Advertisement

OPINI: El Nino dan Implikasi Ekonomi

Erma Yulihastin
Rabu, 22 November 2023 - 06:07 WIB
Bhekti Suryani
OPINI: El Nino dan Implikasi Ekonomi Erma Yulihastin - JIBI

Advertisement

Sejak 1980, hanya pernah terjadi tiga kali El Nino kuat yang sering juga disebut dengan super El Nino atau El Nino ekstrem secara ilmiah (Santoso et al., 2017; Cai et al., 2020). Oleh prakirawan cuaca di Amerika Serikat, untuk memudahkan pemahaman publik, El Nino kuat yang bertahan lama juga diperkenalkan dengan istilah El Nino Godzilla, sosok monster fiktif imajinatif dalam film layar lebar besutan Hollywood. Kata Godzilla sebagai monster yang disematkan untuk menggambarkan karakter El Nino kuat inilah yang saya ubah menjadi Gorila sebagai bahasa yang lebih mudah dipahami oleh publik di Indonesia.

Perilaku Godzilla atau Gorila yang secara powerful dapat melipatgandakan kekuatannya kembali setelah melampaui tahapan yang tenang dan dikira telah terjadi pelemahan atau peluruhan inilah salah satu yang menjadi dasar penyebutan istilah Godzilla/Gorila El Nino pada kasus 2015—2016. Istilah Gorila yang sama saja dengan Godzilla ini digunakan untuk publik Indonesia agar lebih mudah memahami karakter El Nino kuat tersebut. Kata Godzilla El Nino yang awalnya dicetuskan oleh prakirawan cuaca di Amerika Serikat juga bukan sebuah istilah ilmiah, karena El Nino yang memiliki intensitas melebihi 2 derajat celsius biasa disebut dengan El Nino yang super atau ekstrem.

Advertisement

Untuk diketahui, data fluktuasi harian El Nino 3.4 selama September—Oktober 2023 yang dikaji oleh BRIN dari berbagai sumber data global telah mencapai 2C. Selain itu, dengan merujuk pada data klimatologis 1961—1990, anomali suhu permukaan laut di Pasifik timur telah pernah mencapai 3,5C dan kini 2,4C (per 5 November 2023), yang menunjukkan terdapat stok panas di laut (heat ocean budget) yang powerful untuk diadveksikan atau ditransfer menuju barat sehingga pemanasan di Samudra Pasifik dapat memanjang dan meluas.

Apalagi, data suhu global dari ECMWF menunjukkan, saat ini suhu anomali rata-rata bulanan global mencapai 1,76C (per September 2023). Kondisi ini tentu menimbulkan implikasi panas yang berlimpah atau berlebihan (overheat) sehingga suplai energi panas dari atmosfer dapat ditransfer menuju laut secara terus-menerus melalui interaksi atmosfer-laut, yang secara global dimanifestasikan dalam bentuk El Nino yang bertahan lama atau pro-long El Nino.

Implikasi
Berdasarkan riset, setiap kejadian El Nino kuat berimplikasi terhadap perlambatan ekonomi global hingga lima tahun berikutnya. Berkaca pada kasus El Nino 1997, perekonomian global menurun US$2,1 triliun pada tahun pertama dan US$4 triliun—US$5 triliun selama lima tahun berikutnya, dengan kerugian terbesar ditanggung oleh negara-negara tropis. Studi terkini juga menunjukkan pada kasus Gorila El Nino 2015, kerugian ekonomi global mencapai US$3,9 triliun.

Peneliti juga telah melakukan proyeksi hingga 2100 terhadap dampak El Nino menggunakan skenario tinggi perubahan iklim dan menunjukkan penurunan ekonomi global US$33 triliun dapat terjadi dengan mempertimbangkan tahun-tahun terjadinya El Nino.

Kajian lain bahkan mengkuantifikasi perlambatan dapat mencapai US$84 triliun jika memperhitungkan dampak lima tahun berikutnya pada setiap kejadian El Nino. Berdasarkan kajian terhadap model proyeksi yang dijalankan oleh BRIN menggunakan skenario moderat perubahan iklim, hingga 2030 dapat terjadi 2—3 kali El Nino dengan intensitas terkuat telah dan sedang kita alami saat ini (2023—2024). Pada faktanya, El Nino yang terjadi pada 2023—2024 saat ini memiliki timing yang lebih cepat satu tahun dibandingkan proyeksi moderat tersebut, karena El Nino seharusnya diproyeksikan baru berlangsung pada 2024—2026.

Oleh karena itu, asumsi bahwa emisi karbon dioksida meningkat pesat dibandingkan kenaikan yang diinginkan secara moderat juga menjadi dasar perlunya dilakukan intervensi global secara serius oleh negara-negara internasional yang berkomitmen menjaga kenaikan suhu global tidak melebihi 2C hingga 2050.

Fakta lain dari hasil model proyeksi yang kami jalankan juga menunjukkan bahwa hingga 2030, frekuensi terjadinya El Nino mencapai 2—3 kali sementara La Nina diproyeksikan terjadi sekali. Hal ini dapat dipahami sebagai bagian dari cara Samudra Pasifik mengalami proses keseimbangan setelah 2—3 tahun mengalami La Nina yang berkepanjangan.

Hal ini juga sekaligus mengonfirmasi fase kering bagi Indonesia yang membutuhkan mitigasi dari berbagai pihak. Kondisi ini tentu saja harus diantisipasi oleh Indonesia dengan segera menerapkan strategi pengamanan ekonomi nasional. Mengingat sektor paling rentan terkena dampak El Nino adalah pertanian, maka langkah strategis dari hulu ke hilir harus segera dilakukan untuk pengamanan stok pangan nasional. Selain itu, karena dampak El Nino bersifat global dan meluas tak hanya meliputi negara-negara di Asia Pasifik tapi juga di negara-negara maju di Bumi utara, maka kerja sama juga dapat dijalin melalui berbagai negosiasi di sektor perekonomian melalui skema kerja sama yang saling membantu dan menguntungkan. 

Erma Yulihastin
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Iklim & Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Tingkatkan Peran dan Fungsi Koordinasi, Pemkab Sleman Gelar High Level Meeting

Sleman
| Kamis, 30 November 2023, 21:57 WIB

Advertisement

alt

Lirik Lagu Kisinan 1&2 Denny Caknan feat Masdddho

Hiburan
| Kamis, 30 November 2023, 19:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement