OPINI: Menyelesaikan Masalah Length of Stay Wisatawan DIY
Advertisement
Belum lama berselang saat libur Idulfitri, Dinas Pariwisata DIY menyebutkan terjadi penurunan pergerakan wisatawan sebesar 7,5% dibanding 2022. Ada berbagai dugaan mengapa terjadi penurunan wisatawan tersebut, dari layanan kepada wisatawan seperti tarif parkir, harga kuliner, isu keamanan, sampai akses infrastruktur jalan menuju DIY.
Terlepas dari apapun penyebabnya, kunjungan wisatawan selalu dikaitkan dengan lama tinggal (length of stay) wisatawan, yang tidak lain adalah durasi waktu lamanya wisatawan tinggal di suatu tempat.
Advertisement
Sampai saat ini length of stay masih menjadi aspek penting dalam dunia pariwisata. Apabila length of stay wisatawan tinggi maka wisatawan cenderung menghabiskan lebih banyak uang untuk berbagai kebutuhan, seperti makanan dan minuman, akomodasi, transportasi, dan aktivitas di destinasi wisata. Dampak lebih lanjut adalah meningkatnya pendapatan masyarakat, khususnya pelaku pariwisata.
Merujuk data Bappeda DIY, length of stay wisatawan DIY pada tahun 2019 sebesar 2,03 hari, tahun 2020 sebesar 1,78 hari, tahun 2021 sebesar 1,89 hari, tahun 2022 sebesar 1,9 hari, dan tahun 2023 sampai April 2023 sebesar 1,65 hari. Bukan tanpa alasan jika mulai 2020 terjadi penurunan length of stay cukup signifikan mengingat Indonesia mengalami Pandemi Covid-19.
Sementara itu, length of stay 2023 hanya sebesar 1,65 hari, dengan harapan masih terjadi peningkatan pada bulan-bulan menjelang akhir tahun 2023.
Sudah jamak terjadi, dalam pengelolaan pariwisata semua pelaku pariwisata merasa sudah melakukan yang terbaik, mulai dari layanan akomodasi, layanan destinasi wisata, maupun transportasi, meski dalam kenyataannya lama tinggal wisatawan DIY hanya berkisar di angka 1,5 sampai dua hari.
Tentu bukan angka yang menggembirakan bagi pelaku pariwisata DIY mengingat banyaknya destinasi wisata yang tersebar di DIY dari wisata religi, budaya, alam, wisata belanja, maupun kuliner.
Dukungan Infrastruktur
Salah satu dukungan vital pariwisata adalah tersedianya akses infrastruktur jalan yang semakin baik menuju DIY. Oleh karena itu, menjadi pertanyaan besar, apakah length of stay wisatawan di DIY akan meningkat cukup signifikan apabila infrastruktur jalan, sebut saja jalan tol Jogja-Solo dan jalan tol Jogja-Bawen selesai dibangun beberapa tahun yang akan datang.
Selesainya jalan tol sudah pasti akan memberikan kemudahan bagi wisatawan untuk berpindah dari satu kota ke kota lainnya. Namun harus diwaspadai jika kemudahan mobilisasi itu justru menyebabkan wisatawan tidak bersedia berlama-lama tinggal atau menginap di DIY.
Dalam konteks rendahnya length of stay wisatawan, seringkali dijumpai pelaku pariwisata menyalahkan faktor-faktor eksternal, seperti Pandemi Covid-19, perlambatan ekonomi, melemahnya daya beli, bahkan persaingan yang semakin ketat.
Seperti yang terjadi dengan berkembangnya pariwisata di kota-kota yang berdekatan dengan DIY yang menawarkan destinasi wisata baru lengkap dengan paket wisatanya. Harus diakui keberadaan kota-kota terdekat menjadi kompetitor dalam memperebutkan wisatawan.
Masihkah Relevan
Dalam industri pariwisata yang perubahannya masif ini sebenarnya sudah tidak relevan menyalahkan faktor-faktor eksternal, apalagi lingkungan eksternal berubah dengan sangat cepat. Justru perubahan yang sangat cepat menuntut perubahan cara pandang secara revolusioner.
Jika selama ini pengelolaan pariwisata sudah dianggap benar, maka harus berani meninjau ulang apakah pengelolaannya masih relevan dan sesuai dengan tuntutan zaman. Dengan kata lain, harus berani melakukan disrupsi pada dirinya sendiri (self-disruption), dengan mengubah segala hal yang selama ini diyakini kebenarannya dengan lebih tajam membaca kemauan wisatawan sebagai konsumen.
Bagaimana cara melakukan self-disruption dalam dunia pariwisata? Dimulai dengan mengubah mindset atau cara berpikir konvensional menjadi tidak konvensional atau kekinian, mengurangi beban biaya yang tidak perlu, menyederhanakan proses penyediaan layanan pariwisata, termasuk melakukan terobosan, mulai dari hal-hal yang berkaitan langsung maupun tidak langsung terhadap pariwisata, seperti keamanan dan kenyamanan wisatawan. Banyak hal bisa ditempuh, termasuk mengubah model bisnis pariwisata di DIY, setelah terlebih dahulu memperjelas positioning pariwisata DIY, berdasarkan kelebihan dan kelemahan, serta peluang dan ancamannya.
Keberadaan teknologi informasi digital diharapkan berperan besar sebagai ujung tombak pengembangan pariwisata DIY. Sebab saat ini dengan mudah setiap orang termasuk wisatawan mengunggah foto dan opininya di media sosial, dan secara otomatis tersebar secara viral, entah sesuatu yang menyenangkan maupun sesuatu yang tidak menyenangkan.
Itulah yang dikenal dengan sebutan consumer generated marketing yang terbukti efektif dalam mendongkrak maupun menjatuhkan citra pariwisata.
Penyelesaian rendahnya length of stay DIY membutuhkan strategi pengembangan pariwisata DIY yang tidak hanya dijalankan secara sektoral, namun harus diselesaikan secara komprehensif dan terintegrasi. Baik oleh pihak-pihak yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan pariwisata. Ibaratnya total football harus mencakup seluruh sektor dan semua pelaku pariwisata, bahkan menuntut keterlibatan yang tinggi juga dari masyarakat.
Th. Agung M. Harsiwi
Dosen Departemen Manajemen Fakultas Bisnis dan Ekonomika UAJY
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Libur Natal dan Tahun Baru, Jumlah Penumpang Bandara YIA Diprediksi hingga 14 Ribu per Hari
Advertisement
Masih Ingat Tokoh Rapunzel? Disney Bakal Bikin Live Action Film Tangled
Advertisement
Advertisement
Advertisement