diharapkan terjadi peningkatan ekspor bumbu dan rempah dari negeri ini yang dari ratusan tahun silam memang dikenal sebagai kepulauan rempah-rempah itu. Ini akan membuat bumbu autentik Indonesia lebih mudah didapat di pasar internasional, sehingga orang asing bisa mencoba memasaknya sendiri.
Tidak dapat dipungkiri pula, mi instan asal Indonesia adalah "duta besar" kuliner yang paling sukses. Merk Indomie, misalnya, sudah menembus pasar Afrika (terutama Nigeria), Timur Tengah, Eropa, dan Amerika. Bahkan di sebuah negara di Afrika, warganya begitu fanatik dan menganggap Indomie sebagai produk asli negerinya.
Rasa mi instan yang kuat dengan harga relatif murah, tak pelak menjadi pintu masuk bagi lidah orang asing untuk mengenal profil rasa Indonesia (gurih, pedas, berempah) sebelum mereka mencoba hidangan yang lebih kompleks seperti Rendang atau Soto.
Memanfaatkan tren makanan nabati
Selain medsos, gastrodiplomasi, dan mi intan di atas, di dunia Barat cenderung terjadi pergeseran pola makan ke arah “plant-based” atau makanan berbasis nabati, bukan daging-dagingan lagi. Dengan kecenderungan ini pula, popularitas tempe turut mendunia.
Boleh dikatakan tempe tiba-tiba menjadi "superfood" primadona di Eropa dan Amerika karena kandungan proteinnya yang tinggi dan proses fermentasi yang sehat. Tempe dianggap lebih unggul secara tekstur dan rasa dibandingkan tahu, dan ini mengangkat nama Indonesia sebagai negara asalnya.
Pengakuan internasional melalui validasi media mainstream juga turut mendorong lidah dunia kian menggemari kuliner Indonesia. Daftar peringkat makanan dunia, seperti dari CNN Travel yang menobatkan Rendang sebagai "Makanan Terenak di Dunia"—tidak hanya sekali, melainkan berkali-kali—turut memberikan legitimasi terhadap kuliner Indonesia. Orang asing yang penasaran dengan predikat "World's Best Food" itu akhirnya mencari dan mencoba masakan tersebut.
Selain gastrodiplomasi, upaya yang harus ditempuh bangsa Indonesia untuk kian mengibarkan kuliner Indonesia di kancah internasional adalah membuat event, misalnya Festival Kuliner Nusantara berskala internasional, yang niscaya menarik lebih banyak peminat dari berbagai negara untuk mendukungnya.
Festival Kuliner Nusantara berskala internasional adalah langkah yang sangat strategis, namun itu memang bukan silver bullet/peluru perak alias satu-satunya solusi. Festival semacam itu sangat efektif untuk membangun awareness (kesadaran) jangka pendek dan hype.
Jika menilik dari sisi strategi komunikasi dan nation branding, festival hanyalah salah satu "ujung tombak" agar kuliner Indonesia benar-benar mengakar seperti masakan Jepang, Thailand, atau Italia, kita perlu membangun ekosistem yang lebih luas.
Festival kuliner itu hendaknya bukan sekadar kumpulan stan UMKM biasa, tapi harus dikurasi dengan standar internasional (higiene, packaging, dan presentasi). Bila perlu, dapat dihadirkan Chef selebriti dunia untuk berkolaborasi dengan Chef Indonesia, misalnya Gordon Ramsay melakukan demo memasak Rendang secara live, mengingat selama ini orangf hanya melihatnya mask rendang di ranah Minang melalui video di kanal Youtube.
Alih-alih mengundang orang asing ke Jakarta (yang mungkin ongkosnya mahal), festival ini harus "jemput bola". Bila perlu, dibuatlah Indonesian Gastronomy Week di pusat keramaian dunia: Times Square (New York), Trafalgar Square (London), atau Shibuya (Tokyo).
Festival tersebut harus menjual cerita. Misalnya diadakan sesi workshop membuat sambal, paparan sejarah jalur rempah (Spice Route), hingga pairing makanan Indonesia dengan wine atau kopi internasional agar lebih relevan dengan lidah lokal sana.
Selain itu, perlu dilakukan semacam standardisasi rasa masakan atau kodifikasi kuliner. Ini adalah rahasia sukses Thailand. Pemerintah Thailand memiliki standar resep untuk Pad Thai dan Tom Yum.
Program itu akan menjadi tantangan Indonesia. Misalnya, soto ayam di Jawa Tengah beda dengan di Jawa Timur atau rendang di Padang berbeda dengan di Jakarta. Dengan demikian, perlu perlu dirumuskan "Bumbu Inti" yang terstandarisasi untuk ekspor. Jadi, ketika orang di London makan Nasi Goreng di restoran A, rasanya konsisten dengan di restoran B. Konsistensi ini penting untuk membangun kepercayaan konsumen asing.
Langkah penting lainnya adalah penetrasi budaya pop sebagai strategi Soft Power. Belajar dari Korea Selatan (K-Drama/K-Pop), makanan tidak dipromosikan secara "hard selling", tapi lewat adegan di drama.
Dengan demikian, pemerintah dianggap perlu mendorong sineas Indonesia agar lebih banyak menampilkan adegan makan yang "menggugah selera" dalam film yang tayang di Netflix/platform global. Bayangkan efeknya jika ada karakter di film box office yang sedang menyantap Sate Ayam dengan nikmat.
Bangsa Indonesia juga perlu memperbaiki rantai pasok (supply chain) mengingat banyak restoran Indonesia di luar negeri sulit berkembang karena bahan bakunya susah didapat atau mahal. Ini masalah teknis tapi sangat krusial.
Pemerintah dan swasta harus memastikan bumbu-bumbu kunci (kluwak, lengkuas, daun salam segar, andaliman) mudah didapat di supermarket Asia di Eropa/Amerika. Jika bahannya mudah, orang asing akan berani mencoba memasak sendiri di rumah (home cooking adalah indikator masakan itu sudah diterima secara budaya).
Selama ini kuliner Indonesia di luar negeri sering dianggap "makanan murah" atau "kelas warung". Karena itu, perlu didorong pendirian lebih banyak restoran Indonesia berkonsep Fine Dining di kota-kota kosmopolitan (Paris, New York, Tokyo) untuk menaikkan gengsi. Narasi yang dibangun bukan "murah dan kenyang", melainkan "kompleksitas rempah", "warisan sejarah", dan "kesehatan" (seperti Jamu atau makanan fermentasi).
Apalagi tren dunia sedang mengarah ke wellness. Indonesia punya aset besar di bidang ini, melalui jamu dan rempah. Perlu diromosikan bahan empon-empon seperti kunyit, jahe, dan temulawak bukan sebagai obat kuno, tapi sebagai modern wellness drink. Contoh untuk itu adalah Tumeric Latte yang sempat tren).
Ada baiknya dipromosikan juga bahwa Indonesia memiliki gado-gado, karedok, dan tempe yang dapat dianggap sebagai "Surga bagi Vegan" mengingat rasanya yang nikmat dan tidak hambar itu.
Kombinasi antara event megah dan strategi gerilya lewat budaya pop inilah yang akan membuat dunia tidak hanya "mengetahui", tapi "membutuhkan" kuliner Indonesia sebagai bagian dari upaya menjadikan hidup sehat lebih melalui kuliner yang tepat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Jadwal KSPN Malioboro-Pantai Baron Senin 15 Desember 2025
Advertisement
Taylor Swift Bagikan Bonus Rp3,2 Triliun untuk Kru Eras Tour
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement



