Advertisement

OPINI: Jurus Jitu Pulihkan Intermediasi

Ramdani
Selasa, 06 Desember 2022 - 06:07 WIB
Maya Herawati
OPINI: Jurus Jitu Pulihkan Intermediasi

Advertisement

Pandemi Covid-19 yang melanda dunia sejak awal 2020 hingga kini belum sepenuhnya usai. Krisis kali ini terasa istimewa karena ia bersifat multidimensi yang merentang mulai dari sektor kesehatan hingga akademis, termasuk dalam hal keandalan suatu kebijakan keuangan.

Salah satu sektor yang ‘mencuri perhatian’ seiring serangkaian kebijakan dalam merespons dampak pandemi adalah keuangan. Dalam periode krisis, sistem acapkali tidak berjalan semestinya, sama halnya dengan sistem keuangan yang dapat mengalami distorsi.

Advertisement

Secara anatomi, sistem keuangan terdiri dari rumah tangga, korporasi, perbankan, dan pasar keuangan yang saling berkaitan menjalankan fungsi intermediasi. Distorsi terhadap salah satu entitas tersebut dapat terpropagasi dan berdampak kepada fungsi intermediasi.

Dalam rangka menjaga kondisi optimal dalam sistem keuangan, maka Bank Indonesia hadir sebagai otoritas makroprudensial melalui serangkaian instrumen kebijakan yang bersifat countercyclical guna menjaga intermediasi yang seimbang dan berkualitas.

Kondisi fungsi intermediasi selama periode pandemi berada pada level suboptimal yang salah satunya dapat terlihat dari capaian Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) yang berada di luar rentang optimal yaitu 84%-94%. Tercatat capaian RIM pada Juni 2021 sebesar 74,49% dan berada di bawah rentang optimal sejak Agustus 2020 bertepatan dengan meledaknya pandemi gelombang pertama.

Capaian RIM yang suboptimal tersebut disebabkan oleh ketidakseimbangan antara aliran likuiditas yang diterima oleh bank dan likuiditas yang disalurkan oleh bank kepada perekonomian dalam bentuk pembiayaan yang salah satunya dapat diindikasikan oleh penerimaan Dana Pihak Ketiga. DPK sempat tumbuh sebesar 11,11% pada Desember 2020, sedangkan pada periode yang sama penyaluran kredit mengalami kontraksi sebesar 2,41%.

Likuiditas yang diterima perbankan tersebut disimpan dalam bentuk aset likuid yang dapat dilihat dari rasio Alat Likuid/DPK sebesar 31,67% pada Desember 2020 dari batas minimum yang diperlukan yaitu sebesar 10%. Perubahan preferensi penyaluran likuiditas oleh perbankan itu dipengaruhi oleh tingginya ketidakpastian dalam perekonomian seiring dengan kebijakan pembatasan sosial sehingga mengubah risk appetite perbankan dari sisi penawaran penyaluran kredit.

Bukan hanya dari sisi penawaran, rendahnya penyaluran kredit tersebut didorong juga dari sisi permintaan yaitu pelaku usaha belum melihat prospek bisnis menjanjikan di kala pandemi. Fenomena menurunnya penyaluran kredit, baik dari sisi penawaran maupun permintaan, disebabkan oleh tingginya ketidakpastian dalam perekonomian disebut sebagai credit crunch.

Hal yang umumnya dikhawatirkan dari fenomena credit crunch ialah terbentuknya vicious circle yang tak berujung. Misalnya perbankan enggan menyalurkan kredit kepada perekonomian karena ketidakpastian yang tinggi.

Kebijakan Baru

Satu hal yang wajib dilakukan ialah memutus vicious circle tersebut. Dalam rangka memutus vicious circle tersebut, kita dihadapkan pada dua fakta, yaitu pertama, kebijakan makroprudensial merupakan kebijakan relatif baru yang populer pascakrisis keuangan global 2008 sehingga berimplikasi pada koleksi instrumen kebijakan yang masih sangat bisa berkembang. Kedua, krisis kali ini bersifat multidimensi sehingga diperlukan solusi dan respons kebijakan yang juga bersifat multidimensi.

Konsekuensi dari kedua fakta tersebut bahwa cara paling efektif dalam memulihkan fungsi intermediasi di tengah pandemi Covid-19 melalui kolaborasi dan sinergi kebijakan antarotoritas. Kebijakan makroprudensial Bank Indonesia sejak awal pandemi telah menerbitkan kebijakan yang bersifat akomodatif demi memacu pulihnya perekonomian.

Tercatat serangkaian kebijakan yang bersifat akomodatif di antaranya yaitu memberikan insentif bagi bank-bank yang menyalurkan kredit/pembiayaan kepada sektor prioritas, dan pembiayaan inklusif dan/atau bank-bank yang memenuhi target RPIM berupa pengurangan kewajiban GWM harian sampai dengan sebesar 100 bps, mulai Maret 2022.

Serangkaian kebijakan tersebut merupakan buah kesadaran bahwa khasiat dari pulihnya intermediasi tidak hanya dinikmati oleh Bank Indonesia sebagai otoritas makroprudensial, tetapi juga turut mendorong akselerasi pemulihan ekonomi.

Terkini, kebijakan menjaga momentum pemulihan intermediasi mendapat tantangan baru seiring dengan meningkatnya dinamika perekonomian global. Dari sisi domestik, 2022 merupakan tahun terakhir defisit anggaran di atas 3% hingga kebijakan restrukturisasi kredit akan berakhir pada 2023.

Tidak dapat dipungkiri, risiko eksternal akan menghadirkan policy trade off yang senantiasa membutuhkan inovasi sinergi bauran kebijakan nasional sebagai jurus jitu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Pemkab Sleman Berupaya Mempercepat Penurunan Angka Stunting

Sleman
| Jum'at, 19 April 2024, 07:27 WIB

Advertisement

alt

Film Korea Selatan Terbaru, Jo Jung Suk Tampil sebagai Pilot Cantik

Hiburan
| Rabu, 17 April 2024, 23:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement