Advertisement

OPINI: Pandemi dan Krisis Masyarakat Modern

Winanti Praptiningsih, Peneliti & Humas Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) UGM
Rabu, 01 September 2021 - 06:07 WIB
Maya Herawati
OPINI: Pandemi dan Krisis Masyarakat Modern Winanti Praptiningsih, Peneliti & Humas Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK/KMK) UGM

Advertisement

Mobilitas tinggi, stres harian berkepanjangan, gaya hidup konsumtif, aktifitas fisik minimal, hingga rendahnya kontrol asupan makanan harian menjadi permasalahan masyarakat modern hari ini. Data Riskesdas (2018) menunjukkan bahwa 95,5% masyarakat Indonesia kurang mengkonsumsi buah dan sayur. Sebanyak 33,5% kurang aktivitas fisik, 29,3% merokok di usia produktif, 31% obesitas sentral dan 21,8% obesitas dewasa. Tren ini tentu akan meningkatkan risiko Penyakit Tidak Menular (PTM) di masa depan.

Kemunculan pandemi Covid-19 bisa menjadi sebuah manifestasi atas “krisis” gaya hidup masyarakat modern hari ini, yang sarat akan kemajuan, kecepatan dan keakuratan teknologi. Oleh karenanya, masyarakat di era pandemi Covid-19 terus diimbau untuk menjalankan protokol kesehatan 5M (memakai masker, mencuci tangan dengan sabun, menjaga jarak, mengurangi mobilitas dan menjauhi kerumunan) dan memperkuat imun tubuh dengan menerapkan pola hidup sehat, yang sebelumnya masih jarang diperhatikan dalam hidup keseharian masyarakat modern.

Advertisement

Masyarakat Modern

Revolusi industri yang merupakan babak pencerahan pada abad 16 sampai 18 menjadi penanda awal pemikiran masyarakat modern. Babak modern dengan segala perkembangan nalar pengetahuan dan teknologi membawa masyarakat dalam sebuah emansipasi akal budi.

Rasionalitas masyarakat modern mulai berkembang ke taraf yang lebih tinggi. Seperti halnya penciptaan mesin cetak, alat transportasi, inovasi dan teknologi pengawetan makanan, alat hitung,  penetapan skala normalitas, hingga standarisasi menjadi ragam bentuk produk nalar modern.

Logika normalitas dan pendisiplinan dalam setiap aspek kehidupan membawa masyarakat modern pada ruang keakuratan dan kecepatan. Logika ini di satu sisi berdampak baik bagi tatanan kehidupan masyarakat menuju keteraturan perencanaan dan kualitas kerja yang baik. Namun, di sisi lain “kegagapan” perubahan kehidupan masyarakat modern pun tidak terelakkan.

Secara tidak disadari, masyarakat modern banyak mengalami perubahan pola hidup keseharian. Pertama, kemajuan teknologi transportasi meningkatkan mobilitas masyarakat dengan jangkauan tidak terbatas. Kedua, logika kecepatan dan metode kerja sistematis membuat masyarakat sibuk dengan beragam aktifitas hingga meningkatkan kondisi stres harian yang berkepanjangan. Ketiga, aktifitas fisik berkurang dan olah raga tidak lagi menjadi prioritas kebutuhan.

Keempat, perubahan pola konsumsi harian masyarakat modern. Munculnya restoran cepat saji, kurangnya asupan sayur dan buah, kemudahan pemesaan makanan malui aplikasi, penggunaan racikan instant dalam masakan, maupun berpengawet mampu meningkatkan risiko penyakit degeneratif seperti diabetes, jantung, hipertensi hingga kanker. Kelima, gaya hidup berkerumun di keramaian seperti pusat perbelanjaan maupun kafe telah menjadi bentuk baru bagaimana masyarakat modern bersosialisasi.

Kultur Kesehatan Baru

Sejak 3 Juli 2021, pemerintah telah menetapkan Pemberlakuan Pembatasan  Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat Jawa-Bali. Kebijakan PPKM pun terus diperpanjang. Di bulan yang sama, Pemerintah bahkan mengganti terminologi PPKM Darurat dengan PPKM Level 4 untuk menunjukkan tingkat urgensi tingginya kasus per wilayah. Penyesuaian kegiatan masyarakat dan intervensi gaya hidup dengan 5M menjadi prioritas bersama di masa PPKM. Selain itu pemerintah juga menggiatkan testing, tracing dan treatment (3T) untuk memantau perkembangan kasus harian terkonfirmasi Covid-19.

Faktanya gelombang pandemi belum mampu dihentikan, hanya bisa dikendalikan. Mengapa demikian? Pertama, perlu adanya peningkatan kesadaran, pendisiplinan diri, dan peran serta masyarakat untuk mematuhi aturan  PPKM yang ditetapkan. Kedua, perlu adanya kerjasama lintas sektoral untuk mengoptimalkan intervensi kesadaran maupun penerapan protokol kesehatan di tingkat komunitas dengan melibatkan masyarakat maupun tokoh masyarakat. Ketiga, perlu adanya perubahan perilaku masyarakat dengan kultur kesehatan baru di masa pandemi.

Pandemi Covid-19 semestinya dilihat bukan hanya sebagai “pembatasan”. Momentum ini justru bisa menjadi pengingat bahkan mengubah pandangan masyarakat tentang kesehatan. Harapannya, masyarakat bisa mengkaji ulang pola hidup keseharian dengan kebijaksanaan. Seperti halnya membatasi mobilitas, menjauhi kerumunan, menjaga kebersihan diri dan lingkungan, mengkonsumsi makanan bernutrisi, istirahat cukup, menghindari stres, olah raga, hingga menikmati kebersamaan dengan keluarga, bisa menjadi kultur kesehatan baru di masa pandemi.

PPKM bisa saja terus diperpanjang. Namun, segala upaya tersebut tidak akan mengubah situasi, jika masyarakat belum memiliki kehendak untuk bebenah diri.

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Jadwal KA Prameks Stasiun Tugu Jogja-Kutoarjo, Kamis 2 Mei 2024

Jogja
| Kamis, 02 Mei 2024, 03:47 WIB

Advertisement

alt

Aghniny Haque Tertantang Perankan Dua Karakter di Film Barunya Tuhan, Izinkan Aku Berdosa

Hiburan
| Rabu, 01 Mei 2024, 16:57 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement