Advertisement

Pengelolaan Tambang Berkeadilan untuk Masa Depan Energi Hijau

Bhekti Suryani
Rabu, 15 November 2023 - 07:15 WIB
Budi Cahyana
Pengelolaan Tambang Berkeadilan untuk Masa Depan Energi Hijau Bhekti Suryani - Dok. Pribadi

Advertisement

Kata “tambang” sering kali identik dengan kerusakan lingkungan. Membayangkan tambang, seringkali membayangkan tanah dan laut yang dikeruk, hutan yang ditebang, limbah yang mencemari sungai dan lautan atau energi fosil yang menyumbang emisi karbon, menyebabkan polusi udara.

Di sisi lain, dalam konteks kekinian, menghilangkan 100% tambang dari kebijakan pembangunan tampaknya mustahil untuk masyarakat modern. Ponsel yang kita pakai, kendaraan yang kita gunakan, energi listrik hingga berbagai kebutuhan rumah tangga membutuhkan sumber daya tambang. Bahkan, agenda menuju transisi energi juga terkait dengan eksistensi tambang. Menurut catatan Mining Industry Indonesia (Mind Id), 45% bahan kebutuhan transisi energi berasal dari tambang seperti nikel, tembaga dan alumunium. 

Advertisement

Sektor pertambangan juga tak bisa dipungkiri menjadi salah satu penggerak roda perekonomian Indonesia. Merujuk data Extractive Industries Transparency Initiative (EITI), sektor minerba berkontribusi sebesar 36,52% terhadap ekspor Indonesia pada 2022, sektor ini juga menyumbang 10,39% terhadap PDB Indonesia dan berkontribusi sebesar 20,66% terhadap pendapatan pemerintah sepanjang 2022. EITI juga mencatat pada 2022, sektor minerba menyumbang Rp5,92 triliun dari sektor pajak dan penerimaan non pajak sebesar Rp222,29 triliun. 

Pertanyaannya adalah, bagaimana mengelola sektor pertambangan yang meminimalkan kerusakan lingkungan sekaligus menjadi penopang energi hijau untuk masa depan Indonesia? 

Energi hijau dan masa depan Bumi yang lebih cerah kini menjadi cita-cita global. Indonesia adalah satu dari sejumlah negara yang meneken kesepakatan global Perjanjian Paris, untuk berkomitmen memangkas emisinya hingga 29% dengan usaha sendiri dan sampai 41% dengan bantuan internasional pada 2030. 

Di dalam negeri, Indonesia telah memulai upaya transisi dari energi fosil ke energi terbarukan dengan rencana mempensiunkan seluruh PLTU batu bara pada 2058 sebagai bagian dari strategi net zero emission pada 2060. 

Selain mempensiunkan PLTU batu bara, transisi energi ini digencarkan lewat sejumlah program antara lain menggencarkan penggunaan kendaraan listrik dan meningkatkan bauran energi baru terbarukan. Baik lewat bioenergi, Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), panel surya, pembangkit listrik tenaga mikrohidro dan berbagai energi terbarukan lainnya. Kendati demikian, sejumlah program transisi energi di atas tetap tak bisa lepas dari tambang. Panel surya dan kendaraan listrik tetap membutuhkan material tambang nikel untuk kebutuhan baterai, maupun kebutuhan solder dari mineral timah. Belum lagi potensi alumunium, tembaga dan material ikutan lainnya seperti thorium untuk pembangkit listrik tenaga thorium yang juga diwacanakan pemerintah. 

Pengelolaan Tambang Berkeadilan

Lantaran tambang tak bisa dinegasikan dalam transisi energi, maka poin pentingnya adalah bagaimana sumber daya tambang dikelola dengan tepat, mulai dari tahap ekstraksi hingga distribusi hasil tambang untuk kemanfaatan sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Artinya, pengelolaan tambang harus dilakukan secara transparan dan berkeadilan. Penulis menilai ada sejumlah rekomendasi yang bisa ditempuh dalam pengelolaan industri ekstraktif di Indonesia. 

Pertama, menambang secukupnya. Semua pihak mesti sepakat untuk menambang dalam batas yang wajar. Kebijakan eksploitasi tambang harus dilakukan secara terukur, ambil secukupnya dan tidak serakah, apalagi bila pertimbangannya hanya semata memburu rente atau untuk kepentingan segelintir elit. 

Di sini pemerintah berperan mengatur sumber daya lewat kebijakan. Eksploitasi tambang perlu fokus pada upaya mengontrol volume produksi, bukan hanya mengatur batas minimal volume material yang bisa dieksploitasi oleh perusahaan (berdasarkan skala besar kecil perusahaan) seperti yang terjadi selama ini. Sehingga sumber daya bisa dikeruk sebanyak-banyaknya, tanpa mempertimbangkan berapa banyak limbah yang dibuang dan bisa dikelola, tanpa melihat seberapa lama lingkungan bisa dipulihkan. 

Bila tak ada kontrol, bukan tidak mungkin yang terjadi saat ini adalah paradoks hijau (Sinn, 2012). Di satu sisi pemerintah mencanangkan transisi energi dengan berbagai kebijakan iklim dan lingkungan seperti rencana penerapan pajak karbon untuk mengontrol emisi karbon sektor ekstraktif, tapi di sisi lain eksploitasi tambang dipercepat dan dikeruk sebanyak-banyaknya sebelum penerapan pajak, sehingga mempercepat pelepasan emisi ke atmosfer. 

Pemerintah selayaknya berhitung, apakah tambang yang dikeruk sudah lebih dari cukup, terutama untuk memenuhi kebutuhan domestik. Logika kebijakan selama ini, tambang silakan dikeruk sebanyak-banyaknya, seluas-luasnya demi memenuhi pasar global, meski sejatinya kebutuhan domestik sudah lebih dari cukup. Logika kebijakan memenuhi “hasrat” pasar global ini misalnya terlihat dalam penambangan batu bara, timah hingga komoditas seperti kelapa sawit. International Energy Agency (IEA) memperkirakan pada 2022 Indonesia memproduksi 622 juta ton batu bara, sebanyak 76% di antaranya dipakai untuk kebutuhan ekspor. Artinya kebutuhan domestik bahkan tak sampai 40%.

Semangat untuk tidak jor-joran menambang tidak hanya terkait kontrol atas kerusakan lingkungan, menambang secara terukur juga menghemat cadangan energi. Kementerian ESDM misalnya mencatat daya tahan cadangan nikel di Indonesia tinggal 10-15 tahun. Lalu apa yang terjadi setelah 15 tahun saat cadangan habis, sementara kebutuhan material nikel tetap diperlukan ke depan untuk mendukung energi terbarukan. 

Kedua, terkait distribusi hasil tambang. Pembicaraan tambang selama ini lebih banyak berfokus pada bagaimana sumber daya diekstraksi, namun tidak banyak yang menyoroti bagaimana pendapatan dari hasil tambang ini dikelola dan distribusikan. Pemerintah perlu fokus pada “rezim” distribusi hasil tambang. Dimulai dengan mencermati lagi kebijakan fiskal penambangan saat ini apakah sudah benar-benar mengoptimalkan penerimaan negara atau tidak. Rezim fiskal merupakan seperangkat instrumen atau alat (pajak, royalti, dividen, dll) yang menentukan bagaimana pendapatan dari proyek minyak dan pertambangan dibagi antara negara dan perusahaan (NRGI, 2015). Rezim fiskal yang tepat akan menentukan apakah penerimaan negara optimal atau tidak. 

Selanjutnya, bagaimana mendistribusikan penerimaan negara dari hasil tambang ini lewat jalur yang tepat dan bagaimana masyarakat bisa mengawasi penggunaan dana dari hasil pertambangan. Dalam konteks ini mekanisme transparansi menjadi relevan. Indonesia sejatinya sudah memulai inisiatif transparansi di sektor ekstraksi dengan adanya  Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) yang menyediakan portal data ekstraktif terkait produksi dan penerimaan negara dari hasil tambang yang bisa diakses publik. Namun, terpenting ke depan adalah bagaimana data yang disediakan ini bisa disosialisasikan ke berbagai lapisan masyarakat, menjadi katalisator dan penggerak advokasi anggaran bagi kepentingan publik. Bagaimana dana hasil tambang bisa dipantau distribusinya, apakah sudah tepat sasaran atau tidak penggunaannya, sehingga data-data tersebut menjadi lebih bermakna. Transparansi hasil tambang potensial untuk menekan kebocoran anggaran. 

Tentu selain inisiatif mendorong transparansi, yang terpenting lagi adalah penegakan hukum. Pemerintah dengan kewenangannya semestinya tegas menindak secara hukum atas kebocoran penerimaan negara. Hanya negara yang kuat secara kelembagaan termasuk dari sisi hukum yang bisa lepas dari istilah “kutukan sumber daya” yang identik dengan korupsi sumber daya alam, dan ketimpangan ekonomi (Mehlum, 2006).

Ketiga, terkait partisipasi dan desentralisasi dalam hal pengawasan. Kebijakan di sektor ekstraksi semestinya membuka ruang dan melibatkan masyarakat lokal terutama mereka yang paling rentan terdampak penambangan. Warga terdampak tak hanya diberikan sosialisasi, melainkan juga didengar keinginannya dan dimusyawarahkan bagaimana penambangan ini tidak sampai merugikan mereka, bagaimana limbah dikelola, bagaimana tambang tak menghilangkan ruang hidup dan pekerjaan mereka. Ada solusi berkelanjutan yang ditawarkan ke masyarakat yang terdampak penambangan. Baik berkelanjutan secara ekonomi maupun lingkungan. Terpenting lagi, dana hasil pertambangan harus didistribusikan lebih banyak untuk mereka yang paling terdampak.

Selain pelibatan masyarakat, pengawasan sektor pertambangan juga perlu mempertimbangkan keterlibatan pemerintah daerah. Pemerintah melalui UU Minerba telah menarik kewenangan pengelolaan dan perizinan sejumlah sumber daya yang dinilai strategis ke Pusat. Konsekuensi kebijakan ini, pemerintah daerah tak berdaya atas dampak dan konflik yang timbul dari penambangan. Pemerintah daerah semestinya juga diberi kewenangan pengawasan dan menjadi mediator atas konflik yang terjadi antara Pusat atau perusahaan tambang dengan rakyat. Pengawasan yang melibatkan daerah sekaligus memastikan apakah rencana tambang sudah memenuhi ketentuan amdal atau tidak. 

Fokus ke Energi Terbarukan

Indonesia telah sepakat untuk memulai transisi energi, salah satunya mendukung energi baru terbarukan. Merujuk data BPS, hingga 2021 bauran energi terbarukan di Indonesia baru sebesar 12,16% jauh lebih kecil dibandingkan energi konvensional seperti energi fosil. 

Pemerintah bertekad meningkatkan bauran energi baru terbarukan (EBT) di angka 23% pada 2025. Indonesia sejatinya punya peluang sumber daya energi baru terbarukan. Ada potensi PLTB, PLTA, panel surya, tenaga panas bumi dan masih banyak lagi. 

Namun, target 23% pada 2025 dan besarnya potensi EBT tidak akan terealisasi bila kita tidak fokus menyukseskan penerapan EBT. Penulis menilai, pemerintah sebaiknya fokus mengembangkan energi terbarukan lewat kebijakan. Cermati regulasi-regulasi yang mempersulit penerapan energi terbarukan di Indonesia, baik oleh perusahaan maupun rumah tangga. 

Perusahaan maupun rumah tangga harus dipermudah dalam menggunakan energi terbarukan misalnya panel surya. Konsekuensinya memang akan menurunkan permintaan listrik energi konvensional dari perusahaan negara atau PLN, tapi konsekuensi itu harus dipilih bila memang kita berniat dan serius menuju transisi energi. Hapus regulasi-regulasi yang menghambat penerapan energi terbarukan.

Pemerintah perlu menyubsidi pengembangan teknologi bahkan harga energi terbarukan. Agar energi terbarukan “laku” di masyarakat, tentu harus tersedia, mudah diakses dan murah harganya. Berbagai pengembangan teknologi untuk mendukung energi terbarukan akan sia-sia bila harganya lebih mahal dari energi fosil. Energi terbarukan semestinya bisa bersaing dengan energi fosil yang selama ini telah banyak menikmati subsidi. 

Efisiensi anggaran di sektor tambang idealnya bisa digunakan untuk menyubsidi pengembangan energi terbarukan. Setidaknya pemerintah punya ambisi yang lebih besar, tak hanya bauran 23% energi terbarukan namun harus mampu menyeimbangkan porsi 50% energi terbarukan dibandingkan energi fosil dalam kurun waktu 10 tahun ke depan. 

Poin penting lainnya adalah keberagaman atau diversifikasi energi. Keragaman energi semestinya menjadi pilihan bukan keseragaman. Biarkan potensi pengembangan energi yang beragam tumbuh di berbagai daerah dengan potensinya masing-masing. Dalam konteks ini, semangat desentralisasi atau kewenangan pengelolaan energi terbarukan oleh pemerintah daerah menjadi penting untuk mengembangkan sumber daya energi terbarukan sesuai potensi wilayahnya. Buka ruang desentralisasi, sehingga pengelolaan energi tidak terpusat di perusahaan negara.

Sejumlah langkah di atas bisa menjadi kompromi atas diskursus tambang versus lingkungan. Tambang dan transisi energi semestinya bisa saling menopang bila dikelola dengan baik. Pada akhirnya, tambang semestinya menjadi berkah, baik secara ekonomi maupun lingkungan sebagai penopang energi hijau, bukan justru menjadi kutukan karena kehancuran lingkungan dan ketimpangan ekonomi yang ditinggalkannya lantaran kesalahan tata kelola. 

Bhekti Suryani 

Jurnalis Harian Jogja, Anggota The Society of Indonesian Enviromental Journalists (SIEJ) dan Mahasiswa Pasca Sarjana Departemen Politik dan Pemerintahan, Fisipol UGM 







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

KPK, Skor Survei Penilaian Integritas Pemkab Gunungkidul Turun

Gunungkidul
| Selasa, 14 Mei 2024, 15:27 WIB

Advertisement

alt

Lirik Lagu Baru Nyoman Paul Mundur Perlahan, Kembali Saja dengan yang Lalu

Hiburan
| Sabtu, 11 Mei 2024, 23:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement