Advertisement

Credit Crunch

Dr Suparmono M.Si, Ketua STIM YKPN Yogyakarta & Peneliti Senior Sinergi Visi Utama Yogyakarta
Selasa, 08 Desember 2020 - 13:07 WIB
Maya Herawati
Credit Crunch Dr Suparmono M.Si, Ketua STIM YKPN Yogyakarta & Peneliti Senior Sinergi Visi Utama Yogyakarta

Advertisement

Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan menjadi 3,75% di pengujung tahun 2020 ini dan perbankan diharapkan menurunkan bunga kredit untuk memacu pertumbuhan ekonomi.

Suku bunga BI ini terrendah dalam sejarah, di mana BI telah memangkas BI7DRR sebanyak lima kali masing-masing sebesar 25 bps sejak awal tahun atau total 125 bps dari 5%. Pemerintah mentargetkan di tahun 2021 nanti, pertumbuhan kredit akan melonjak 7% untuk me-recovery minusnya pertumbuhan kredit di tahun 2020.

Advertisement

Selama 2020, kredit perbankan mengalami credit crunch, di mana bank enggan untuk memberikan pinjaman ke sektor swasta disebabkan oleh faktor-faktor suplai, seperti lemahnya kemampuan bank untuk memberikan kredit karena masalah permodalan bank atau menurunnya kualitas kredit dari debitor yang menyebabkan bank-bank enggan untuk mengucurkan kredit.

Fenomena ini hampir sama terjadi di Indonesia tahun 1998 dimana terjadi hantaman keras pada perekonomian Indonesia yang ditandai dengan melemahnya rupiah dan mandegnya kinerja ekspor.

Tapi lihatlah bahwa rendahnya suku bunga tidak mampu menggairahkan kredit, tapi justru meningkatkan dana pihak ketiga (DPK).

Kredit perbankan per oktober 2020 minus 4%, sementara DPK mengarah sebaliknya menjadi 12,12%. DPK merupakan dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.

Artinya, suku bunga tidak sensitif terhadap kreditur maupun debitur untuk menggerakkan sektor riil. Fenomena ini dapat dipahami dalam kondisi tidak normal seperti saat ini, karena mandegnya ekonomi terhantam pandemi covid-19. Penurunan daya beli masyarakat, pengangguran yang melonjak sampai 6 juta orang, pembatasan skala besar, dan carut marutnya politik ekonomi yang mengakibatkan masyarakat menahan dana yang dimilikiknya, termasuk perbankan.

Bank tidak akan mau menyalurkan kredit bila tidak yakin bahwa kemampuan membayar debitur terganggu karena ketidakpastian stabilitas ekonomi. Begitupula konsumen akan menahan dana yang dimilikinya, terutama untuk barang kebutuhan sekunder dan tersier bila tidak yakin seberapa besar kebutuhan di masa mendatang.

Kedua pelaku ini saling menahan diri, akibatnya adalah DPK melonjak parkir di bank dan tangan konsumen disisi lain, pertumbuhan kredit minus. Pemerintah menyadari bahwa kondisi ini tidak mungkin dibiarkan karena akan semakin memperparah ekonomi, dan di saat yang sama kurva pandemi tidak kunjung menurun, bahkan meningkat tak terkendali.

Tujuan ekonomi tidak tercapai, sementara kinerja penanganan pandemi juga tidak menunjukkan hasil yang baik. Carut marut negara ini makin diperparah dengan ditangkapnya dua menteri, yang tidak menutup kemungkinan akan bertambah.

Pemerintah berharap sektor riil kembali bergerak dan menggandeng Bank Indonesia untuk menurunkan bunga acuan dan mengendalikan inflasi di angka 3% plus minus 1%. Optimisme pemerintah ini beralasan karena satu hari yang lalu sudah mendarat vaksin sinovac sejumlah 1,2 juta dan berharap pendemi ini mereda di Semester I tahun 2020. Semoga kedatangan vaksin ini tidak membuat masyarakat justru merasa aman dari ancaman corona dan melonggarkan protokol kesehatan. Angka 1,2 juta tidaklah seberapa bila dibandingkan dengan 260 juta penduduk Indonesia, meskipun yang menjadi target vaksin ini tidak semua penduduk.

Perekonomian global mulai menunjukkan perbaikan yang diharapkan berpengaruh pada perekonomian nasional. Respon Bank Indonesia melalui quantitative easing mencapai injeksi likuiditas sebesar 670 trilyun atau 4,4% dari PDB menunjukkan bahwa di negara emerging, Indonesia sangatlah responsif untuk melakukan pemulihan ekonomi nasional. Namun ketergantugang kita pada global supply chain terutama pada Tiongkok perlu dikurangi, sehingga volatilitas perekonomian China tidak akan banyak merusak perekonomian dalam negeri.

 

***

Neraca perdagangan yang mencatatkan surplus US$8 miliar pada kuartal III-2020 diharapkan mendukung ketahanan eksternal perekonomian domestik. Pada kuartal II-2020, ekonomi kita terkontraksi atau minus 5,32%, sedangkan pada kuartal III-2020 terkontraksi 3,49%. Artinya sudah lewati titik terendahnya, titik balik menuju membaik, tren positif membaik.

Permasalahannya adalah bukan hanya bagaimana penurunan suku bunga acuan ini diharapkan berdampak pada laju kredit, yang bahkan disinyalir mencapai dua digit. Penyaluran kredit itu harusnya juga memperhitungkan multiplier pada permasalahana ekonomi lainnya yang timbul karena pandemi ini. Kredit ini harusnya tersalurkan pada sektor yang mampu menciptakan nilai tambah dan menyerap tenaga kerja yang selama pandemi ini meningkat lebih dari 6 juta orang.

Bagi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), yang menjadi masalah adalah bukan sekedar tinggi rendahnya suku bunga, tapi bagaimana membuka akses bagi mereka untuk mendapatkan kredit yang mereka butuhkan. Relaksasi pinjaman yang telah diberikan selama 6 bulan ini belum menyembuhkan masalah yang mereka hadapi. Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2021 dengan mengalokasikan anggaran Rp 372,3 triliun dimana dari jumlah itu dialokasikan untuk UMKM mencapai Rp 48,8 triliun dan insentif usaha sekitar Rp 20,4 triliun tidaklah semanis dampak yang diharapkan pemerintah. Pelaku UMKM yang memang terdampak pandemi ini, baik dari penurunan omset maupun kesulitan produksi, bahkan terancam berhenti usaha sebagian besar belum merasakan dana pemulihan ini. Tidak masuknya UMKM dalam pangkalan data pemerintah yang disebabkan keterbatasan akses informasi maupun legalitas usaha mengakibatkan dana insentif ini justru dinikmati oleh sektor yang bukan dituju.

Pemerintah harus juga mampu meningkatkan confidence pelaku usaha, baik dari dalam maupun luar negeri dengan mereduksi kegaduhan di dalam negeri yang mungkin tidak seganduh yang dianggap pemerintah. Dikotomi kegaduhan pilkada dan kegaduhan aparat keamanan yang dinilai overacting sebenarnya tidak perlu terjadi. Fokuslah segera mengatasi pandemi ini agar ekonomi bergerak kembali dan masyarakat dapat menikmati kesejahteraan ekonomi yang hampir setahun ini terrenggut pandemi. Satu hal lagi, pemerintah juga baiknya secara bijak di awal 2021 nanti dalam penyaluran dan prioritas pemberian vaksin ini, jangan menimbulkan kegaduhan baru yang justru akan merusak optimisme pemulihan ekonomi di tahun 2021.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Jadwal Kereta Api Prameks Jogja-Kutoarjo Kamis 25 April 2024

Jogja
| Kamis, 25 April 2024, 04:57 WIB

Advertisement

alt

Berikut Rangkaian Program Pilihan Keluarga Indonesia Paling di Hati, Hanya di MNCTV

Hiburan
| Selasa, 23 April 2024, 14:57 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement