Advertisement

Promo November

Nyatakan Perang pada Sampah Plastik!

Ahmad Djauhar
Senin, 07 Agustus 2023 - 07:07 WIB
Budi Cahyana
Nyatakan Perang pada Sampah Plastik! Ilustrasi sampah - Freepik

Advertisement

Saat awal menempati ‘rumah mewah’ saya sekeluarga di Sleman, DIY, sungguh terasa keasrian dan kesegaran alamnya, yang sama sekali berbeda dari masa 30 tahun sebelum pindah domisili itu. Selama tiga dekade lebih sebelumnya, kami sekeluarga hidup berpindah dari kompleks perumahan yang satu ke kompleks yang lain.

Tapi, tunggu dulu, tanpa bermaksud menyombongkan diri, ‘rumah mewah’ yang saya maksudkan ini adalah rumah mepet sawah, karena memang didirikan di lahan persawahan.

Advertisement

Hunian kami sekarang ini semuanya boleh dikatakan perfect. Panorama Merapi di utara, lanskap persawahan di depan dan belakang rumah, lengkap dengan pengaruh cuaca kawasan kaki gunung, membuat tempat tinggal baru kami tersebut merupakan lingkungan idaman. Areal persawahan, sungai, dan saluran irigasi menambah harmoni bentangan alam di sekitar kami.

Sayangnya, kawasan yang sebenarnya sangat ideal untuk tinggal itu, ‘dibanjiri’ sampah plastik di mana-mana. Tidak hanya di sungai, tapi juga di pinggir jalan, di saluran irigasi, dan lahan persawahan yang cukup menawan hati juga dipenuhi sampah plastik.

Saya langsung ingat pada sejumlah perjalanan liputan ke mancanegara. Ke Jepang dan Swiss, terutama. Di selokan-selokan sejumlah kota di Jepang, sangat sulit dijumpai sampah plastik kemlawe, tercecer, di lingkungan sekitar ranah publik. Begitu bersihnya. Yang dapat dijumpai hanyalah guguran daun kering yang lama-kelamaan akan membusuk dan terurai di alam.

Di sebuah danau di Jenewa, misalnya, meskipun terlihat sangat dalam, tapi saya dapat melihat hingga dasarnya dan—lagi-lagi—tak secuil pun sampah plastik terlihat, kecuali sampah organik macam daun yang berjatuhan dari pepohonan. Begitu teratur dan tertibnya masyarakat di sana dalam hal membuang sampah.

Praktik sederhana dalam kehidupan sehari-hari bermasyarakat di sejumlah negara maju itu sangat patut dicontoh. Sedari kecil, anak-anak sudah diajari bahwa membuang sampah haruslah di tempat sampah yang sudah disediakan. Tidak whar-wher whar-wher membuang sampah as delicious as his/her belly button alias seenak udele seperti banyak terjadi di negeri kita, tak ada yang tidak bersampah, terutama sampah plastik.

Akibat perilaku yang masa bodoh dalam membuang sampah itu, tidak di desa, tidak di kota, sampah terserak di mana-mana. Lihat saja, di berbagai kota di negeri kita, hampir tidak ada jengkal lahan yang tidak bersampah. Hanya di sejumlah ruas tertentu saja yang tampak klimis tanpa sampah di sejumlah kota. Selebihnya, selalu saja berceceran sampah di sembarang titik.

Juga di sejumlah kota di Afrika, orang-orang di sana terlihat nyampah di mana-mana. Di Senegal, Acra, Kairo, bahkan tak jauh dari downtown Capetown, misalnya, gundukan sampah di berbagai titik di kota itu dianggap sebagai pemandangan biasa. Kontras dengan pemandangan di sejumlah kota di Eropa dan beberapa kota di Asia yang sudah maju seperti Tokyo dan Singapura.

Saking ingin menjaga kotanya agar selalu tampak bersih dan kinclong, sampai-sampai pemerintah Negeri Pulau—Singapura—itu memberlakukan aturan yang keras terhadap siapa pun yang ketahuan membuang sampah tidak pada tempatnya.

Jangankan nyampah, orang yang ketahuan meludah di sembarang tempat saja bakalan diganjar denda yang tidak murah. Makanya, orang-orang kemudian mempelesetkan Singapura sebagai Fine City, alih-alih sebagai Kota nan Indah juga berarti Kota (penuh) Denda!

Tetapi, ancaman denda yang tidak ringan itu terbukti efektif. Masyarakat Indonesia yang di negeri sendiri sering nyampah—termasuk meludah dan membuang puntung rokok—sembarangan serta demen berperilaku jorok sekali pun, bila berada di Kota Singa itu kontan berubah menjadi orang yang berdisiplin tinggi, tidak seperti jika berada di negeri sendiri. Begitu kembali ke Tanah Air, perilaku nyampah pun kambuh lagi. ‘Mendadak disiplin’ itu terjadi semata-mata karena ketakutan akan sanksi denda tadi.

Memangnya di negeri kita tidak terdapat aturan untuk mendenda mereka yang suka nyampah sembarangan seperti itu? Ada! Begitu banyak perda di hampir semua provinsi, kabupaten, dan kota. Dapat dikatakan bejibun jumlahnya. Masalahnya adalah penegakan hukum untuk itu sangat lemah dan petugas yang beroleh kewenangan menegakkan aturan tersebut, biasanya lembek, melempem, terlalu toleran. Enggak tegaan.

Tidak mengherankan bila hasilnya seperti yang terlihat seperti yang saya paparkan di atas. Perilaku masyarakat yang seperti itu haruslah diubah. Tentu tidak mudah mengubah kebiasaan masyarakat yang sudah berumur, karena mereka umumnya sudah bungentuwa: mlebu kuping tengen, metu kuping kiwa alias masuk telinga kanan [langsung] keluar kuping kiri. Tak berbekas. Akibatnya, kebiasaan buruk massal itulah yang berlanjut, membentuk perilaku nyampah yang berkelanjutan.

Habit atawa kebiasaan untuk membuang sampah di tempatnya haruslah diajarkan kepada warga sejak berusia dini, agar terbentuk perilaku positif dalam hal membuang sampah. Model pendidikan di sejumlah negeri maju patutlah dicontoh.

Sedari kecil, saat masih di kindergarten hingga bangku pendidikan dasar, anak-anak tidak dikuya-kuya dengan tugas sekolah yang berat-berat macam Matematika, IPA, ataupun IPS, tapi kepada mereka ditekankan untuk berdisiplin dan bertenggang rasa. Humanis memang.

Berangkat dari aktivitas memulung sampah di sekitar rumah hampir tiap hari itu, saya pun bertekad bahwa dalam radius 100 meter dari rumah harus bebas dari sampah plastik. Karena, berdasarkan berbagai informasi yang saya himpun dari aneka sumber tepercaya, pencemaran plastik di sekitar kita juga berpotensi masuk ke tubuh manusia.

Partikel microplastic dari sampah plastik itu, bila sampai terserap oleh tanaman, akan terantarkan kepada manusia maupun hewan ternak ataupun melalui produk pertanian serta sayur-mayur yang dikonsumsi sehari-hari. Akumulasi dari microplastic di tubuh manusia itulah yang menjadi biang aneka penyakit ringan hingga berat yang diderita manusia modern dewasa ini.

Tidak berhenti di situ. Saya pun membuat insinerator, untuk memusnahkan sampah plastik, selain membuat lubang penimbunan sampah organik. Aksi ini terbukti efektif. Berapa pun sampah organik maupun sampah plastik yang menggunung di sekitar rumah, bersih semuanya. Sampah organik (yang dapat membusuk dan terurai) dapat menjadi pupuk organik. Sedangkan sampah plastik kering yang dapat diproses dengan insinerator tadi, ludes semuanya. Hanya abu yang tersisa.

Sejumlah pihak memang mengingatkan kepada saya, asap hasil pembakaran dari insinerator kan berpotensi mencemari udara. Betul memang. Tapi seberapa besar sih tingkat pencemaran yang diakibatkannya. Bagaimana halnya dengan asap ribuan knalpot kendaraan yang tiap hari, siang, dan malam, mewarnai atmosfer masyarakat itu? Apatah lagi asap dari pabrik pengguna minyak diesel atau bahkan batu bara!

Selagi pengelola pajak yang dibayar rakyat—siapa lagi kalau bukan pemerintah—belum mampu menyediakan fasilitas pemusnah limbah rumah tangga, termasuk sampah plastik, saya kira insinerator layak menjadi solusi sementara. Kota Jogja dan wilayah sekitarnya hari-hari ini sedang dilanda persoalan sampah heboh seiring dengan penutupan situs Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan.

Kini warga Jogja dan sekitarnya pun kesulitan lahir batin terkait soal sampah ini. Sebagian dari warga pun kembali pada kebiasaan lama yakni membungkus sampah rumah tangga, tanpa memilahnya tentu, lalu membungkusnya dengan plastik kresek dan wherr, membuangnya di pinggir jalan. Muncullah pemandangan tak berbudaya, bungkusan sampah dalam kresek terlihat pathing tlecek, berceceran, di pinggiran sejumlah ruas jalan.

Karena itu, sangatlah relevan kiranya bila masyarakat berinisiatif mengurangi konsumsi plastik, memperkecil aktivitas nyampah, dan mendaur ulang limbah rumah tangga. Kita tentu merindukan lingkungan yang segar alami, tanpa sampah kemlawe sehingga masyarakat kita dapat menikmati peri kehidupan seperti yang dialami masyarakat di negeri maju. Menjadi bangsa maju hendaknya jangan hanya semboyan menjelang ulang tahun kemerdekaan negeri kita, tapi menjadi kasunyatan!

Ahmad Djauhar

Ketua Dewan Redaksi Harian Jogja

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Akan Dipulangkan ke Filipina, Begini Ungkapan Mary Jane Veloso

Gunungkidul
| Kamis, 21 November 2024, 13:07 WIB

Advertisement

alt

Hanya Satu Hari, Film The Last Dance Jadi Box Office di Hong Kong

Hiburan
| Rabu, 20 November 2024, 08:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement