Advertisement

OPINI: Kita Berhak untuk Tidak Always On

Tegar Satya Putra*
Kamis, 24 Maret 2022 - 07:07 WIB
Nugroho Nurcahyo
OPINI: Kita Berhak untuk Tidak Always On Tegar Satya Putra, Dosen Departemen Manajemen Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Atma Jaya Yogyakarta.rn

Advertisement

Kita semua pasti familier dengan aplikasi pesan instan seperti Whatsapp, Telegram, dan Line di ponsel pintar kita masing-masing. Berkat aplikasi semacam ini, bertukar kabar dan informasi menjadi sangat mudah dan cepat. Kita tidak perlu lagi ke kantor pos untuk mengirim pesan dan harap-harap cemas menunggu pesan balasan datang ke alamat rumah kita.

Semua pesan dan informasi sekarang bisa kita kirimkan dari genggaman tangan kita dan diterima oleh orang yang ada di negara lain dalam hitungan detik. Kemudahan aplikasi pesan ini juga dimanfaatkan oleh perusahaan untuk melakukan koordinasi antar karyawan. Selain pesan pribadi, banyak perusahaan yang juga membuat grup chat untuk perusahaan mereka.

Advertisement

Kemudahan yang diberikan aplikasi perpesanan memang mendatangkan banyak manfaat bagi perusahaan, namun banyak pihak yang sudah mengutarakan keresahan mereka mengenai budaya perusahaan di aplikasi pesan ini. Penggunaan aplikasi pesan singkat menciptakan budaya toksik yang bernama budaya always on (selalu terhubung).

Budaya always on merujuk pada kecenderungan perusahaan untuk selalu membalas pesan mengenai pekerjaan secepatnya di mana pun dan kapan pun. Keresahan mengenai budaya ini datang dari pegawai-pegawai dan juga para ahli.

Berdasarkan penelitian, budaya always on menimbulkan stres kerja dan kelelahan bagi pegawai. Dua hal tersebut selain berbahaya bagi pegawai sendiri, dalam jangka panjang juga akan merugikan perusahaan.

Sejak pandemi Covid-19, peran aplikasi pesan menjadi krusial untuk keberlangsungan perusahaan. Hal yang biasanya bisa dikomunikasikan secara langsung atau melalui rapat luring berpindah ke aplikasi pesan. Pesan yang masuk ke ponsel pintar pegawai menjadi lebih dari biasanya. Budaya always on pun menjadi semakin kuat.

Menyikapi hal tersebut, banyak negara yang mulai menggodok kebijakan untuk melindungi hak pegawai untuk tidak terhubung (right to disconnect) dengan aplikasi pesan dan surat elektronik di luar jam kerja.

Right to Disconnect

Right to Disconnect pertama kali dicetuskan di negara Prancis pada 2016. Setelah Prancis banyak negara yang mulai menyusun rancangan kebijakan right to disconnect. Beberapa negara tersebut adalah Amerika Serikat (Kota New York), India, Irlandia, Australia, dan Belanda. Salah satu negara yang paling progresif dalam pembuatan kebijakan ini adalah Irlandia yang berhasil menyusun kode etik yang harus diterapkan oleh semua perusahaan di Irlandia. Dalam kode etik tersebut, perusahaan harus menghormati hak pegawai untuk tidak terhubung, ketiga hak tersebut adalah:

Pertama, hak seorang karyawan untuk tidak harus secara rutin melakukan pekerjaan di luar jam kerja normalnya. Kedua, hak untuk tidak dihukum karena menolak menghadiri pekerjaan di luar jam kerja normal. Ketiga, Kewajiban untuk menghormati hak orang lain untuk memutuskan sambungan (misalnya, dengan tidak rutin mengirim email atau menelepon di luar jam kerja normal).

Selain berhasil mengimplementasikan right to disconnect menjadi kode etik yang praktis, Irlandia juga berhasil membuat kebijakan right to disconnect mereka untuk melindungi pekerja biasa dan pekerja jarak jauh. Sesuatu yang Prancis gagal lakukan di kebijakan right to disconnect mereka. Kebijakan yang dibuat Prancis mengatur jam kerja spesifik pegawai, pengaturan spesifik ini justru membuat kebingungan bagi beberapa perusahaan khususnya perusahaan multinasional yang harus koordinasi dengan anak perusahaannya di berbagai belahan dunia dengan zona waktu yang berbeda-beda.

Menyadari pengaturan jam kerja justru berimbas buruk, pemerintah Irlandia tidak secara spesifik mengatur rentang waktu yang disebut waktu kerja seperti pemerintah Prancis, yang diatur adalah “jam kerja pribadi” pegawai yang sesuai dengan zona waktu dan preferensi pegawai itu sendiri.

Perdebatan

Walau perkembangan kebijakan mengenai Right to Disconnect banyak mendapat dukungan dari para ahli, namun ada juga ahli yang menyangsikan keberhasilan kebijakan ini dalam mengatasi budaya always on di perusahaan.

Salah satu ahli dalam bidang psikologi organisasi dari University of Sussex mengatakan bahwa kebijakan yang dibuat pemerintah cenderung bersifat kaku dan koersif. Koersif adalah bentuk peraturan yang memberikan sanksi untuk memaksa pihak tertentu bertindak sesuatu.

Dua sifat dari peraturan pemerintah ini justru akan menimbulkan masalah baru. Salah satu masalah yang muncul adalah perusahaan dan pegawai kehilangan fleksibilitas dalam koordinasi dan komunikasi dalam pekerjaan. Walau mungkin kebijakan tingkatnya sudah seperti di Irlandia, bagaimana cara pegawai memilih jam untuk rapat atau koordinasi sementara jam kerja rekan kerjanya berbeda-beda baik dalam jadwal kerja maupun zona waktu?

Mencari waktu di mana semua orang sedang bekerja dan mempunyai waktu untuk rapat menjadi sangat sulit. Belum lagi jika rapat harus melibatkan orang di luar perusahaan, penentuan waktu rapat menjadi lebih sulit.

Selain masalah pemilihan waktu, dikutip dari artikel the hrdirector.com yang ditulis Steve Glaveski, kebijakan Right to Disconnect tidak akan menghapus budaya always on, karena kebijakan ini bersifat memaksa bukan mengedukasi para pemimpin perusahaan mengenai hak ini.

Masih menurut artikel yang sama, tanpa adanya kesadaran dari dalam perusahaan sendiri mengenai pentingnya menjaga Right to Disconnect pegawai, kebijakan yang dibuat pemerintah tidak akan efektif dalam memerangi budaya always on.

Kebijakan di Indonesia

Sampai artikel ini ditulis, sepengetahuan penulis, belum ada pembahasan untuk melindungi Right to Disconnect pegawai di Indonesia. Padahal berdasarkan data dari wage.org, kurang lebih 40% pegawai yang menjadi responden dalam survei wage.org mengaku harus bekerja dari rumah dan lebih dari 40% responden mengaku beban pekerjaan menjadi lebih banyak karena kebijakan WFH.

Belum lagi ditambah fakta bahwa pandemi ini memaksa semua elemen pekerjaan berpindah ke aplikasi dan perangkat lunak digital. Seharusnya pemerintah segera membahas mengenai hal ini karena ini akan menjadi masalah utama di masa depan pada saat Covid-19 bukan lagi menjadi pandemi.

*) Dosen Departemen Manajemen Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Calon Perseorangan Pilkada DIY 2024 Harus Mengantongi Ini

Jogja
| Kamis, 25 April 2024, 20:07 WIB

Advertisement

alt

Dipanggil Teman oleh Bocah Berusia 2 Tahun, Beyonce Kirim Bunga Cantik Ini

Hiburan
| Kamis, 25 April 2024, 19:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement