Advertisement
OPINI: Saatnya Jamu Naik Kelas

Advertisement
Di tengah semangat kemandirian farmasi nasional, Indonesia sesungguhnya menyimpan potensi besar yang belum digarap secara optimal, yakni kekayaan hayati dan pengetahuan tradisional dalam bentuk jamu.
Lebih dari 30.000 jenis tanaman obat tumbuh di negeri ini. Tetapi hanya sebagian kecil yang telah diteliti secara mendalam, diformulasikan secara ilmiah, dan dimanfaatkan dalam sistem pelayanan kesehatan formal. Sementara kebutuhan masyarakat akan pengobatan yang lebih holistik, alami, dan terjangkau terus meningkat, terutama dalam menghadapi penyakit kronis dan degeneratif yang kian meluas.
Advertisement
Sampai hari ini, jamu masih lebih banyak diperlakukan sebagai warisan budaya ketimbang sebagai produk kesehatan berbasis ilmu pengetahuan. Di sisi lain, masyarakat Indonesia masih menggunakan jamu secara luas dalam perawatan mandiri.
Survei Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan bahwa lebih dari separuh penduduk pernah mengonsumsi jamu, tetapi hanya sedikit dari mereka yang mendapatkannya melalui layanan kesehatan resmi. Artinya, terjadi ketimpangan sistemik antara kebutuhan masyarakat dan dukungan negara.
Sudah saatnya pemerintah mengambil langkah berani dengan mendorong model pelayanan kesehatan integratif, yakni perpaduan antara pengobatan konvensional dan tradisional berbasis bukti. Dalam model ini, jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka dapat menjadi bagian dari sistem pelayanan medis yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan etik.
Kebijakan ini tidak hanya akan memperluas akses masyarakat terhadap pilihan pengobatan yang lebih alami dan terjangkau, tetapi juga mendorong kemandirian bangsa dalam bidang farmasi dan kesehatan.
Kebijakan integratif harus dimulai dari sistem pembiayaan. Produk-produk fitofarmaka yang telah melalui uji klinis dan mendapat izin edar dari BPOM seharusnya dapat masuk dalam daftar obat yang dijamin oleh BPJS Kesehatan. Dengan demikian, dokter dan tenaga kesehatan di puskesmas maupun rumah sakit tidak ragu untuk meresepkannya. Langkah ini penting untuk menghilangkan stigma bahwa jamu adalah pengobatan alternatif tanpa dasar ilmiah.
Di sisi lain, fasilitas layanan kesehatan juga perlu diberi ruang dan dukungan untuk mengembangkan layanan integratif. Tenaga medis perlu dibekali dengan pelatihan mengenai penggunaan obat herbal yang berbasis bukti, sementara tenaga pengobat tradisional perlu difasilitasi agar dapat bekerja dalam sistem yang teregistrasi, terstandar, dan diawasi.
Ini membuka peluang sinergi antara pendekatan modern dan lokal dalam pelayanan kesehatan, khususnya pada penyakit kronis yang memerlukan perawatan jangka panjang dan multidimensi.
Peran Kampus
Universitas memegang peran sangat penting dalam mewujudkan visi ini. Sebagai pusat riset, pendidikan, dan inovasi, perguruan tinggi dapat mempercepat konversi jamu menjadi fitofarmaka. Riset interdisipliner antara farmasi, kedokteran, biologi, dan pertanian perlu digalakkan untuk mengeksplorasi kandungan aktif tanaman obat lokal, menguji efektivitasnya, dan mengembangkan formulasi yang aman dan stabil. Hasil riset itu kemudian dapat dilanjutkan dalam bentuk kerja sama hilirisasi dengan industri obat dan UMKM penghasil jamu.
Pendidikan tenaga kesehatan juga harus diperbarui agar lebih inklusif terhadap pendekatan pengobatan tradisional. Mahasiswa kedokteran, farmasi, dan keperawatan perlu dikenalkan pada potensi dan keterbatasan penggunaan fitofarmaka dalam konteks terapi berbasis bukti. Lebih dari itu, universitas dapat menjadi jembatan kemitraan antara pelaku usaha, petani tanaman obat, dan masyarakat dalam membangun ekosistem inovasi herbal yang menyatu dengan realitas sosial dan ekonomi lokal.
Di tengah gejolak harga bahan baku obat global dan ketergantungan tinggi pada impor, penguatan potensi jamu menjadi strategi kemandirian yang sangat relevan.
Indonesia tidak bisa selamanya bergantung pada sistem kesehatan yang tidak selaras dengan kekayaan lokalnya. Kita memiliki sumber daya, pengetahuan, dan kebutuhan untuk mengembangkan sistem kesehatan yang lebih kontekstual dan berkelanjutan. Satu hal yang diperlukan saat ini adalah keberanian untuk menetapkan arah baru, serta konsistensi dalam membangun sistem regulasi, pembiayaan, dan pendidikan yang mendukungnya.
Mengangkat jamu dari sekadar tradisi menjadi bagian resmi dari sistem kesehatan nasional bukanlah hal yang mustahil.
Dengan dukungan kebijakan yang jelas, komitmen lembaga riset, dan partisipasi aktif masyarakat, jamu dan fitofarmaka dapat menjadi salah satu tulang punggung pelayanan kesehatan modern Indonesia. Kini, saatnya jamu naik kelas. (***)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Gratifikasi dan Ketidakjujuran Akademik Masih Membayangi Dunia Pendidikan
- HIKMAH RAMADAN: Tasamuh Sesama Muslim dalam Perbedaan Gerakan Salat
- HIKMAH RAMADAN: Merangkul Duka, Menemukan Cahaya
- HIKMAH RAMADAN: Meningkatkan Keterampilan Regulasi Emosi Anak saat Ramadan
- HIKMAH RAMADAN: Lansia Sehat, Berilmu, Bertaqwa, dan Bahagia
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement