Advertisement

OPINI: Meniti Perdagangan Karbon

Dewa Putra Khrisna Mahardhika, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Telkom
Rabu, 31 Maret 2021 - 06:37 WIB
Maya Herawati
OPINI: Meniti Perdagangan Karbon Suasana instalasi panel surya dari ketinggian di Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis (27/8/2020). Penggunaan pembangkit listrik tenaga surya ini sebagai upaya mendukung penggunaan energi yang ramah lingkungan, efektif dan efisien. Bisnis - Himawan L Nugraha

Advertisement

Perjanjian Paris 2015 dengan kesepakatan untuk membatasi kenaikan temperatur global pada tingkat 2 derajat Celcius telah ditandatangani oleh 196 negara, termasuk Indonesia. Kenaikan temperatur global yang menjadi fokus Perjanjian Paris disebabkan oleh akumulasi gas CO2 (karbon) di atmosfer.

Karbon sebagai salah satu gas yang berada di atmosfer memiliki kemampuan untuk menyerap panas yang terkandung dalam ultraviolet sinar matahari. Peningkatan akumulasi karbon pada atmosfer akan meningkatkan kemampuan dalam menyerap panas ultraviolet dan pada akhirnya menigkatkan temperatur global.

Advertisement

Sebagai gas yang mampu menyerap panas, karbon terkandung dalam bahan bakar fosil. Emisi karbon akan terjadi saat proses produksi energi dari bahan bakar fosil. Untuk mencapai target Perjanjian Paris, setiap 196 negara wajib melakukan usaha untuk mengontrol emisi karbon.

Beberapa upaya telah dilakukan oleh pemerintah dan swasta dalam mencapai target Perjanjian Paris. Misalnya, banyak pemerintah telah menerapkan skema carbon pricing berupa pajak karbon dan skema perdagangan karbon (SPK).

Tujuan dari carbon pricing adalah mengenakan harga atas emisi karbon yang dihasilkan dalam proses produksi. Tanpa pengenaan harga atas emisi karbon, dampak pencemaran lingkungan dari pelepasan karbon ke atmosfer bisa dikatakan gratis.

Artinya, pihak yang menghasilkan emisi karbon dari aktifitas ekonominya tidak dikenakan tanggung jawab atas emisi karbon yang dihasilkannya. Kondisi inilah yang disebut para ekonom sebagai eksternalitas.

Indonesia belum mengenakan harga atas emisi karbon yang dihasilkan oleh industri akibat penggunaan bahan bakar fosil. Sebagai salah satu negara penandatangan Perjanjian Paris, Indonesia dituntut untuk berkontribusi dalam usaha membatasi kenaikan pemanasan global.

Pemerintah Indonesia telah melakukan beragam cara untuk mengurangi emisi karbon seperti mengkonversi pembangkit listrik energi fosil ke energi terbarukan dan mengembangkan industri kendaraan listrik dan pendukungnya (seperti baterai listrik).

Upaya lain yang ditempuh adalah rencana penerapan SPK. Melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia akan melakukan terobosan dalam usahanya untuk mengurangi emisi karbon guna mencapai target yang ditetapkan Perjanjian Paris.

Sesuai namanya, perdangangan karbon merupakan mekanisme jual beli karbon di mana entitas yang menghasilkan emisi karbon melebihi kuota karbon yang telah ditetapkan harus membeli kuota karbon dari entitas lain yang tidak menggunakan sepenuhnya kuota karbon.

Mekanisme perdagangan karbon merupakan satu dari dua cara yang dapat diterapkan pemerintah untuk memacu penurunan emisi karbon di atmosfer. Skema lain yang dapat diterapkan adalah pajak karbon di mana setiap entitas yang menghasilkan emisi karbon akan dikenakan pajak sebesar jumlah emisi karbon yang dihasilkan.

Sistem perdagangan karbon yang akan diterapkan di Indonesia telah lebih dulu diterapkan di Uni Eropa yang memiliki sistem perdagangan karbon terbesar di dunia yang meliputi 28 negara.

Penerapan SPK di Uni Eropa telah berhasil membatasi emisi karbon lebih dari 11.000 pemakai energi kelas berat seperti pembangkit listrik, pabrik industri dan penerbangan. Bererapa negara lain yang telah atau akan menerapkan SPK antara lain Swiss, Korea Selatan dan Selandia Baru.

Beberapa hal perlu dicermati dalam penerapan SPK. Pertama, penetapan harga atas emisi karbon. Berdasarkan data Bank Dunia per 1 November 2020, harga karbon berbeda-beda untuk setiap negara yang menerapkan SPK. Harga tertinggi di Uni Eropa (sekitar US$30/ton CO2) dan terendah di Kazakhstan (sekitar US$1/ton CO2).

Penetapan harga yang terlalu rendah mungkin tidak akan berdampak signifikan pada usaha penurunan emisi karbon. Sebaliknya, penetapan harga yang terlalu tinggi akan berdampak pada kegiatan ekonomi yang saat ini masih bergantung pada energi fosil.

Penentuan harga karbon salah satunya ditentukan oleh potensi kerugian yang terjadi dari peningkatan kadar karbon di atmosfer seperti kegagalan panen, banjir dan biaya kesehatan publik akibat perubahan iklim.

Kerugian tersebut harus dikaitkan dengan pihak yang memicu terjadinya kerugian: pihak yang menghasilkan emisi karbon. Penerapan SPK akan memastikan bahwa pihak yang menghasilkan emisi harus membayar atas potensi dampak lingkungan yang ditimbulkan dari emisi karbon.

Kedua, penetapan kuota karbon untuk setiap pihak. Berdasarkan Protokol Kyoto, kuota karbon adalah milik pemerintah, bukan milik entitas yang menghasilan emisi karbon meski pemeritah mungkin tidak menghasilkan emisi karbon. Pemerintah dapat mendistribusikan kuota tersebut secara gratis atau melalui mekanisme lelang.

Jumlah kuota tersebut umumnya akan menurun, sehingga mendorong industri untuk mengurangi emisi karbon.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Budayawan di Jogja Dilibatkan Pembuatan Maskot Pilkada 2024

Jogja
| Rabu, 24 April 2024, 14:47 WIB

Advertisement

alt

Berikut Rangkaian Program Pilihan Keluarga Indonesia Paling di Hati, Hanya di MNCTV

Hiburan
| Selasa, 23 April 2024, 14:57 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement