Advertisement
OPINI: Ketika Kemerdekaan Tak Menciptakan Kedaulatan Teknologi

Advertisement
Tahun ini kita masih menyanyikan “Indonesia Raya” dan mengibarkan bendera dengan penuh kebanggaan. Namun, apakah kemerdekaan yang kita rayakan benar-benar telah menjelma menjadi kedaulatan, terutama dalam bidang teknologi? Di saat negara-negara lain melaju cepat dengan inovasi dan produksi teknologi sendiri, Indonesia masih berjalan tertatih, menjadi pasar dan tempat pembuatan produk asing. Pertanyaannya sederhana tetapi menohok: mengapa setelah hampir delapan dekade merdeka, kita masih bergantung pada inovasi orang lain? Tulisan ini lebih sebagai refleksi penulis sebagai peneliti yang meski telah memperoleh dana tahunan dari pemerintah namun masih merasa gagal untuk dapat memberikan kontribusi nyata pada kemajuan bangsa ini terutama pada kemandirian teknologi. Ada beberapa permasalahan yang kalau boleh disebut sebagai akar masalah pada isu kemandirian teknologi di Indonesia.
Pertama, dominasi penanaman modal asing (PMA) dalam industri strategis menjadikan Indonesia hanya sebagai basis produksi, bukan pusat inovasi. Sektor-sektor utama seperti otomotif, elektronik, petrokimia, hingga pertambangan masih dikuasai oleh perusahaan multinasional. Konsekuensinya, aktivitas penelitian dan pengembangan (research and development atau R&D) dilakukan di negara asal induk perusahaan. Di Indonesia, mereka hanya membangun pabrik dan memanfaatkan tenaga kerja, sementara desain, paten, dan pengembangan teknologi tetap berada di luar negeri. Alhasil, perguruan tinggi serta lembaga riset dalam negeri tidak memiliki ruang untuk menjadi bagian dari proses inovasi. Bukan hal yang mudah bagi perguruan tinggi atau lembaga riset dapat masuk ke perusahaan multinasional dan berdiskusi masalah teknologi serta berbagai alternatif inovasi pemecahannya.
Advertisement
Kedua, struktur kebijakan nasional belum secara serius mendorong keterlibatan industri dalam kegiatan riset bersama peneliti lokal. Padahal, banyak negara maju maupun berkembang mampu mempercepat kemandirian teknologinya melalui serangkaian insentif fiskal. Program seperti tax deduction (potongan pajak) bagi perusahaan yang bekerja sama dengan kampus, matching fund (pencocokan dana oleh pemerintah), hingga kewajiban transfer teknologi, terbukti efektif di Korea Selatan, Jepang, dan bahkan Tiongkok. Indonesia memang sudah memiliki program Kedaireka, tetapi skemanya masih berbasis seleksi proyek dan belum menjadi kebijakan tetap yang diwajibkan atau diberi insentif. Skema ini telah dijalankan tiap tahun dan tahun ini ada pula skema hilirisasi riset prioritas. Dari profil yang telah ada, tidak ada industri besar yang mau terlibat dalam skema ini. Ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi pengelolaan riset di perguruan tinggi.
Ketiga, tekanan pasar bebas mempersempit ruang pertumbuhan inovasi nasional. Sebagai anggota berbagai perjanjian perdagangan bebas (AFTA, RCEP, IA-CEPA), Indonesia tidak leluasa menerapkan proteksi tarif sementara untuk melindungi industri dalam negeri agar dapat tumbuh dan belajar. Sebaliknya, produk asing yang lebih matang langsung menguasai pasar domestik, sehingga produk lokal sulit bersaing pada tahap awal pengembangan. Padahal, banyak negara kini maju karena mereka melindungi industrinya pada fase awal sebelum membuka diri pada persaingan global.
Dengan demikian, rendahnya kemandirian teknologi Indonesia tidak semata-mata disebabkan oleh minimnya anggaran riset, tetapi disebabkan oleh struktur industri yang tidak bertumpu pada kebutuhan inovasi lokal, absennya insentif yang kuat bagi kolaborasi riset, dan terbatasnya ruang belajar akibat tekanan pasar bebas. Ini merupakan persoalan strategis yang perlu dipahami secara jernih, agar tidak terjebak pada narasi bahwa peningkatan anggaran riset saja akan otomatis membawa kita menuju kemandirian teknologi.
Kemerdekaan tidak hanya ditandai oleh bebasnya suatu bangsa dari kolonialisme, tetapi juga oleh kemampuannya berdiri di atas kaki sendiri dalam menghadapi persaingan global. Selama industri kita masih didominasi investor asing, kebijakan riset tidak berpihak kepada kampus dan lembaga penelitian, serta pasar dibuka tanpa perlindungan transisi bagi industri lokal, maka kemandirian teknologi hanya akan menjadi mimpi di atas kertas. Sudah waktunya pemerintah menggunakan momentum peringatan kemerdekaan bukan sekadar sebagai perayaan seremonial, tetapi sebagai titik balik menuju kedaulatan teknologi yang sesungguhnya untuk meraih masa depan bangsa yang lebih berdaulat, berdaya saing, dan bermartabat. (***)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement

BMKG Keluarkan Peringatan Dini Hujan Petir Hari Ini di Jogja dan Sekitarnya
Advertisement

Calon Istri Kim Jong Kook Terkuak, Ternyata CEO Perusahaan Kosmetik
Advertisement
Advertisement
Advertisement