Advertisement

OPINI: Menuju Produk Farmasi Bersertifikat Halal

Ryanda Al Fathan
Senin, 20 Maret 2023 - 06:07 WIB
Maya Herawati
OPINI: Menuju Produk Farmasi Bersertifikat Halal

Advertisement

Industri farmasi memiliki peran penting dalam menjaga kesehatan masyarakat. Namun, apakah produk farmasi yang beredar di Indonesia sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya?

Berdasarkan data dari Kemendagri, 86,88% penduduk Indonesia adalah muslim. Salah satu kebutuhan muslim adalah mengonsumsi produk halal, termasuk produk farmasi.

Advertisement

Beberapa ahli di bidang kesehatan menyatakan bahwa hanya 13% atau 2.600 produk farmasi yang bersertifikat halal dari seluruh produk farmasi yang beredar di Indonesia. Produk farmasi yang tidak memiliki sertifikat halal bukan berarti tidak halal, hanya belum terjamin kehalalan produknya.

Untuk merespon kebutuhan ini, Pemerintah telah menerbitkan UU No. 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) dan aturan-aturan turunannya sehingga setiap produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan perlu bersertifikat halal, termasuk produk farmasi.

Dalam implementasinya, dilakukan penahapan kewajiban sertifikasi halal untuk produk farmasi mengingat kompleksitas dari produk tersebut, serta kegunaannya dalam kondisi darurat. Penahapan tersebut diperinci dalam PP No. 39/2021 tentang Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal.

Presiden RI telah menerbitkan Perpres No. 6/2023 tentang Sertifikasi Halal Obat, Produk Biologi dan Alat Kesehatan untuk melengkapi regulasi pada PP No. 39/2021. Perpres ini memuat pedoman umum pembuatan produk farmasi yang sesuai dengan standar jaminan produk halal.

Untuk mengawal implementasi dari regulasi ini, Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) telah mengkaji tantangan dalam sertifikasi halal produk farmasi dan ditemukan beberapa hal, yaitu:

Pertama, bahan baku obat (BBO) yang terbatas di Indonesia. Kementerian Kesehatan menyatakan sekitar 90% BBO yang digunakan oleh industri farmasi Indonesia masih diimpor dari Tiongkok, India, dan lainnya. BBO dalam negeri dinilai masih banyak yang belum memenuhi standar kualitas BBO yang diperlukan.

Kedua, obat dan BBO impor masih perlu dilakukan re-assesment kehalalan walaupun supplier obat dan BBO sudah menyatakan tidak ada penggunaan bahan yang tidak halal atau tidak ada kontaminasi silang dalam proses produksinya, bahkan beberapa sudah tersertifikasi halal di negara asal.

Ketiga, fasilitas produksi perlu dikhususkan untuk memproduksi obat-obat halal. Ini merupakan tantangan bagi perusahaan farmasi yang masih menggunakan metode sharing facility dalam aktivitas produksinya.

Keempat, perbedaan standar halal dan kedudukan Lembaga Halal Luar Negeri di setiap negara yang membuat tidak mudah bagi Indonesia untuk meminta atau mengatur negara lain agar memproduksi BBO dan obat halal atau memberikan dokumen jaminan halal.

Kelima, efikasi dan efektivitas produk yang dihasilkan dari BBO halal yang mungkin lebih rendah dibandingkan produk yang dihasilkan dari BBO non-halal.

Dengan mempertimbangkan tantangan tersebut, Indonesia perlu melakukan beberapa aksi.

Dalam jangka pendek, pemerintah perlu membuat “daftar putih” yang berisi BBO tersertifikasi halal, baik impor maupun dalam negeri. Sosialisasi pedoman cara pembuatan obat yang baik dan halal perlu dilakukan dalam waktu dekat agar awareness dan pemahaman terkait produksi obat halal meningkat.

PERCEPAT MRA

Pemerintah perlu mempercepat mutual recognition agreement (MRA) terkait keberterimaan sertifikasi halal dengan negara supplier BBO, agar reassesment sertifikasi halal bisa diminimalisir.

Dalam jangka panjang, produksi dan penggunaan BBO dalam negeri perlu didorong lebih kuat. Kementerian Kesehatan telah menerapkan berbagai kebijakan untuk meningkatkan produksi dan penggunaan BBO dalam negeri agar Indonesia dapat mandiri dan tidak selalu bergantung pada BBO impor.

Riset dan pengembangan farmasi halal harus digencarkan mengingat bisa menjadi game changer dalam industri farmasi.

Durasi implementasi sertifikasi halal produk farmasi terlihat masih panjang, tetapi akan berlangsung cepat jika tidak diberikan perhatian khusus. Kolaborasi, sinergi, komitmen, dan konsistensi pemangku kepentingan pada industri farmasi merupakan key success factor untuk Indonesia menuju produk farmasi bersertifikat halal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Libur Lebaran Usai, Berikut Jadwal dan Tarif Terbaru Bus Damri dari Jogja ke Bandara YIA

Jogja
| Jum'at, 19 April 2024, 05:17 WIB

Advertisement

alt

Film Korea Selatan Terbaru, Jo Jung Suk Tampil sebagai Pilot Cantik

Hiburan
| Rabu, 17 April 2024, 23:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement