Advertisement

Mencari Keadilan Bagi Anak Negeri: Dari Ojol yang Tewas hingga Profesor Instan

Rendra Widyatama, SIP., M.Si., Ph.D
Selasa, 09 September 2025 - 09:20 WIB
Jumali
Mencari Keadilan Bagi Anak Negeri: Dari Ojol yang Tewas hingga Profesor Instan Dosen pada Program Studi Ilmu Komunikasi UAD, Rendra Widyatama, SIP., M.Si., Ph.D - Istimewa

Advertisement

Akhir Agustus kemarin, Indonesia mengalami peristiwa memilukan, berupa demonstrasi berujung kerusuhan, penjarahan, dan korban jiwa. Peristiwa itu bukan sekadar bentrokan massa dengan aparat. Ia adalah cermin retak ketimpangan sosial yang semakin melebar—baik kasat mata maupun yang dirasakan secara psikologis. Ketimpangan itu ada di mana-mana, membawa potensi luka yang terus menganga.

BACA JUGA: Logo Hari Jadi Kulonprogo Diprotes

Advertisement

Ketimpangan yang Kasat Mata

Di jalanan kota-kota besar, kita melihat kontras yang begitu tajam. Di satu sisi, berdiri gedung pencakar langit dan apartemen megah dengan fasilitas serba modern. Di sisi lain, hanya berjarak beberapa kilometer, ada permukiman padat dengan sanitasi buruk dan akses air bersih terbatas.

Ketimpangan tersebut semakin nyata ketika membandingkan pendapatan. Anggota dewan, misalnya, punya gaji dan tunjangan berpuluh kali lipat dari Upah Minimum Regional (UMR). Netizen menghitung, penghasilan anggota dewan 42 kali UMR Jakarta, padahal UMR Jakarta saja sudah tertinggi di Indonesia. Perbandingan tersebut menempati rangking 1 dunia bahkan di negara kaya seperti Amerika Ssearikat yang hanya 3,6 kali UMR di sana. Ironisnya, pajak anggota dewan di Indonesia, masih dibayarkan negara. Padahal, rakyat yang berpenghasilan UMR masih dipotong aneka pajak. Kontras ini bukan sebatas angka, melainkan pukulan psikologis bagi banyak warga yang merasa “membiayai” pejabat tanpa imbalan nyata.

Luka Psikologis Ketidakadilan

Ketimpangan tidak hanya soal perbedaan materi. Ia menimbulkan luka psikologis yang mendalam. Pekerja merasa hidup tidak lebih dari sekadar roda ekonomi yang berputar tanpa arah. Rakyat diminta berhemat dalam kerangka efisiensi, sementara di layar televisi, kita diperlihatkan fakta pemerintahan super gendut di samping mudahnya elit bepergian ke luar negeri.

Rasa ketidakadilan juga terasa di dunia pendidikan. Dosen yang bertahun-tahun mengabdikan diri untuk meneliti dan mengajar, harus berjuang keras untuk mencapai jabatan akademik tertinggi, yakni profesor. Sebaliknya, tokoh publik atau pejabat justru bisa memperolehnya dengan mudah, bahkan dalam waktu singkat, bahkan dengan syarat yang masih diragukan. Situasi ini memunculkan kesan bahwa akses terhadap prestasi akademik pun terdapat ketidakadilan.

Bayangkan dampak psikologisnya: rakyat jelata yang membanting tulang mencari rejeki dikenai aneka pajak dan mereka yang berjuang mencerdaskan bangsa dipersulit kariernya. Semua merasakan ketidakadilan yang sama. Ketidakadilan yang terus-menerus akhirnya menumpuk menjadi bara dalam dada, yang sewaktu-waktu bisa meledak dalam bentuk kemarahan sosial.

Mengapa Ketimpangan Memicu Kerusuhan

Sejarah menunjukkan, ketika jurang ketidakadilan melebar, stabilitas sosial ikut terancam. Rakyat yang suaranya tidak didengar akhirnya mencari cara lain untuk menyalurkan frustrasi. Terlebih, saat suara rakyat justru dijawab dengan ledekan dan hinaan politisi misalnya dengan menyebut tolol kepada rakyat serta  membandingkan elit-rakyat sebagai sesat logika. Bisa dipahami bila rakyat marah dan berdemonstrasi. Demonstrasi rawan berubah menjadi kerusuhan dan biasanya memakan korban. Penjarahan adalah gejala dari sebuah sistem yang gagal memberikan rasa adil kepada warganya.

Saatnya Merumuskan Ulang Sistem

Sampai kapan kita akan membiarkan luka terus menganga? Indonesia membutuhkan keberanian politik untuk merumuskan ulang sistem yang melanggengkan ketimpangan. Ada beberapa langkah yang bisa dipertimbangkan: Pertama, reformasi penggajian pejabat publik. Gaji dan tunjangan pejabat harus dikaji ulang agar tidak terlalu jauh meninggalkan standar kehidupan rakyat biasa.

Kedua, perbaikan sistem pajak. Pajak semestinya bersifat progresif, di mana kelompok kaya membayar lebih besar sesuai kapasitasnya. Beban pajak rakyat kecil harus dikurangi, misalnya memperluas subsidi barang kebutuhan pokok. Ketiga, keadilan dalam berbagai sektor, termasuk pendidikan. Gelar akademik harus dijaga sebagai prestasi intelektual, bukan karena status sosial. Keempat, penguatan jaring pengaman sosial. Akses layanan kesehatan, pendidikan, dan lapangan kerja layak harus dipastikan menjangkau seluruh masyarakat, terutama kelompok paling rentan.

Menutup Luka, Membangun Harapan

Ketimpangan sosial yang dibiarkan akan terus menjadi bara dalam sekam. Demonstrasi, kerusuhan, bahkan penjarahan hanyalah gejala permukaan dari masalah yang jauh lebih dalam. Jika sistem yang ada tidak dirombak, luka sosial hanya akan semakin membesar. Keadilan harus menjadi fondasi utama dalam merumuskan kebijakan publik. Yang kita butuhkan adalah memastikan setiap orang, tanpa memandang status sosial, memiliki kesempatan yang adil. Saatnya negara hadir menutup luka ketimpangan—agar yang diwariskan kepada generasi mendatang bukanlah amarah dan kerusuhan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Terbakar di 2024, Perbaikan Pasar Trowono Gunungkidul Telan Rp515 Juta

Terbakar di 2024, Perbaikan Pasar Trowono Gunungkidul Telan Rp515 Juta

Gunungkidul
| Kamis, 11 September 2025, 21:27 WIB

Advertisement

25 Film Lolos Seleksi Awal FFI 2025, dari Sore hingga Jumbo

25 Film Lolos Seleksi Awal FFI 2025, dari Sore hingga Jumbo

Hiburan
| Kamis, 11 September 2025, 18:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement