Advertisement

OPINI: Perempuan dan Hijrah

Qurratul Aini
Rabu, 29 Mei 2019 - 07:02 WIB
Galih Eko Kurniawan
OPINI: Perempuan dan Hijrah Ilustrasi penjualan busana muslim. - Solopos/Nicolous Irawan

Advertisement

Hijrah, yang secara harfiah berarti berpindah, digunakan sebagai sebutan untuk menamai sebuah gerakan yang mengajak kaum muslim, khususnya anak muda, untuk “berpindah” menjadi pribadi yang lebih baik dengan cara meningkatkan ketaatan dan ketaqwaan dalam menjalankan syariat agama. Pada sisi lain kita dapati pemaknaan hijrah dalam konteks fenomena hijrah yang berkembang saat ini yaitu penekanan makna hijrah pada aspek eksistensialnya, bukan pada aspek substansialnya.

Bagi kaum perempuan hijrah akan senantiasa dikaitkan dengan perubahan cara berbusana yang lebih islami. Tata cara berbusana yang islami merujuk kepada cara berpakaian seorang muslim atau muslimah yang menutup aurat. Oleh karena itu wacana hijrah bagi perempuan tidak bisa dilepaskan dari seputar penggunaan jilbab, cadar dan busana-busana muslimah lainnya yang begitu banyak model dan tren modenya.

Advertisement

Sebenarnya, berjilbab (menutup aurat) itu tidak ada hubungannya dengan akhlak, dengan moralitas. Dalam pandangan masyarakat kita, wanita berjilbab selalu diidentikkan sebagai wanita yang santun, kalem, rajin shalat, rajin bershodaqoh, sering hadir di majelis pengajian, dan berbagai predikat kesalehan lainnya. Sebaliknya, muslimah yang tak berjilbab, meski akhlaknya santun, tentu saja dipandang tak sebaik muslimah berhijab. Ini tentunya merupakan pemikiran wajar dan spontanitas muncul dalam benak masyarakat.

Akibatnya, jika kebetulan ada wanita berjilbab melakukan sesuatu yang kontradiktif dengan persepsi jilbab yang dikenakannya, maka sebagian besar masyarakat langsung mengaitkannya dengan jilbab yang dia kenakan. Tindakannya itu dianggap tidak sesuai dengan jilbabnya. Lantas muncullah suara miring seperti, “Pakai jilbab, tapi kelakuannya seperti itu”. Atau muncul slogan ironis, “Lebih baik pakai hot pants tapi bermental jilbab, daripada pakai jilbab tapi bermental hot pants.”

Tetapi saya bisa mengatakan, bahwa sebenarnya tak ada hubungan sama sekali antara jilbab dan berakhlak baik. Berjilbab adalah murni perintah Allah yang diwajibkan spesial kepada kaum muslimah, tanpa melihat apakah moralnya baik atau buruk.

Setiap pilihan tentu ada konsekuensinya, dan risiko tidak mengikuti instruksi syariat tentu saja ada sanksinya dan sanksi syariat atas pelanggaran adalah dosa. Maknanya bahwa berakhlak baik tidak berkorelasi langsung dengan itu, meski tentu secara implisit dari sudut pandang lain berkorelasi dan terkait erat. Contoh mudahnya, meski penjahat sekalipun, ia tetap wajib menunaikan shalat. Bukan lantas karena jahat sehingga shalat tidak wajib baginya.

Mungkin seorang muslimah yang belum berjilbab bilang cukup saya jilbabi hati saja dulu. Tetapi dia tetap harus mengakui bahwa berjilbab adalah wajib baginya. Siap tidak siap, baik tidak baik, kewajiban muslimah adalah berjilbab (dalam konteks bahasa yang lebih umum, menutup aurat. Soal jilbabnya lebar, kecil, bajunya ketat, longgar, itu persoalan lain lagi yang berhubungan dengan tingkat keimanan dan ketakwaan seseorang.

Akhirnya, muslimah yang berjilbab dan berakhlak baik tentu saja adalah muslimah sempurna. Adapun muslimah yang berjilbab namun akhlaknya tidak baik atau akhlaknya baik tetapi belum berjilbab adalah muslimah yang belum sempurna dan sedang berproses menuju kepada kesempurnaan.

Terlepas dari segala hal tersebut, disadari atau tidak terlalu fokus pada penekanan makna hijrah pada aspek eksistensial memiliki dampak negatif terhadap relasi sosial. Faktanya, kebanyakan orang yang berhijrah, mengalami keretakan hubungan sosial dengan teman atau kawan lamanya yang belum berhijrah. Hal ini dikarenakan konstruksi berfikir hijrah yang menekankan pada aspek eksistensial sebagaimana yang dijelaskan di atas, serta cenderung membuat dikotomi antara “aku yang sudah berhijrah” dan “dia yang belum berhijrah”.

Oleh karena itu makna hijrah harus dikembalikan pada asalnya. Bahwa hijrah bukan hanya terbatas pada aspek eksistensi saja akibat infiltrasi media sosial. Hijrah harus mampu menembus batas-batas fisik, karena sejatinya hijrah bukan hanya persoalan sudah bercadar atau tidak, hijrah bukan persoalan seberapa lebar jilbabmu, seberapa cingkrang celanamu, juga bukan seberapa panjang jenggotmu. Hijrah itu tentang bagaimana kita memperbaiki hubungan kita kepada Allah, kepada manusia dan kepada alam sekitar terutama lingkungan terdekat kita.

*Penulis merupakan dosen Magister Manajemen Rumah Sakit Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Pegagan Berpotensi Memperbaiki Daya Ingat, Guru Besar UGM: Meningkatkan Dopamin

Jogja
| Jum'at, 26 April 2024, 13:27 WIB

Advertisement

alt

Lima Kdrama yang Dinanti pada 2025

Hiburan
| Kamis, 25 April 2024, 21:57 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement