Advertisement

OPINI: 'Goro-Goro' Omnibus Law

Arief Budisusilo, Presiden Direktur PT ADJ, Penerbit Harian Jogja.
Rabu, 07 Oktober 2020 - 20:47 WIB
Sunartono
OPINI: 'Goro-Goro' Omnibus Law Arief Budisusilo, Presiden Direktur PT ADJ, Penerbit Harian Jogja. - Harian Jogja/Hengki Irawan

Advertisement

Buruh mengancam mogok tanggal 6 hingga 8 Oktober. Isu ini menjadi goro-goro di dunia maya, sejak beberapa pekan silam. Aktivis federasi serikat pekerja mengklaim, 2 juta buruh akan mogok bareng-bareng. Ya. Dua juta orang. Bukan 200.000.

Ancaman ini keluar sejak menjelang pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. RUU yang dikenal luas sebagai Omnibus Law Cipta Kerja ini akhirnya disahkan dalam rapat paripurna DPR, 5 Oktober lalu.

Advertisement

Baiklah. Saya tidak ingin main hitung-hitungan jumlah buruh yang mengancam mogok. Itu hak berserikat dan berdemokrasi. Silakan saja. Saya hanya ingin melihat dalam perspektif yang lain. Hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan kesejahteraan, yang jauh lebih hakiki.

Tapi catat saja, pekerjaan yang layak hanya akan diperoleh mana kala ada kesempatan kerja. Kesempatan kerja akan terbuka manakala ada yang mau berusaha. Bahasa kerennya, ada yang mau investasi.

Investasi itu macam-macam. Bisa saja bikin pabrik besar dengan puluhan ribu karyawan, bisa pula buka warung hanya dengan 4 atau 5 karyawan. Karakteristik investasi bisa padat karya dengan banyak tenaga kerja, bisa pula padat modal dengan teknologi yang mahal.

Dan ujungnya, dengan investasi akan terbuka kesempatan kerja. Jadi, pekerjaan bukan ujug-ujug datang dari langit.

Negara, sekaya apapun tidak dapat tiba-tiba memberi pekerjaan kepada rakyatnya. Negeri-negeri Arab di masa lalu, sekadar contoh, tak akan makmur bila tidak ada investasi. Tanpa investasi besar untuk mengelola kekayaan minyaknya, negara petrodolar itu pun tak akan sanggup memakmurkan rakyatnya. Begitulah kira-kira.

*

Bagi 270 juta penduduk Indonesia, bekerja menjadi keniscayaan. Dengan penduduk terbesar kelima di dunia, karakteristik investasi yang cocok di Indonesia adalah investasi padat karya. Yang bisa mempekerjakan banyak orang.

Bukan berarti Indonesia tidak memerlukan investasi padat modal. Namun, kalau cuma investasi padat modal, akan banyak penduduk Indonesia yang menganggur. Itu berarti, akan muncul banyak potensi risiko sosial dan ketimpangan ekonomi. Ujungnya, masyarakat akan makin jauh dari kesejahteraan.

Dengan kata lain, investasi padat karya menjadi keharusan, sekaligus jalan keluar. Maka dari itu, jika hari ini banyak 'aktivis buruh' meributkan Omnibus Law Cipta Kerja, saya justru heran. 'Tepok jidat', kata anak sekarang.

Anda boleh tidak sependapat, tetapi ini cara saya melihat. Justru Omnibus Law Cipta Kerja ini adalah gerbang untuk membuka kesempatan kerja lebih luas, bagi para penganggur dan jutaan masyarakat yang kini belum bekerja.

Sederhana saja. Kalau rezim peraturan ketenagakerjaan Indonesia masih terus menganut rezim pengaturan yang sekarang, industri padat karya Indonesia akan mati. Kalau rezim pengaturan ketenagakerjaan masih menganut UU 13/2003, pelan tapi pasti, industri padat karya akan makin banyak gulung tikar. Atau makin banyak hengkang ke luar negeri.

Jika itu terjadi, boro-boro menyediakan lapangan kerja baru. Pekerjaan yang sekarang sudah ada pun akan pelan dan pasti hilang karena pabriknya hengkang.

*

Dalam konteks itulah, saya menganggap pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja ini adalah jalan keluar.

Kali ini, saya tak mau menjejali Anda dengan angka-angka. Cukup kualitatif saja. Banyak ketentuan terkait dengan regulasi usaha, investasi baru dan ketenagakerjaan, disederhanakan, diselaraskan, diefisienkan dan bahkan dibuat "pragmatis" melalui UU Cipta Kerja ini.

Dalam konteks pertentangan kepentingan antara "buruh versus majikan" yang tak pernah tuntas sejak UU No 13/2003 berlaku dan memicu beragam konsekuensi perburuhan di Indonesia, UU Cipta Kerja ini memberikan keseimbangan.

Tidak menjadi momok menakutkan bagi para pengusaha yang hendak investasi di Indonesia, sebaliknya tetap memberikan perlindungan memadai bagi para buruh. Lebih dari itu, menciptakan harapan baru: lapangan kerja baru yang lebih luas. Artinya, ini adalah peluang yang ditunggu-tunggu bagi warga yang belum memperoleh pekerjaan.

Saya tak perlu sebut satu-satu. Tapi, yang pasti, itulah sebenarnya tujuan besar dari UU Cipta Kerja ini. Agar makin banyak peluang usaha baru tercipta, investasi di Indonesia lebih menarik dan kompetitif, dan urusan buruh tidak menjadi risiko biaya yang menakutkan.

Dalam pengamatan saya selama lebih dari 10 tahun terakhir, Indonesia banyak kehilangan kesempatan investasi padat karya skala besar, antara lain karena dipicu isu buruh. Akhirnya Indonesia kalah jauh dengan Vietnam, yang baru berkembang belakangan.

Saya kerap menganalogikan, isu buruh di Indonesia justru mengirimkan kesempatan kerja ke negara lain, termasuk Vietnam, lantaran banyak pabrik hengkang ke sana.

Isu relokasi pabrik tekstil dan produk tekstil --dan sekarang komponen otomotif-- dari seputar Jakarta Raya, Jawa Barat dan Banten, juga banyak dipicu oleh 'isu' perburuhan. Yang menonjol adalah ketentuan upah minimum provinsi yang tidak disertai secara paralel dengan kenaikan produktivitas.

Akibatnya, kawasan Jabodetabek kehilangan banyak industri padat karya, sehingga memicu pengangguran dan hilangnya multiplier efek ekonomi lainnya. Sebaliknya banyak daerah di Jawa Tengah 'panen' pabrik pindahan dari Jabodetabek dan Jawa Barat.

Maka itu, saya yakin bahwa UU Cipta Kerja ini menciptakan harapan besar. Pengajuan UU Cipta Kerja ini adalah keberanian pemerintahan untuk tidak populer hari ini, demi mengejar manfaat jangka panjang bagi kesempatan kerja di masa depan.

Jika gara-gara Omnibus Law Cipta Kerja membuat sebagian buruh meradang, buat saya wajar dan normalĀ  saja. Sebagian kepentingan buruh hari ini merasa terkebiri, antara lain pesangon saat pensiun yang 'berkurang'.

Tetapi jangan salah, dinamika ekonomi akan selalu berputar. Manakala industri bergeliat lagi karena aktivitas investasi yang lebih bergairah, pada akhirnya seluruh masyarakatlah yang akan diuntungkan.

Lapangan kerja yang lebih tersedia tentu akan mendorong kemampuan daya beli. Ini akan menggairahkan ekonomi, dan menciptakan peluang bisnis yang lain, dan pekerjaan yang lain lagi.

Maka lihatlah dari perspektif yang lebih luas. Ketersediaan pekerjaan inilah yang akan menggerakkan ekonomi. Sebab orang yang bekerja akan memiliki daya beli. Kekuatan daya beli akan mendorong siklus manufakturing, karena produk pabrik dan produk jasa akan terus terbeli.

Dinamika ekonomi itu seperti efek spiral ke atas yang saling menopang. Itulah yang disebut efek berganda ekonomi. Inilah yang disebut pertumbuhan. Siklus inilah yang akan membuka kesempatan investasi lebih lanjut, dan membuka lapangan kerja lebih banyak lagi.

Jika diiringi dengan kapasitas dan produktivitas, tentu pada akhirnya kesejahteraan buruh akan terangkat dengan sendirinya, karena skala ekonomi yang menopang. Bukan hanya mengandalkan pesangon, kerja sampai usia pensiun, meski kontribusi produktivitas tak lagi maksimal.

Karena itulah, saya yakin begitu UU Cipta Kerja ini nanti efektif berjalan, akan membuka lebih banyak peluang. Harapan besar bagi masyarakat yang belum punya pekerjaan. Omnibus Law Cipta Kerja ini menciptakan harapan.

Gara-gara Omnibus Law Cipta Kerja memang telah terjadi goro-goro. Tapi saya yakin, setelah goro-goro lewat, kita akan menyaksikan episode "lakon menang keri". Investasi akan lebih bergairah lagi. Setelah itu, mari kita sama-sama bekerja kembali. Nah, bagaimana menurut Anda? (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Jadwal KA Bandara YIA Kulonprogo-Stasiun Tugu Jogja, Jumat 29 Maret 2024

Jogja
| Jum'at, 29 Maret 2024, 01:17 WIB

Advertisement

alt

Film Horor Gunakan Unsur Islam dalam Judul, MUI Sebut Simbol Agama Harus di Tempat yang Pas

Hiburan
| Selasa, 26 Maret 2024, 09:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement