Advertisement
Hari Ibu: Saatnya Meluruskan Makna Ibu Hebat
Arif Nasiruddin, S.Psi, MA., Penggerak Swadaya Masyarakat, Ahli Muda Bidang Perlindungan Perempuan, dan Perlindungan Khusus Anak DP3AP2 DIY.
Advertisement
Setiap perayaan Hari Ibu, linimasa media sosial kita selalu dipenuhi ungkapan manis: “Terima kasih Ibu Hebat”, “Ibu Tangguh adalah pahlawan tanpa tanda jasa”, “Perempuan bisa melakukan segalanya”.
Kalimat-kalimat ini terdengar indah dan penuh penghargaan. Akan tetap tanpa disadari, makna yang kita rayakan sering kali tidak sejalan dengan hakikat Hari Ibu yang diperingati setiap 22 Desember di Indonesia. Mengapa demikian?
Advertisement
Pertama, Hari Ibu di Indonesia berbeda dengan Mother’s Day internasional yang diperingati setiap Mei.
Mother’s Day menitikberatkan pada penghargaan terhadap peran ibu dalam memberi kasih sayang dan cinta di dalam keluarga. Sementara itu, Hari Ibu di Indonesia lahir dari sejarah perjuangan perempuan.
BACA JUGA
Tanggal 22 Desember merujuk pada Kongres Perempuan Indonesia I yang berlangsung pada 22–25 Desember 1928 di Jogja. Kongres ini menjadi tonggak penting perjuangan perempuan Indonesia dalam memperjuangkan hak-hak pendidikan, politik, dan kesetaraan peran dalam perjuangan kemerdekaan serta pembangunan bangsa.
Hari Ibu, dalam konteks Indonesia, sejatinya adalah hari peringatan perjuangan perempuan, bukan sekadar perayaan peran domestik ibu.
Kedua, ungkapan “Ibu Hebat” atau “Ibu Tangguh” perlu ditata ulang agar tidak mengaburkan kenyataan beban berlapis yang ditanggung perempuan akibat konstruksi sosial yang bias dan belum sepenuhnya dikritisi.
Pujian tersebut kerap berubah menjadi romantisasi ketangguhan perempuan, baik di ranah domestik maupun publik. Tanpa disadari, label “Ibu Hebat” menormalisasi tekanan emosional, psikologis, dan sosial yang dialami perempuan. Seolah-olah perempuan memang harus kuat, sabar, dan mampu menanggung semuanya.
Perempuan yang mampu menjalankan peran domestik dengan baik, tetap produktif di ruang publik, dan tidak mengeluh, itulah yang dianggap “hebat”.
Seiring meningkatnya partisipasi perempuan di dunia kerja, narasi “Ibu Tangguh” semakin sering dilekatkan pada perempuan yang sukses bekerja sekaligus mengurus rumah tangga. Mereka dipuji sebagai sosok multitasking yang luar biasa: mengurus anak, memasak, membersihkan rumah, sambil tetap profesional di tempat kerja. Sekilas, ini tampak sebagai bentuk apresiasi.
Namun sesungguhnya, narasi ini justru menormalisasi double burden atau beban ganda yang dialami perempuan. Jarang ada pertanyaan kritis: mengapa semua beban itu harus ditanggung perempuan? Mengapa pekerjaan domestik dianggap sebagai kewajiban perempuan, bukan tanggung jawab bersama dalam keluarga?
Jika ditelusuri lebih jauh, ungkapan “Ibu Hebat” yang beredar di masyarakat menunjukkan pola yang sama dari tahun ke tahun.
Pertama, “Ibu Hebat” digambarkan sebagai sosok multitasking dengan kompetensi domestik yang tinggi, mampu mengerjakan segalanya dengan cekatan, dari urusan rumah hingga pekerjaan profesional.
Kedua, “Ibu Hebat” adalah ibu yang rela berkorban secara emosional. Dia mengorbankan waktu, tenaga, bahkan mimpi pribadinya demi keluarga. Pengorbanan ini dirayakan secara romantis, seolah ibu yang baik adalah ibu yang selalu menempatkan dirinya di urutan terakhir.
Ketiga, “Ibu Hebat” adalah ibu yang mampu berkontribusi secara ekonomi. Perempuan yang membantu menambah penghasilan keluarga dipuji sebagai pahlawan.
Namun, pada saat yang sama, tidak ada pengurangan ekspektasi terhadap peran domestiknya. Perannya bertambah, tetapi bebannya tidak dibagi.
Keempat, “Ibu Hebat” sering digambarkan sebagai sosok yang tetap rapi, cantik, dan anggun meski lelah. Media sosial memperkuat citra “ibu ideal” yang harus selalu terlihat baik-baik saja, meskipun berada di bawah tekanan dan kelelahan.
Kelima, “Ibu Hebat” dilekatkan pada ketahanan emosional. Ibu diharapkan selalu sabar, lembut, dan stabil secara emosi, menjadi penyangga perasaan seluruh anggota keluarga. Ironisnya, wacana tentang self-care dan kesehatan mental sering kali tidak diposisikan sebagai hak ibu.
Ibu yang memprioritaskan kesehatan mentalnya kerap dianggap egois atau kurang berkorban.
Pemahaman tentang kesetaraan gender dan pembagian kerja yang adil di dalam rumah tangga pun masih minim dipahami.
Meluruskan Makna
Pandangan tentang “Ibu Hebat” perlu diluruskan agar tidak menjadi label yang justru berubah menjadi standar sosial yang membebani, bukan menguatkan. Ketika ibu hebat dimaknai sebagai perempuan yang sukses di ranah publik sekaligus sempurna di ranah domestik, maka muncul tuntutan agar perempuan mampu mengerjakan semuanya dengan tanpa mengeluh, tanpa gagal, dan tanpa bantuan.
Perempuan dipuji karena ketangguhannya, tetapi pujian itu sekaligus menutupi kenyataan bahwa sistem sosial dan budaya belum memberi ruang yang adil bagi perempuan untuk menegosiasikan perannya. Ketika satu peran dianggap tidak berjalan sempurna, perempuanlah yang sering disalahkan.
Lebih jauh lagi, narasi “Ibu Hebat” berdampak pada relasi gender dalam rumah tangga. Ketika perempuan dianggap “secara alami” lebih pantas mengurus rumah, banyak laki-laki dengan pemahaman gender yang bias merasa pekerjaan domestik bukan tanggung jawab mereka. Kontribusi kecil sering dianggap sebagai “membantu”, padahal esensinya adalah berbagi tanggung jawab secara setara.
Romantisasi ini juga memengaruhi cara generasi muda memandang peran gender. Remaja perempuan tumbuh dengan keyakinan bahwa menjadi perempuan berarti siap berkorban tanpa batas. Sementara remaja laki-laki sering tidak dibesarkan dengan standar tanggung jawab domestik yang sama. Ketimpangan ini pun terus diwariskan.
Karena itu, narasi “Ibu Hebat” perlu ditata ulang. Perempuan tidak membutuhkan glorifikasi romantis, melainkan dukungan nyata: pembagian kerja domestik yang adil, pengakuan atas nilai kerja pengasuhan, perlindungan kesehatan mental, fleksibilitas kerja, serta ruang aman untuk menegosiasikan peran dan beban.
Membangun perspektif “Baru” laki-laki menjadi agenda yang sangat penting. Perspektif bahwa “Ibu Hebat” harus didukung oleh peran laki-laki dalam berbagi “beban” domestik perempuan untuk memastikan semua beban tidak tertumpu pada ibu untuk memikulnya.
Pada akhirnya, tugas kita bukan menciptakan mitos tentang ibu yang sempurna, melainkan mewujudkan masyarakat yang adil di mana perempuan tidak dipuji karena sanggup menanggung beban yang seharusnya dibagi bersama. Selamat Hari Ibu 2025. (Advertorial)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement





