Advertisement

Saat China Memasuki Era Ketidakpastian

Media Digital
Senin, 30 Oktober 2023 - 15:27 WIB
Mediani Dyah Natalia
Saat China Memasuki Era Ketidakpastian Ahmad Djauhar, Ketua Dewan Redaksi Harian Jogja - Gambar Harian Jogja - Hengky Kurniawan\\r\\n\\r\\n

Advertisement

JOGJA—Tak seperti sebelumnya, hari-hari ini China mulai menunjukkan kegelisahan menghadapi masa depan. Apa pasal? Pertama, China gelisah terhadap penyusutan jumlah penduduk negeri itu, yang berarti akan mengalami pengurangan usia produktif dan terbebani oleh penduduk berusia lanjut dengan porsi kian membesar.

Kedua, kegelisahan menghadapi kemerosotan ekonomi—terutama dipicu krisis properti/real estat—yang belum pernah terjadi selama hampir tiga dekade terakhir ketika Negeri Tirai Bambu itu seakan bertumbuh tanpa henti.

Advertisement

Menurut proyeksi terbaru Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai populasi global, per April 2023, India melampaui China sebagai negara dengan jumlah penduduk terpadat di planet Bumi. Setelah secara bertahap menutup kesenjangan dengan China dari lebih dari 200 juta orang pada 2000, menjadi sedikit di atas 10 juta pada 2022, Divisi Populasi PBB memperkirakan populasi India telah menggapai angka 1,429 miliar, melampaui China—yang cukup lama memimpin peringkat dunia—dengan perbedaan hampir dua juta jiwa.

Bagi India, yang diperkirakan terus tumbuh hingga 2060-an, posisi barunya sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia akan menghadapi serangkaian tantangan baru, baik secara domestik maupun internasional. Tantangan-tantangan ini mencakup penyediaan akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, dan peluang kerja bagi semakin banyak orang, sambil tetap berperan dalam lanskap politik dan ekonomi global.

Oleh banyak pengamat, Beijing dinilai mungkin perlu menghemat “amunisi” untuk menghadapi berbagai kekhawatiran yang akan muncul. Dalam jangka panjang, Partai Komunis China harus mengkhawatirkan demografi China. “Berkat” kebijakan pemerintah seperti kebijakan satu anak, populasi di China mengalami penuaan dengan cepat. Bahkan, demografi China mulai menurun pada 2022, untuk pertama kalinya sejak 1961—ketika bencana kelaparan tiga tahun memusnahkan sebagian populasi negeri itu. Penurunan populasi di China berarti penyusutan jumlah angkatan kerja. Saat ini terdapat tiga orang dewasa usia kerja untuk setiap pensiunan di China, berdasarkan data yang dikumpulkan oleh J. Capital Research, dan pada 2050, rasio tersebut akan mencapai satu banding satu.

Tanpa melonjaknya harga properti atau pertumbuhan yang berkelanjutan, bertambahnya jumlah pensiunan akan memberikan beban berat pada jaring pengaman sosial China yang relatif minim. PDB per kapita saat ini sekitar US$12.800. Ketika Jepang mulai “berjuang” pada 1991 dengan dinamika serupa—populasi mulai menua, utang sangat tinggi, dan pertumbuhan ekonomi melambat—negeri Matahari Terbit itu telah memiliki pendapatan domestik bruto (PDB) per kapita lebih dari tiga kali lipat jumlah tersebut, yaitu US$41.266 dalam standar nilai tukar dolar AS saat ini. China akan menjadi tua sebelum kaya, sehingga semakin sedikit orang yang harus menanggung beban pertumbuhan ekonomi seiring berjalannya waktu.

“Yang benar-benar disayangkan adalah China tidak pernah memanfaatkan peluang untuk membangun jaring pengaman sosial yang komprehensif di mana masyarakat merasa mereka tidak perlu menabung banyak uang di saat sulit—untuk layanan kesehatan, pendidikan, maupun kebutuhan lainnya,” kata Charlene Chu, Direktur Pelaksana dan Analis Senior di Autonomous Research, seperti dikutip businessinsider.com beberapa waktu silam. “Sebagian besar masyarakat China merasa tidak tercukupi segala kebutuhan mereka. Inilah yang membuat peralihan ke model ekonomi berbasis dorongan permintaan [demand-driven] dalam negeri menjadi sulit.”

Jika tidak ada tindakan dramatis yang diambil pemerintah, masa depan perekonomian China akan terlihat seperti sebuah mobil tua yang bergerak lamban. Beberapa waktu lalu, Bloomberg melaporkan bahwa para pengambil kebijakan sedang mempertimbangkan stimulus sederhana sebesar US$137 miliar. Bagi ekonomi China, stimulus “segitu hanya cukup untuk memenuhi target pertumbuhan tahunan yang sudah relatif rendah, dan dianggap asal tidak menghalangi reformasi.

Kasus Real Estate

Selama beberapa tahun terakhir, pasar real estat China tenggelam dalam kesulitan. China berpenduduk 1,4 miliar jiwa, namun menurut perkiraan para ahli, China telah membangun perumahan yang cukup dihuni oleh tiga miliar penduduk. Banyak dari pembangunan besar-besaran tersebut menjadi monumen kosong dan kota hantu untuk memenuhi keinginan Beijing yang tak terpuaskan dalam mengejar pertumbuhan. Di Shenyang, para petani ramai-ramai mengambil alih pembangunan rumah-rumah kosong untuk tempat penggembalaan ternak.

Khawatir sektor ini akan melemah, Beijing berulang kali berupaya membatasi kredit yang memicu gelembung tersebut. Namun karena real estate memainkan peran sangat penting sebagai mekanisme pendanaan pemerintah, China harus terus membangun, meskipun ada berbagai kesulitan yang kini menghadang. Pihak berwenang tidak ingin mengubah cara pemerintah daerah mendanai diri mereka sendiri atau membiarkan keuangan rumah tangga China terpuruk, sehingga mereka tidak bisa membiarkan harga turun. Kecanduan kredit pun terus berlangsung.

Sistem yang didukung oleh spekulasi dan kemudahan memperoleh uang itu mulai runtuh. Country Garden, pengembang real estat terbesar di China, berada di ambang kehancuran. Sebagai tanda bahwa Beijing sudah bosan dengan permainan ini, Xu Jiayin, pimpinan Evergrande, raksasa real estate lainnya yang dinyatakan bangkrut, telah ditahan oleh pihak berwenang. Sejumlah provinsi yang kekurangan uang terpaksa meminta dana talangan—dan celakanya, pemerintah federal tidak ingin memberikannya—serta menjual berbagai aset yang menurut pemerintah daerah tidak likuid.

Sektor perbankan memunculkan bayangan kelam besar dan tidak jelas di China. Sempat menjadi tulang punggung booming bisnis real estate, sektor perbankan juga berada di bawah tekanan. Setidaknya, hal itu dapat disimak dari tingkah salah satu pengelola keuangan senilai $87 miliar, Zhongrong Trust, yang melewatkan pembayaran kepada investor musim panas ini, sehingga memicu protes.

“Kami belum berada dalam situasi di mana begitu banyak pengembang yang gagal bayar dan konsumen mempertanyakan apakah mereka harus membayar di muka untuk sebuah apartemen atau tidak,” kata Charlene Chu, Direktur Pelaksana dan Analis Senior di Autonomous Research. "Sebelumnya mereka berpikir, 'Harga naik begitu cepat, saya harus ikut serta.' Sekarang harga sedang menurun dan urgensi untuk membeli sudah hilang, jadi mereka menunggu.”

Data resmi sejauh ini menunjukkan penurunan harga yang relatif kecil, namun seperti banyak data ekonomi resmi dari Beijing akhir-akhir ini, sulit untuk menganggap angka-angka tersebut sebagai hal yang serius.

Data swasta menunjukkan harga turun sebesar 15% di kota-kota besar seperti Shenzhen dan Shanghai. Di kota-kota tingkat dua dan tiga, menurut Bloomberg, harga telah turun hingga 50%. “Delapan puluh persen dari seluruh penjualan berdasarkan wilayah berada di kota-kota tingkat tiga dan di bawahnya,” kata Chu, seraya menambahkan bahwa banyak dari kota-kota tersebut menghadapi masalah struktural jangka panjang. "Jika pasar mereka tidak kembali, seluruh pasar tidak akan kembali."

Sektor real estate adalah tanda yang paling terlihat dari memudarnya kejayaan China, namun sektor-sektor penting perekonomian lainnya juga menunjukkan tekanan. Meskipun negara-negara lain sedang berjuang melawan inflasi, China memang masih berada dalam mode deflasi. CPI bulan Agustus tercatat sebesar 0,1%, naik dari minus-0,3% pada bulan sebelumnya, menunjukkan kurangnya permintaan domestik secara keseluruhan. Kinerja ekspor—yang mencakup 40% pertumbuhan PDB negara tersebut—mencapai titik terendah dalam tiga tahun pada Juli silam, turun 14% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Angka ekspor bulan Agustus menunjukkan beberapa perbaikan, namun tetap menunjukkan kecenderungan turun 8,8% dari tahun sebelumnya.

Autonomous memperkirakan ekspor China 2003 ini akan melambat 8% dibandingkan dengan tahun lalu. Chu mengatakan bahwa pelemahan ini bukan hanya akibat dari siklus penurunan; Hal ini merupakan bagian dari pergeseran rantai pasokan lebih permanen yang disebabkan oleh ketegangan perdagangan dengan Eropa dan Amerika Serikat. Ini adalah kekuatan dahsyat yang tidak mudah dibalikkan.

Ketika perusahaan multinasional tidak lagi melihat China sebagai sumber pertumbuhan yang stabil, mereka biasanya mulai mengubah rencana investasi. Pada saat yang sama, kekhawatiran dalam negeri mengenai menyusutnya lapangan kerja dapat mengubah perilaku dasar konsumen yang—selama ini menjadi—pendorong kebangkitan China. Hal ini dapat menciptakan lingkaran setan yang semakin memperkuat diri sehingga menghambat investasi dan pengeluaran. (BC)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Pemkab Gunungkidul: Pembangunan Jalan Bantu Mengentaskan Kemiskinan

Gunungkidul
| Kamis, 07 Desember 2023, 22:27 WIB

Advertisement

alt

Jadi Kontroversi, Bar Izakaya di Jepang Tawarkan Layanan Menampar Wajah

Hiburan
| Kamis, 07 Desember 2023, 12:37 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement