OPINI: Dimensi Kebangsaan Ibadah Kurban
Advertisement
Hari Raya Iduladha bermula dari sejarah perjalanan spiritual Nabi Ibrahim As tentang mencari dan memahami esensi ketauhidan universal. Ketauhidan yang dijiwai oleh Nabi Ibrahim As demikian progresif.
Mengingat ketauhidan tersebut, mampu mengubah sikap serta mendorong umat Islam di seluruh penjuru dunia untuk mengubah dimensi sosialnya menuju kehidupan yang lebih berkeadaban.
Advertisement
Puncak esensi ketauhidan Nabi Ibrahim As tergambarkan pada peristiwa pengorbanannya lewat perintah penyembelihan putra tercintanya, Nabi Ismail As. Dengan penuh kepatuhan, ketundukan, dan ketulusan kepada Khalik Sang Pencipta, Nabi Ibrahim As rela dan ikhlas menyerahkan anaknya, sebelum akhirnya Allah SWT menggantinya dengan domba besar.
Peristiwa spiritualitas Nabi Ibrahim As dengan putranya Nabi Ismail As tersebut, bahkan dijadikan sebagai salah satu ibadah yang dianjurkan setiap Hari Raya Iduladha (10 Zulhijah) dan hari Tasyrik (11-13 Zulhijjah). Bagi umat muslim yang memiliki kelapangan rezeki diwajibkan untuk berkurban.
Perintah ini sangat jelas, seperti halnya sebuah hadis nabi yang diriwayatkan At-Thabrani, “Siapa yang memiliki kelapangan rezeki, tetapi tidak berkurban, maka jangan sekali-kali mendekati masjid Kami”.
Berdampak Sosial
Hadis tersebut juga menegaskan bahwa berkurban bukan hanya anjuran biasa, melainkan sangat dianjurkan yang diharapkan bisa berdampak spiritual dan moral bagi orang yang berkurban serta sosial bagi orang sekitar.
Berkurban juga jangan hanya dimaknai, sebagaimana apa yang kasat mata saja tetapi juga dimaknai dalam esensi paling dalam, pada konteks kekinian. Artinya, pada momentum Iduladha ini, kita tak hanya menyembelih hewan kurban semata, melainkan menyembelih sifat buruk kita seperti egoisme dan tindakan seperti radikalisme, anti-Pancasila, dan anti-kebinekaan.
Apalagi saat ini, kita sebagai bangsa Indonesia merayakan Iduladha di tengah-tengah perjuangan keras bangsa ini untuk menundukkan gempuran gelombang egoisme. Bisnis informasi palsu ataupun radikalisme merupakan dua di antara contoh bentuk egoisme, yang hanya mempedulikan kepentingan sendiri tanpa memperhatikan dampak buruk terhadap orang lain.
Padahal kita tahu, menguatnya bentuk egoisme seperti ini bisa berdampak pada perpecahan juga permusuhan, memudarnya etos kerja sama, serta mengikis solidaritas sosial.
Egoisme seperti ini, merupakan penyakit yang akan menjebak seseorang atau kelompok dalam lingkaran setan, yakni sikap dan tindakan yang hanya memikirkan diri sendiri atau kelompok. Bahkan demi kepentingan sempit itu, orang atau kelompok lain bisa disingkirkan lewat tindakan radikal, ujaran kebencian, konten informasi palsu (hoaks) dan adu domba.
Demikian pula dengan egoisme komunikasi antarbangsa yang bisa jadi berdampak renggangnya hubungan persaudaraan, mengingat yang muncul malah justru klaim merasa paling benar. Egoisme ini sampai derajat kulminasi akan memunculkan kelompok-kelompok yang tidak punya komitmen terhadap NKRI dan tidak punya integritas nasionalisme ke-Indonesiaan. Kondisi seperti ini, merupakan ladang subur tumbuh berkembangnya perilaku buruk seperti permusuhan, pertikaian, dan juga kekerasan antar-bangsanya sendiri.
Mengingat dampak buruk yang demikian dahsyat dari mencuatnya sikap egoisme ini, melalui spirit Iduladha ini, yang mana kita umat Islam di seluruh penjuru dunia menyembelih hewan kurban. Sudah saatnya juga, kita sebagai bangsa Indonesia “menyembelih” egoisme.
Peringatan Iduladha ini yang sarat dengan pesan moral di antaranya, ajaran solidaritas sosial untuk berbagi terhadap sesama. Peringatan Iduladha sudah seyogianya tak hanya dimaknai sekadar ritual dalam sorak ramai gema kumandang takbir secara lisan, kemeriahan Salat Id berjemaah, maupun hiruk pikuk penyembelihan hewan kurban. Namun juga harus bisa dimaknai dengan sebagai spirit untuk terus menebar kepedulian sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berkurban hewan juga harus diinternalisasikan dan juga diaktualisasikan dalam bentuk menebar cinta damai dan mengasihi sesama. Bukankah, Nabi Muhammad SAW telah bersabda, “Sayangilah sesamamu yang ada di muka bumi ini [manusia], niscaya yang di langit [Allah SWT] juga akan menyayangimu,” (H.R.Muslim).
Dalam hadis ini, tersirat pesan moral yang amat luhur untuk saling mengasihi antar sesama manusia. Oleh karenanya, marilah kita merenung dan sejenak melebur segala egoisme kita. Berdoa dengan kejernihan hati, kebeningan nurani, ketajaman akal dan pikiran dalam upaya mengokohkan persaudaraan, menguatkan kesalehan sosial serta menebar kepedulian.
Harapannya Indonesia segera lepas dari berbagai bentuk masalah bangsa, kemudian bangkit sehingga akan menjadi negara yang berkemajuan, adil dan makmur negaranya serta aman dan damai bangsanya, amin.
Suwanto
Guru di MA Ali Maksum, PP Krapyak Yogyakarta
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Berduel Malam Ini, Berikut Susunan Pemain Persija vs PSS Sleman
Advertisement
Jarang Disorot Media, Ternyata Ini Tunangan Lady Gaga, Punya Kekayaan Capai Rp9,8 Triliun
Advertisement
Advertisement
Advertisement