Advertisement

OPINI: Chaos Theory dan Biaya Mitigasi Bencana Perubahan Iklim

Slamet S. Sarwono, Dosen Departemen Manajemen, Fakultas Bisnis dan Ekonomika, Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Kamis, 03 Februari 2022 - 06:07 WIB
Maya Herawati
OPINI: Chaos Theory dan Biaya Mitigasi Bencana Perubahan Iklim Slamet S. Sarwono, Dosen Departemen Manajemen, Fakultas Bisnis dan Ekonomika, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Advertisement

Keprihatinan terus membayangi situasi dunia usaha dan perekonomian Indonesia. Di samping karena dampak kebijakan ekonomi menghadapi pandemi Covid-19, situasi dunia bisnis dan ekonomi tidak terlepas dari pengaruh berbagai faktor kemasyarakatan. Faktor kemasyarakatan, seperti dinamika politik lokal dan nasional, secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh dalam dinamika dunia usaha dan perekomonian Indonesia.

Namun di samping pandemi Covid-19 dan faktor kemasyarakatan satu faktor lain yang cukup menonjol akhir-akhir ini adalah perubahan iklim, yang merupakan proyeksi kelanjutan dari pemanasan global. Tidak dapat disangkal bahwa perubahan iklim dapat menjadi salah satu faktor yang memberi tantangan pada usaha memajukan perekonomian sebuah negara. Perubahan iklim ini dipicu oleh terus meningkatnya gas rumah kaca (greenhouse gas) yang menyebabkan temperatur bumi menjadi lebih hangat.

Advertisement

Meningkatnya temperatur bumi diduga telah menyebabkan terjadinya cuaca ekstrem di berbagai belahan bumi. Bencana banjir bandang di Jerman bagian tengah telah mengakibatkan kerugian ratusan miliar dolar dan telah menewaskan puluhan bahkan ratusan orang. Di Kanada dan Amerika Serikat (AS) telah terjadi gelombang panas dan cuaca ekstrem yang menyebabkan kebakaran hutan yang masif dan merengut korban jiwa manusia. Yang mengejutkan adalah beberapa saat setelah terjadinya gelombang panas ekstrem, di daerah yang relatif sama tertimpa bencana badai salju yang tidak kalah parah dibandingkan dengan bencana sebelumnya. Di Pakistan juga terlanda badai salju parah yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Di Indonesia bencana alam semacam juga tidak dapat dihindari. Beberapa waktu yang lalu tercatat terjadinya berbagai bencana banjir dan tanah longsor yang cukup masif di berbagai daerah, seperti di Aceh Tamiang, di Sintang, Kalimantan Barat, di Konawe dan beberapa daerah di Pulau Jawa.

Sebenarnya dapat dipahami bahwa perubahan iklim bukanlah fenomena baru, ketika dibiarkan tergantung dari kekuatan alam saya. Namun perubahan iklim yang disebabkan oleh perilaku manusia dapat menambah gangguan pada variasi alami ini dan menjadi lebih ekstrem serta merugikan. Diduga puluhan ribu tahun yang lalu bumi pernah mengalami masa musim dingin ekstrem.

Masa dingin ekstrem ini tentu membuat tidak nyaman bagi manusia yang hidup di tempat tertentu di masa itu. Situasi alam masa itu diduga telah mendorong manusia (migrasi) besar-besaran dan menyebabkan munculnya adaptasi-adaptasi baru dalam kehidupan manusia yang berpindah ke tempat yang lebih nyaman.

Persoalan perubahan iklim menjadi lebih menonjol bisa karena dugaan bahwa perubahan iklim lebih disebabkan oleh manusia (human-induced climate change) yang selanjutnya dapat mengancam kehidupan masyarakat. Jutaan orang mungkin terancam kesehatan mereka dan hasil produksi pertanian mungkin menurun baik kuantitas maupun kualitasnya. 

Tidak semua negara atau daerah akan mengalami akibat yang sama dari perubahan iklim. Namun cukup jelas bahwa negara yang sedang berkembang lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim. Terlepas dari seluruh sebab terjadinya perubahan iklim, kerugian ekonomi akibat dari bencana banjir dan tanah longsor perlu terus mendapat perhatian dan dimitigasi. Mitigasi dapat dimulai dengan upaya untuk mempelajari situasi daerah dan kemudian upaya mengembangkan rancangan untuk mengurangi risiko, kerugian dan dampak yang diakibatkan oleh perubahan iklim, pergolakan alam atau bencana lainnya. Biasanya mitigasi dapat dirancang secara struktural maupun non-struktural. Namun dalam situasi yang kompleks, pada saat bencana akibat perubahan iklim maupun bencana lainnya dapat terjadi di saat yang hampir bersamaan rancangan mitigasi struktural maupun non-struktural yang ada mungkin tidak cukup. Rancangan mitigasi harus di lihat dengan mengunakan teori kekacauan atau teori  ketidakteraturan (chaos theory).

Pada dasarnya chaos theory berhubungan dengan ketidakpastian, kekacauan atau ketidakteraturan. Teori ini berpandangan bahwa berbagai relasi antar faktor dalam sebuah sistem (sebuah organisasi, misalnya) adalah tidak pasti, tidak linear, dan tidak ada pola tertentu yang pasti. Berbagai faktor yang ada memunculkan keterkaitan baru yang tidak dapat diprediksi. Teori ini memang sering dipandang agak kontroversial karena batasan-batasan ilmiahnya masih diperdebatkan. Walaupun demikian teori kekacauan diakui sebagai disiplin yang sedang berkembang yang lebih berfokus pada sistem nonlinear, di mana sebelumnya banyak ilmu yang berkembang dengan pemahaman yang berdasarkan pada model matematika linear. Dalam pemahaman model linear, asumsi yang sering digunakan adalah bahwa semua aspek hidup dapat dipandang seperti mesin, yang bekerja dalam sebuah sistem yang stabil (newtonian). Model linear ini banyak dipakai dalam model manajemen berbagai organisasi (termasuk pemerintahan) yang melihat kejadian dengan cara standar, normal dan terprediksi. Akan tetapi pada saat kecepatan perubahan faktor lingkungan seperti yang diuraikan sebelumnya bertambah tinggi, dengan kompleksitas yang meningkat, sistem yang ada tidak dapat menerimanya dan kemudian tampak sebagai kacau, tidak pasti atau chaos.

Selama awal tahun 1980-an, teori kekacauan mulai mengubah proses pengambilan keputusan dalam manajemen bisnis dan ekonomi. Penerapan teori ini telah banyak dilakukan oleh negara maju untuk mengatasi bencana alam, termasuk bencana akibat perubahan iklim. Contoh yang baik adalah evolusi tim pimpinan atau pengambil keputusan yang berfungsi dengan efektif. Anggota tim yang efektif sering kali harus mereka ulang peran yang ada atau memperbarui peran yang dapat dimainkan setiap anggota, tergantung pada kebutuhan tim pada situasi tertentu.

 

Pemimpin Informal

Meskipun tidak selalu tergantung dari manajer yang ditunjuk secara formal, para pemimpin informal dapat muncul secara instan dalam sebuah organisasi. Ini semua dapat terjadi karena para anggota tim pengambil keputusan memiliki pemahaman yang kuat tentang bagaimana memahami kebutuhan organisasi dalam usaha mencapai tujuannya.

Para anggota tim pengambil keputusan yang berhasil adalah mereka sukses memahami bahwa bukan organisasi atau diri sendiri yang paling penting, tetapi hubungan antara keduanya. Dan hubungan ini selalu bergerak dan berubah dinamis menuju pada tujuan yang ingin dicapai.

Strategi yang dapat membantu organisasi pemerintahan maupun bisnis menghadapi ketidakpastian atau kekacauan adalah dengan mengembangkan dan memberdayakan anggota organisasi menjadi lebih responsif melalui berbagai pelatihan.

Pengembangan dan pemberdayaan anggota organisasi juga diarahkan untuk mampu dan berani berinovasi secara lebih cepat dan yang paling penting memotivasi untuk terus belajar dalam lingkungan yang berubah cepat.

Dengan demikian, biaya mitigasi bencana alam bukan sekadar biaya mitigasi struktural (misalnya, membangun prasarana fisik) dan biaya mitigasi non-struktural (biaya pembuatan peraturan-peraturan) tetapi lebih biaya untuk pengembangan dan pelatihan sumber daya insani.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Dukung Kelestarian Lingkungan, Pemda DIY Mulai Terapkan Program PBJ Berkelanjutan

Jogja
| Kamis, 28 Maret 2024, 16:17 WIB

Advertisement

alt

Film Horor Gunakan Unsur Islam dalam Judul, MUI Sebut Simbol Agama Harus di Tempat yang Pas

Hiburan
| Selasa, 26 Maret 2024, 09:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement