Advertisement

OPINI: Rumor Kenaikan Bunga Acuan

Profesor Haryo Kuncoro, Guru Besar Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Jakarta
Rabu, 24 Agustus 2022 - 06:17 WIB
Maya Herawati
OPINI: Rumor Kenaikan Bunga Acuan Profesor Haryo Kuncoro, Guru Besar Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Jakarta

Advertisement

Dalam beberapa bulan terakhir, setiap menjelang Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI), spekulasi atas kenaikan suku bunga acuan senantiasa merebak. Lamanya 7-day reverse repo rate dalam posisi status quo sejak Februari 2021 kian melambungkan rumor BI akan bergegas mengerek suku bunga acuannya. 

Indikator ekonomi makro lain, laju inflasi misalnya, tampaknya turut menguatkan dugaan perubahan arah kebijakan moneter BI. Tingkat inflasi umum yang diukur dari indeks harga konsumen pada Juli 2022 tercatat mencapai 4,94% secara tahunan, melampaui batas atas sasaran BI pada kisaran 2%-4%. 

Advertisement

Spekulasi makin tajam tatkala bank sentral Amerika Serikat (AS) secara agresif telah menaikkan suku bunga acuannya sejak awal tahun berjalan. Hingga kini The Fund Fed Rate berada di level 2,25%-2,50%. 

Negara-negara pasar berkembang sepantaran seperti India, Afrika Selatan, Malaysia, dan Filipina, juga sudah lebih dulu mendongkrak suku bunga acuannya. Meredam modal asing balik kanan menuju AS menjadi alasan logis. Logika di atas masih sejalan dengan upaya stabilisasi nilai tukar mata uang domestik. 

Kenaikan suku bunga acuan menjadi insentif ekstra bagi masuknya aliran modal asing yang selanjutnya memperkuat cadangan devisa. Ketersediaan cadangan devisa memberi rasa aman bagi pelaku pasar terhadap gejolak kurs.

Namun, semua argumen di atas sepertinya belum cukup kuat untuk mengubah pendirian BI. Gubernur BI Perry Warjiyo untuk kesekian kalinya memberi sinyal tidak akan buru-buru menaikkan suku bunga acuan dalam rangka mendukung pemulihan ekonomi. 

Kenaikan suku bunga akan merujuk pada inflasi inti. Di sisi lain, tingkat inflasi inti tercatat masih rendah, yakni sebesar 2,86% secara tahunan. Tingkat inflasi inti yang masih rendah tersebut menunjukkan daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih dari paparan dampak pagebluk Covid-19. 

Selain itu, BI memandang belum perlu untuk menaikkan suku bunga, karena ada subsidi dan pengendalian pangan. Kebijakan fiskal yang longgar perlu diimbangi dengan kebijakan moneter yang akomodatif dari sisi kebijakan suku bunga sehingga dampak akumulasi kedua kebijakan itu bisa optimal. Alur pemikiran ini pula yang membedakan dengan kebijakan moneter The Fed. 

Tingginya subsidi di AS diikuti oleh kenaikan permintaan agregat. Akibatnya, tingginya permintaan tidak terimbangi oleh penawaran agregat. Sesuai hukum pasar, harga agregat akan naik, yang dikenal luas sebagai inflasi. Tesis di atas tampaknya mendekati kenyataan. 

Biro Statistik Tenaga Kerja AS mengumumkan inflasi di Negeri Paman Sam tersebut kembali melonjak hingga menembus 9,1% per Juli 2022. Alhasil, kenaikan suku bunga acuan didayagunakan The Fed untuk mengendalikan permintaan agregat. 

Kenaikan suku bunga mendorong masyarakat untuk menyimpan porsi pendapatannya di perbankan guna memperoleh imbal hasil di waktu mendatang. Dengan begitu kenaikan permintaan bisa dikendalikan.

Sementara itu, fenomena inflasi di Indonesia lebih disebabkan oleh terganggunya rantai pasok. Penawaran agregat mengalami sedikit penurunan akibat perubahan cuaca, distribusi, dan mahalnya harga barang impor. 

Alhasil, kenaikan suku bunga acuan tidak akan banyak berdampak pada pengendalian inflasi. Dua cara pandang di atas mengingatkan kembali pada debat panjang antara aliran Keynesian dengan mazhab Klasik. 

Aliran Keynesian beranggapan kebijakan suku bunga akan berpengaruh pada aktivitas ekonomi sektor riil. Mazhab Klasik, sebaliknya, mengeklaim ada dikotomi antara sektor riil dengan sektor moneter.

Kekhawatiran dikotomi antara sektor riil dengan sektor moneter itu pula yang melandasi pergeseran dari BI Rate ke 7-day reverse repo rate sebagai suku bunga acuan. Saat BI Rate masih diterapkan, suku bunga acuan ke mana, inflasinya ke mana. 

 

Sangat Alot

Artinya, mekanisme transmisi kebijakan moneter ke sektor riil sangat alot. Setelah memasang 7-day reverse repo rate sebagai suku bunga acuan, mekanisme transmisi kebijakan moneter ke sektor riil diskenariokan melalui sektor perbankan. 

Kenaikan suku bunga acuan mendorong kenaikan biaya dana (cost of fund) sehingga menaikkan suku bunga pinjaman dari perbankan. Alhasil, BI lebih condong menggunakan piranti makro-prudensial untuk mengendalikan inflasi. 

Giro wajib minimum (GWM) dinaikkan per Maret 2022 dan dikerek lagi secara progresif mulai Juli 2022. Kenaikan GWM akan menyusutkan likuiditas yang diyakini akan meringankan tekanan inflasi. Aspek likuiditas ini pula yang akan disasar dari operasi moneter. 

Pembiayaan bersama (burden sharing) dengan pemerintah membawa efek BI mengalami kelebihan surat berharga negara (SBN). Pelepasan kepemilikan SBN di pasar sekunder akan menjadi wahana bagi BI untuk mengurangi likuiditas. 

Kembali kepada pokok pembicaraan, spekulasi atas kenaikan suku bunga acuan untuk jangka yang sangat pendek agaknya masih sebatas rumor. Suku bunga acuan—jika inflasi inti terkendali—sepertinya baru akan dinaikkan ketika racikan portofolio BI dalam memegang SBN sudah kembali seimbang. Bukan begitu, BI? (JIBI/Bisnis Indonesia)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Kembali Tampil di Pilkada Gunungkidul Tahun Ini, Ini Gagasan yang Diusung Sutrisna Wibawa

Gunungkidul
| Jum'at, 29 Maret 2024, 20:17 WIB

Advertisement

alt

Rela, Ungkapan Some Island tentang Kelam, Ikhlas dan Perpisahan

Hiburan
| Jum'at, 29 Maret 2024, 09:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement