Advertisement
OPINI: Diam karena Takut: Ketika Stigma Tutup Akses Rehabilitasi Narkoba

Advertisement
Penyalahgunaan narkoba semakin marak terjadi. Seluruh lapisan masyarakat, tanpa terkecuali, telah disusupi oleh peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba.
Itulah sebabnya, persoalan penyalahgunaan narkoba, tidak lagi menjadi masalah pribadi semata, melainkan telah menjelma menjadi permasalahan kesehatan, lingkungan dan sosial kemasyarakatan.
Advertisement
Sejak beberapa dekade lalu, para ahli telah menyatakan bahwa kecanduan narkoba adalah penyakit kronis dan kambuhan yang diakibatkan oleh efek jangka panjang narkoba pada otak.
Seperti banyak penyakit otak lainnya, maka aspek perilaku dan sosial merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari gangguan otak itu sendiri.
Oleh karena itu, pendekatan yang paling efektif sebaiknya dilakukan secara komprehensif, meliputi biologis, perilaku dan sosial.
Namun, sebagian besar masyarakat masih menganggap bahwa pecandu dan korban penyalahgunaan narkoba adalah orang jahat yang harus dihukum dan dipenjara, alih-alih sebagai orang sakit yang harus mendapat pertolongan.
Stigma kuat terhadap pencandu dan korban penyalahgunaan narkoba di masyarakat menjadi salah satu hambatan terbesar upaya penanggulangan narkoba di Indonesia.
BACA JUGA: Jalan Tol Jogja-Solo Segmen Prambanan-Purwomartani Kalasan Mulai Dicor
Rehabilitasi
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), stigma berarti ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya. Dengan kata lain, stigma adalah konstruksi sosial yang tercipta dari cara pandang masyarakat terhadap suatu hal, dan kemudian berdampak pada bagaimana individu atau kelompok tertentu diperlakukan.
Di dalam masyarakat, pencandu narkoba dipandang sebagai “sampah masyarakat”, “pembuat onar”, bahkan “kriminal”. Label ini tidak hanya menambah kerusakan mental orang tersebut dan menurunkan kualitas hidup, tetapi juga menciptakan diskriminasi di masyarakat serta menghambat untuk mengakses ke layanan kesehatan atau mencari pertolongan ke fasilitas rehabilitasi.
Padahal sesuai amanat UU No 35/2009 tentang Narkotika, dinyatakan bahwa pencandu dan korban penyalahgunaan narkoba berhak mendapatkan layanan rehabilitasi medis dan sosial.
Bahkan merujuk pada PP No 25/2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika, dinyatakan bahwa pencandu yang sudah cukup umur atau keluarganya, serta orang tua/wali pencandu yang belum cukup umur harus melapor ke Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) untuk mendapatkan layanan rehabilitasi.
Jadi, pada dasarnya, pencandu narkotika telah dijamin haknya untuk mendapatkan rehabilitasi jika melapor atau mengakses layanan rehabilitasi, dan bukan untuk dipidana.
Meskipun pemerintah sudah secara jelas mengatur tentang rehabilitasi, namun ancaman pidana masih membayangi para pencandu dan korban penyalahgunaan narkoba.
Hal ini diperparah dengan kurangnya pemahaman masyarakat tentang konsep adiksi dan hukum pidana yang menyasar kepada para bandar, pengedar, kurir, dan orang yang terlibat jaringan peredaran gelap narkoba.
Stigma masyarakat juga menyebabkan efek domino terhadap aksesibilitas ke pemberi layanan rehabilitasi. Pencandu atau korban penyalahgunaan narkoba yang ingin pulih, pada kenyataannya tidak bisa dengan mudah datang ke fasilitas rehabilitasi. Mereka takut ketahuan dan dikucilkan oleh masyarakat. Bahkan mereka sendiri masih bingung ke mana harus melapor, agar tidak dijebloskan ke penjara. Akibatnya, banyak yang memilih diam dan terus berada dalam lingkaran penyalahgunaan.
Tidak sedikit pula keluarga yang merasa malu jika ada anggota keluarganya yang terlibat narkoba dan memandang kecanduan sebagai aib keluarga. Keluarga bahkan membantu menyembunyikan dan menutupinya.
Hal ini mengakibatkan kondisi kecanduan semakin bertambah parah dan keluarga mejadi ikut “sakit”.
Penilaian sosial menjadi momok yang menakutkan sehingga proses pemulihan menjadi semakin sulit. Padahal dukungan dari keluarga dan lingkungan merupakan faktor penting dalam keberhasilan rehabilitasi dan pemulihan.
Perlunya Edukasi
Oleh karena itu, perlu dilakukan penyebarluasan informasi secara masif terkait dengan pentingnya rehabilitasi, yang harus sejalan dengan edukasi tentang bahaya narkoba.
Tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat dan budaya, institusi pendidikan, institusi pemerintah dan swasta serta media massa perlu dilibatkan dalam menyusun narasi bahwa menjalani rehabilitasi bukan aib, namun bentuk suatu keberanian menuju pemulihan.
Pemerintah harus membuka akses layanan rehabilitasi seluas-luasnya agar mudah dijangkau oleh masyarakat. Melengkapi sarana dan prasaran serta memperkuat petugas rehabilitasi agar mampu memberikan layanan yang terstandar dan berkualitas.
Di sisi lain, aparat penegak hukum juga perlu memahami prinsip pendekatan dekriminalisasi dan restorative justice bagi pencandu dan koban penyalahgunaan narkoba. Langkah represif akan menambah ketakutan dan memperburuk stigma. Sebaliknya, jika pencandu narkoba merasa aman, maka akses menuju rehabilitasi semakin lebar dan permintaan narkoba dapat ditekan.
Stigma tidak dapat dihapus dalam semalam.
Namun, melalui langkah kecil yang konsisten, kita bisa menciptakan lingkungan yang lebih inklusif serta mendukung pemulihan. Mulailah dari diri sendiri, mulai dari keluarga dan mulai dari sekarang. Rehabilitasi merupakan awal menuju hidup yang lebih baik, sehat, dan produktif. Lawan stigma dan berani rehabilitasi. (***)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- NGUDARASA: Keadilan Restoratif, Solusi yang Kian Diminati
- Gratifikasi dan Ketidakjujuran Akademik Masih Membayangi Dunia Pendidikan
- HIKMAH RAMADAN: Tasamuh Sesama Muslim dalam Perbedaan Gerakan Salat
- HIKMAH RAMADAN: Merangkul Duka, Menemukan Cahaya
- HIKMAH RAMADAN: Meningkatkan Keterampilan Regulasi Emosi Anak saat Ramadan
Advertisement

Tingkatkan Kecepatan dan Akurasi Pengelolaan Logistik Kebencanaan, Sleman Luncurkan Aplikasi Silola
Advertisement

Miles Film Siap Luncurkan Rangga dan Cinta yang Lebih Berwarna
Advertisement
Advertisement
Advertisement