Advertisement
Tangis Perempuan, Anak, dan Lansia saat Bencana Sumatra
Dr. Islamiyatur Rokhmah, S.Ag., M.S.I,Ketua Pusat Studi Perempuan Keluarga dan Bencana (PSPKB) Unisa Yogyakarta
Advertisement
Pulau Sumatra kembali diguncang rangkaian bencana yang menyisakan pilu mendalam. Dari banjir bandang dan tanah longsor baik di Sumatra Utara, Sumatra Barat, maupun Aceh. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), korban tewas paling banyak terjadi di Sumatra Utara, yakni sekitar 166 jiwa, ratusan warga dinyatakan hilang, serta ribuan rumah rusak dan warga mengungsi, khususnya di Tapanuli, Sibolga, Tapanuli Tengah (per 29 Nov 2025).
Sementara di Aceh, tercatat 47 orang tewas, 51 orang hilang, dan sejumlah luka-luka. Dilaporkan pula di Kabupaten Aceh Utara, ribuan jiwa dilaporkan mengungsi.
Advertisement
Adapun, Sumatra Barat Juga terdampak parah. Korban meninggal dunia tercatat, menurut sebagian data mencapai 90 jiwa tewas, dengan banyak orang hilang, dan puluhan jembatan serta infrastruktur rusak (Antaranews). Selain itu, ribuan rumah terendam atau rusak, dan banyak warga yang mengungsi.
Deretan peristiwa ini menjadi pengingat keras bahwa alam sedang menegur kita. Bukan sekadar getaran tanah atau luapan air, tetapi juga suara tangis perempuan dan anak-anak yang kehilangan rumah, tempat aman, dan rasa tenang.
BACA JUGA
- Ubah total lead agar lebih menarik dan sesuai kata kunci utama. Perbaiki seluruh typo sesuai KBBI tanpa mengubah nama tempat, nama orang, nama dinas, dan isi kutipan. Cetak tebal semua bagian yang mengalami perubahan, serta sesuaikan seluruh tanda baca
- Media Italia Puji Emil Audero Usai Cremonese Menang di Bologna
Bencana di Sumatra bukan hanya rangkaian kejadian alamiah; ia merupakan cermin dari keseimbangan lingkungan yang terganggu. Pembukaan hutan tanpa kontrol, pembangunan tanpa perhitungan risiko, serta perubahan iklim global memperbesar skala bencana yang sebelumnya mungkin hanya terasa sebagai peristiwa alam biasa.
Kini, ketika hujan turun lebih lebat dari musim-musim sebelumnya dan tanpa aba-aba, alam seolah berkata, “Ada yang harus diperbaiki dalam hubungan manusia dan bumi.”
Perempuan & Anak
Dalam setiap peristiwa bencana, kelompok yang paling rentan selalu sama: perempuan, anak-anak, dan lansia.
Namun dalam bencana Sumatra, potret paling menyayat hati adalah suara tangis anak-anak yang kehilangan sekolah, dan perempuan yang kehilangan sumber penghidupan maupun tempat berlindung.
Bagi perempuan, bencana bukan sekadar kehilangan rumah. Mereka memikul beban berlapis, yakni memastikan keluarga selamat, menjaga anak-anak, sambil tetap menghadapi ketidakpastian pemenuhan kebutuhan dasar.
Bagi anak-anak, trauma gempa atau banjir akan mereka ingat bertahun-tahun sebelum benar-benar hilang. Banyak dari mereka kehilangan buku, pakaian, dan ruang aman untuk bermain. Hal ini menjadi sesuatu yang sering dianggap remeh dalam penanganan darurat.
Di tenda-tenda pengungsian, cerita-cerita kecil yang terdengar rawan terabaikan, mulai dari ibu yang tak lagi memiliki pembalut, bayi yang kekurangan susu, hingga remaja putri yang harus menahan malu karena tidak ada fasilitas mandi yang aman.
Refleksi
Setiap bencana seharusnya menjadi momentum refleksi bersama. Sumatra adalah pulau dengan kekayaan alam melimpah gunung, sungai, hutan, dan laut namun juga merupakan pulau dengan tingkat risiko bencana sangat tinggi.
Refleksi yang perlu kita renungkan adalah pengelolaan lingkungan harus kembali kepada prinsip keberlanjutan. Teguran alam tidak akan berhenti jika kebijakan pembangunan tetap mengabaikan daya dukung dan risiko geologi.
Penanganan bencana harus berperspektif gender, anak dan lansia. Keberadaan ruang laktasi, kebutuhan kebersihan perempuan, psikososial anak, hingga keamanan tenda pengungsian bukanlah hal pelengkap, melainkan kebutuhan dasar.
Pendidikan kebencanaan harus ditanamkan sejak dini. Anak-anak yang memahami cara menyelamatkan diri akan tumbuh menjadi generasi tangguh.
Kolaborasi masyarakat, pemerintah, dan lembaga kemanusiaan harus diperkokoh. Bencana tidak mengenal batas administratif; penanggulangannya pun harus lintas sektoral.
Sumatra mengajarkan kita bahwa alam tidak pernah membenci manusia; ia hanya memberikan tanda ketika keseimbangannya terganggu. Setiap tetes air mata perempuan yang kehilangan rumah, setiap jeritan anak yang ketakutan, seharusnya menggerakkan kita untuk mengambil langkah nyata memperbaiki hubungan dengan bumi.
Karena ketika alam menegur, ia tidak hanya menggoyang tanah atau menghanyutkan air ia juga menggoyang hati kita. Teguran itu akan terus datang sampai manusia benar-benar belajar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
3 Orang Tewas Kecelakaan Beruntun di Jalan Adisucipto Sleman
Advertisement
Netflix Hapus Fitur Casting di Mobile, Pengguna Kecewa
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement



