Advertisement

OPINI: Menanggung Kerugian BUMDesa

Azsep Kurniawan, Fungsional Penggerak Swadaya Masyarakat (PSM), Kementerian Desa PDTT
Rabu, 17 Maret 2021 - 06:07 WIB
Maya Herawati
OPINI: Menanggung Kerugian BUMDesa   Ilustrasi BUMDes - JIBI

Advertisement

Dalam bisnis, rugi adalah risiko. Jika dilakukan oleh perorangan atau kelompok maka yang menanggung kerugian adalah perorangan atau kelompok itu sendiri. Bagaimana kalau bisnis ada uang negara didalamnya? Misal, Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa), yang notabene menyertakan uang negara sebagai modal usahanya. Apakah dikategorikan merugikan negara kalau bisnis mengalami kerugian? Adakah ada konsekuensi hukumnya?

Saat pendirian BUMDesa, rata-rata desa menggunakan Dana Desa (DD) dalam penyertaan modal awal. Secara regulasi, Dana Desa memang diijinkan dalam penyertaan modal BUMDes. Selanjutnya dicatat pada pos pembiayaan dalam APBDes.  Besarnya bervariasi sesuai rencana usaha yang dijalankan, bisa puluhan juta bahkan sampai ratusan juta.  Tak lupa harus ada legitimasi musyawarah desa.

Advertisement

Saat pandemi melanda, banyak BUMDesa yang jelas terganggu cash flow-nya. Tidak ada perputaran uang yang masuk. Bagi BUMDesa yang menjalankan usaha wisata, paling depan terkena imbasnya. Tidak ada pengunjung wisata yang mau datang, apalagi bertransaksi.  Tidak hanya unit usaha wisata, unit usaha lain secara tidak langsung juga terkena. Penyewaan tenda hajatan, bisnis kuliner, perdagangan umum dan masih banyak lain menjadi saksi ganasnya dampak pandemi Covid-19 secara ekonomi.

Berdasarkan data Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kementerian Desa PDTT) dari 51.000 BUMDesa di Indonesia, tercatat 37.000 aktif bertransaksi sebelum pandemi. Namun setelah pandemi, tinggal 10.600 BUMDes yang masih bertransaksi. Artinya sekitar 80 % usaha BUMDesa tidak optimal selama pandemi.

Dengan kondisi tersebut, pada Laporan Laba Rugi tahun 2020, BUMDes sulit terhindar dari kerugian. Ini menandakan biaya operasional yang dikeluarkan lebih besar dari pendapatan. Mending tahu rugi, bisa dicarikan solusi. Banyak BUMDesa malah tidak menyampaikan laporan keuangannya, tidak tahu untung atau rugi. Kalau rugi, siapa yang menanggung?

Peraturan Pemerintah (PP) No.11/2021 tentang Badan Usaha Milik Desa sebagai peraturan turunan Undang-Undang Cipta Kerja telah diumumkan. Pasal 63 ayat 1 menyatakan bahwa dalam hal hasil pemeriksaan/audit menemukan kerugian murni sebagai kegagalan usaha dan tidak disebabkan unsur kesengajaan atau kelalaian penasihat, pelaksana operasional, dan/atau pengawas, kerugian diakui sebagai beban BUM Desa.

Dalam hal kerugian BUM Desa ada unsur kesengajaan atau kelalaian penasihat, pelaksana operasional, dan/atau pengawas maka Musyawarah Desa membahas dan memutuskan bentuk pertanggungjawaban yang harus dilaksanakan oleh penasihat, pelaksana operasional, dan/atau pengawas berdasarkan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan. Apabila tidak ada iktikad baik dalam penyelesaian pertanggungjawaban maka Musyawarah Desa  dapat memutuskan untuk menyelesaikannya secara hukum (Pasal 62 ayat 3 dan 4).

 

Kelayakan dan Rencana Usaha

Tidak perlu khawatir saat menjadi pengelola BUMDesa, asal tidak lalai atau sengaja menyelewengkan keuangan. Salah satu cara agar tidak lalai adalah adanya menyiapkan dokumen kelayakan usaha dan rencana usaha. Dan itu, tidak sekadar dibebankan pada pengurus BUM Desa namun juga menjadi tanggung jawab Tim Kaji yang sudah ber-SK Kepala Desa.

Kelayakan usaha menjadi penting karena memuat pertimbangan apakah suatu usaha layak atau tidak layak dikembangkan. Ada indikator-indikator yang menjadi prasyarat. Rencana usaha juga demikian. Berisi langkah dan strategi mendetail dari usaha yang akan dijalankan. Apalagi didalamnya juga berisi model bisnis suatu usaha. Kedua dokumen tersebut tentu bukan sekadar ada. Namun, harus berasal dari kajian serius bersama sehingga bisa memotret kondisi peluang usaha. Ini penting, agar Pengelola BUMDesa tidak dianggap lalai kedepannya.

Namun, ada juga BUMDes yang abai terhadap dokumen tersebut. Berdasarkan uji petik BPK terhadap 8.220 BUMDesa menunjukkan 1.034 BUMDesa tidak menyampaikan laporan, 871 BUMDesa dalam pembentukannnya belum didukung studi kelayakan dan 864 BUMDesa belum tertib dan pelaporan. Informasi tersebut ada pada Laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan (IHPS) BPK Semester II/2018.

Tidak adanya studi kelayakan dan rencana usaha menjadi risiko dalam keberhasilan bisnis. Walaupun tidak bisa juga dimaknai kalau ada studi kelayakan dan rencana usaha pasti bisnis akan berhasil. Setidaknya arah bisnis BUMDesa sesuai yang direncanakan. Meminjam kata Benyamin Franklin, “if you fail to plan, you plan to fail”. Saat rencana usaha mengalami jalan buntu dalam aksinya maka harus segera beradaptasi dengan menyusun rencana alternatif.

Rugi Bukanlah Akhir

Bukan berarti kalau rugi, BUMDesa tidak bisa bangkit. Ibarat perusahaan, rugi bisa dicover dari laba usaha berjalan di tahun berikutnya. Yang penting BUMDesa masih menjalankan bisnisnya. Langkah yang ditempuh biasanya dengan pengetatan biaya operasional dan optimalisasi pendapatan. Rugi hanya mengurangi harta.

Berbeda dengan pailit. Pailit adalah ketidakmampuan bayar BUMDesa atas kewajibannya (utang) dan asetnya tidak cukup membayar hutang-hutangnya. Atas dasar Musyawarah Desa, maka bisa mengajukan permohonan pailit ke pengadilan niaga. Konsekuensinya BUMDesa bisa dibekukan seluruh kegiatannya. Ini harus diperkuat dengan terbitnya Peraturan Desa tentang kepailitan BUMDesa.

Tentu cara pandang terhadap BUMDesa tidak sekadar dilihat dari sudut pandang untung rugi. Banyak BUM Desa yang masih mempertahankan unit usaha walaupun tidak banyak memberi keuntungan. Peran yang bisa diambil adalah turut menyelesaikan problem kemasyarakatan (social solution). Contohnya pada unit usaha pengolahan sampah. Selain bisa menyelesaikan problem lingkungan kotor juga mencegah penyakit berbasis lingkungan.

Justru “kerugian” sesungguhnya terjadi saat BUMDesa sudah berdiri namun disaat pandemi  semangat pengelolanya semakin lemah dan kurang bisa mencari alternatif solusi. Padahal sudah diberi kesempatan luas dengan status badan hukum seperti dalam UU Cipta Kerja. Apalagi kalau kehadirannya sekadar menggugurkan kewajiban bagi pemerintah desa sebagai bentuk kepatuhan birokrasi.  Kalau memang ini terjadi, maka harus segera berubah. Yang penting bukan dari mana kita memulai namun juga ke mana kita akan menuju.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Lomba Dirikan Tenda Darurat Meriahkan HUT Ke-20 Tagana

Jogja
| Sabtu, 20 April 2024, 16:47 WIB

Advertisement

alt

Lokasi dan Harga Tiket Museum Dirgantara Jogja, Cek di Sini

Hiburan
| Sabtu, 20 April 2024, 13:37 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement