Advertisement
OPINI: Menyoal Perizinan Keramaian oleh Kepolisian
Advertisement
Salah satu momok yang ditakuti masyarakat ketika hendak mengajukan perizinan keramaian kegiatan kepada kepolisian adalah biaya perizinan yang mahal. Padahal merujuk pada Petunjuk Lapangan (Juklap) Kapolri No. Pol/02 /XII/95 tentang perizinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat, pada dasarnya tidak ada pungutan biaya perizinan yang harus dikeluarkan oleh pihak yang mengadakan sebuah kegiatan.
Informasi yang didapatkan dari seorang narasumber misalnya, pada 2022 salah satu SMA Negeri di Jogja mengalami hal yang menakutkan tersebut ketika mengurus izin keramaian sebuah acara pentas musik. Alasan pengenaan biaya tersebut adalah untuk membayar personel yang akan diturunkan selama acara berlangsung, nominalnya juga tidak sedikit. Anehnya, pengenaan biaya tersebut juga tidak disertai dengan dasar perjanjian atau landasan hukum.
Advertisement
Pengaturan mengenai larangan pungutan, termasuk biaya tidak sah yang dikenakan dalam pengajuan izin keramaian telah disorot dalam Pasal 369 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), berbunyi; “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain, atau supaya memberikan hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”
Dengan demikian, perbuatan pungutan tidak sah tersebut pada dasarnya merupakan tindak pidana dan dapat diancam hukuman berdasarkan Pasal 369 ayat (1) KUHP. Tidak main-main, pelaku bisa dipenjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV, yaitu Rp200 juta.
Masih tentang pengalaman salah satu SMA Negeri tersebut, sayangnya panitia penyelenggara acara musik saat itu masih kurang paham mengenai larangan pungutan perizinan dimaksud. Mereka lebih memilih diam karena khawatir acaranya gagal tidak jadi diselenggarakan karena adanya perselisihan dalam proses pengurusan perizinan.
Dari pengalaman ini, kita mendapatkan fakta bahwa ternyata di lapangan peraturan tentang larangan melakukan pungutan yang tidak sah tidak sepenuhnya ditaati oleh pihak-pihak yang berwenang. Pertanyaanya, selama ini bagaimana pengawasan yang dilakukan?
Tingkat Kepercayaan
Seperti yang kita ketahui, keluhan mengenai pemungutan biaya secara tidak sah ini banyak beredar di media sosial. Masyarakat pada akhirnya skeptis dengan kinerja penegakan hukum di negeri ini. Sebagai contoh Twitter dengan username @ellowwww24, mengeluhkan permintaan uang oleh petugas saat mengurus kehilangan ATM dan KTP. Selain itu akun Twitter @gehanghofari, juga menuliskan pengalamannya ketika membuat laporan kehilangan dompet, meskipun dilayani dengan baik tetapi setelaahnya dimintai uang "seikhlasnya”. Ironisnya, petugas tersebut saat melayani mengenaikan pin "ANTI-PUNGLI" dan disitu ada spanduk gede antikorupsi.
Dari pengakuan beberapa warga Twitter di atas, wajar jika masyarakat kemudian mempertanyakannya, karena perlakuan pungutan yang terjadi tersebut menjadi salah satu faktor yang dapat menyebabkan turunnya tingkat kepercayaan publik. Sementara itu Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil risetnya yang menunjukkan tingkat kepercayaan publik yang terus menurun, sebesar 2% pada Agustus 2022, dan anjlok lagi hingga 17% pada Oktober 2022.
Berdasarkan hasil survei tersebut kepolisian menjadi lembaga penegak hukum yang paling tidak dipercaya publik. Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan mengatakan secara sosio demografi, masyarakat dengan tingkat pendidikan tinggi lebih tidak percaya kepada polisi. Mereka yang pendapatannya lebih tinggi pun cenderung memiliki tingkat kepercayaan yang lebih rendah kepada polisi (dataindonesia).
Jika kepolisian benar-benar melakukan evaluasi dan pengawasan langsung terhadap kinerja dan kepatuhan hukum anggotanya secara rutin, seharusnya pungutan tidak sah dalam pelayanan kepolisian dapat dicegah.
Ini sekaligus akan menaikkan kepercayaan masyarakat yang terus merosot tersebut. Apalagi jika ada bukti konkret dengan memberi sanksi tegas kepada oknum polisi yang melakukan pungutan tidak sah. Untuk membantu upaya pengawasan anggota polisi nakal, bisa melibatkan masyarakat dengan memberikan keleluasaan dan perlindungan hukum bagi mereka dalam melaporkan tindakan pungutan tidak sah tersebut, merujuk pada UU No.20/2001, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Menilik komitmen kepolisian mengusung pelayanan yang presisi, seharusnya evaluasi dan pengawasan sudah dilakukan.
Sanksi terhadap anggota yang melanggar mestinya juga sudah sering dijatuhkan. Hanya saja, kenapa masih saja ada oknum yang melakukan pelanggaran pungutan dalam pelayanan, tanpa terkecuali dalam mengurus izin keramaian? Jika hal buruk ini tidak dapat diatasi dan terus berulang, nantinya persepsi buruk masyarakat akan semakin menguat terhadap performa kepolisian.
Tidak ada pilihan lain kecuali pihak kepolisian mengambil langkah tegas untuk menindak oknum-oknum yang telah melakukan pelanggaran untuk memberikan rasa tenang, rasa aman dan rasa nyaman masyarakat saat mereka mengurus berbagai pelayanan di kantor kepolisian.
Ivania Atha A & Lintang Saffanah M
Pelajar Sahabat Ombudsman RI DIY, Kelas XII & XI IPS SMAN 11 Yogyakarta
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Advertisement
1 Kakak 7 Ponakan Jadi Film Terbaru Yandy Laurens, Adaptasi dari Sinetron Tahun 1990-an
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement