Advertisement

Promo November

OPINI: Menjaga Kualitas Aturan Main Bursa Karbon

Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios)
Sabtu, 03 Juni 2023 - 06:07 WIB
Maya Herawati
OPINI: Menjaga Kualitas Aturan Main Bursa Karbon Ilustrasi emisi karbon dari sebuah pabrik - Bloomberg

Advertisement

Sebentar lagi Indonesia akan memiliki bursa karbon, untuk pertama kalinya dalam sejarah. Sebelumnya memang perdagangan karbon sudah dilakukan, tapi di luar negeri contohnya seperti pasar Singapura. Padahal Singapura tidak memiliki cadangan karbon khususnya hutan. Melihat peluang tersebut, tentu Indonesia berambisi menjadi hub perdagangan karbon, karena potensi kredit karbon yang dimiliki cukup besar. Proyeksinya nilai ekonomi karbon dari hutan tropis, gambut, dan mangrove jika ditotal bisa menembus lebih dari Rp8.000 triliun. Angka ini belum menghitung kredit karbon yang disumbang entitas perusahaan misalnya di sektor energi terbarukan. Proyeksi moderat dari kapitalisasi pasar bursa karbon dapat menembus Rp15.000 triliun, sekitar 70% dari PDB.

Manfaat bursa karbon cukup besar bagi perekonomian, mulai dari membantu percepatan menuju target net zero emission 2050, memicu perusahaan untuk menjual kredit karbon dibanding menjadi pembeli yang berarti perusahaan harus memiliki orientasi bisnis yang berkelanjutan, hingga bursa karbon sebagai referensi dari harga karbon yang transparan. Manfaat lain dari bursa karbon adalah dapat meningkatkan devisa karena banyaknya permintaan dari perusahaan di negara lain untuk membeli kredit karbon dari Indonesia. Tentu, dampak turunan lain adalah besarnya potensi pendapatan negara dari aktivitas perdagangan karbon.

Advertisement

Bursa karbon kini tengah ditunggu banyak pihak, karena pemerintah disaat yang bersamaan mendorong program penurunan emisi karbon di sektor pembangkit listrik, transportasi dan dekarbonisasi industri. Dalam program JETP (Just Energy Transition Partnerships) pemerintah dituntut merealisasikan skema pensiun dini PLTU batubara, dibarengi dengan skema pajak karbon. Alhasil, banyak perusahaan di sektor energi misalnya yang akan menggunakan kredit karbon sebagai upaya mekanisme pasar mempercepat penurunan emisi total dari setiap aktivitas bisnisnya.

Meski perlu dicatat bahwa bursa karbon tidak boleh menjadi alat dari greenwashing, seolah perusahaan telah berkontribusi menurunkan emisi karbon, padahal praktiknya masih menyumbang emisi secara besar-besaran. Jelas pentingnya pajak karbon dan bursa karbon wajib berjalan beriringan sehingga ada denda bagi perusahaan yang tidak berniat menurunkan emisi karbon dan berkelit sudah memiliki kredit karbon.

Untuk mempersiapkan operasional bursa karbon, OJK tengah menyiapkan peraturan turunan dari amanat UU PPSK yang harapannya akan dirilis pada bulan Juni. Sementara bursa karbon ditarget berjalan pada September tahun ini.

Perangkat regulasi yang mengatur bursa karbon perlu dijaga agar berkualitas, karena berpengaruh pada kedalaman volume perdagangan dan kepercayaan pelaku di ekosistem karbon itu sendiri. Kualitas regulasi juga penting untuk memastikan potensi karbon yang sangat besar segera dapat direalisasikan.

Salah satu isu yang krusial dalam aturan teknis bursa karbon ada pada bagian penyelenggara. Penentuan siapa yang akan menyelenggarakan bursa karbon akan mempengaruhi kepercayaan para pelaku di dalam ekosistem bursa karbon. Berhasil tidaknya bursa karbon ditentukan oleh kapasitas dari penyelenggara. Baru-baru ini muncul wacana bahwa penyelenggara bursa karbon akan dikhususnya kepada bursa efek. Tentu hal ini menjadi polemik karena beberapa alasan.

Pertama, bursa karbon dan bursa efek merupakan entitas dan ekosistem yang berbeda. Bursa karbon bicara soal perdagangan karbon yang dianggap sebagai komoditas di berbagai belahan dunia, sementara bursa efek adalah memfasilitasi perusahaan untuk mencari pendanaan publik dengan menjual saham. Jika melihat best practice di Inggris, bursa efek di bawah otoritas jasa keuangan berperan sebagai tempat fundraising untuk project mitigasi perubahan iklim, bukan tempat perdagangan kredit karbon.

Kedua, di banyak negara, baik di negara maju dan negara berkembang, pengaturan bursa efek dan bursa karbon dipisah. Contohnya di Uni Eropa sebagai pionir bursa karbon yang paling tua, untuk penyelenggara bursa saham ditangani oleh lembaga seperti Euronext, dan Deutsche Bourse. Sementara bursa karbon penyelenggaranya adalah European Energy Exchange (EEX). China dan India pun melakukan pemisahan serupa.

Ketiga, penyelenggara bursa karbon menurut regulasi UU PPSK bisa berasal dari beragam entitas, tidak spesifik pada bursa efek. Artinya, kesempatan yang sama layaknya diberikan kepada setiap penyelenggara yang tertarik masuk dalam bursa karbon, selama memenuhi syarat perizinan dari OJK. Dengan rencana aturan yang cenderung memprioritaskan bursa efek, dikhawatirkan terjadi monopoli pada bursa karbon. Selain berpotensi menghambat inovasi, tentu hal ini berkebalikan dengan prinsip level of playing field yang adil.

Keempat, pemaksaaan penyelenggara dari bursa efek memiliki konsekuensi adanya ketidakcocokan dalam berbagai regulasi teknis. Salah satu yang menjadi polemik adalah aturan terkait delisting atau penghapusan saham dari bursa, tidak dapat diberlakukan pada skema kredit karbon. Perlu dicatat bahwa kredit karbon bukan kepemilikan saham yang bisa dihapus bukukan.

Kelima, karena perdagangan karbon baru pertama kalinya dilakukan dibawah otoritas di Indonesia, maka tidak ada satupun penyelenggara yang memiliki pengalaman. Artinya, pemilihan bursa harus dibuat se-fair dan seinkusif mungkin, dengan mempertimbangkan kesiapan infrastruktur, prosedur, dan aturan penyelenggara pasar yang sudah siap menyelenggarakan perdagangan karbon. OJK bisa menilai dalam aturan perizinan penyelenggara terkait dengan kesiapan sistem pencatatan, integritas, dan kapasitas.

Infrastruktur perdagangan karbon yang tepat merupakan syarat utama agar Indonesia dapat memanfaatkan secara maksimal potensinya, yaitu potensi untuk memenuhi NDC (Nationally Determined Contribution) sekaligus potensi untuk menarik investor dan dana dari luar negeri untuk membiayai transisi energi di dalam negeri. Dengan infrastruktur yang keliru, seperti pemilihan bursa yang tidak tepat, perdagangan karbon akan menjadi tidak efisien dan tidak sesuai dengan cita-cita pemerintah.

Dalam proses perumusan aturan teknis, OJK sebaiknya terus menggali berbagai pengalaman di tiap negara, sekaligus melakukan audiensi publik. Para stakeholder di ekosistem bursa karbon, baik internal kementerian/lembaga, masyarakat hingga pelaku usaha dan institusi penelitian perlu diajak merumuskan detail aturan bursa karbon. Setidaknya aturan yang nantinya akan menjadi landasan operasional bursa karbon diharapkan berkualitas, akuntabel, dan transparan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Sidang Pelanggaran Perda Rokok Kulonprogo, 16 Perokok dan 2 Penjual Didenda Ratusan Ribu

Kulonprogo
| Senin, 25 November 2024, 15:37 WIB

Advertisement

alt

Yura Yunita Umumkan Bakal Menggelar Konser Tunggal Februari 2025

Hiburan
| Minggu, 24 November 2024, 21:57 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement