Advertisement
OPINI: Senjakala Kebebasan Sipil di Era Presiden Jokowi
Advertisement
Isu hak asasi manusia (HAM) menjadi salah satu diskursus yang berkembang dan sering disebut terutama pasca-otoritarianisme pemerintahan Soeharto (Orde Baru), serta instalasi institusi demokrasi dalam skema reformasi. Menurut Olle Tornquist (2022), nilai HAM menjadi sangat krusial dalam membentuk demokrasi yang kuat dan menitik tekankan pada peran serta masyarakat dalam kerangka kewargaan (citizenship) sehingga nilai tersebut dapat diaplikasikan pada setiap warga.
Proses menuju internalisasi nilai dan eksistensi HAM dalam kerangka demokrasi deliberatif di Indonesia, menjadi sebuah tantangan yang terus menerus menemukan hambatan dan “gangguan”. Terutama sekali, ketika melihat dinamika politik dan fakta bahwa Indonesia tidak benar-benar mau lepas dari praktik “demokrasi palsu (false democracy)” yang menjadi identitas politik Orde Baru.
Advertisement
Seyogianya elemen fundamental dalam kebebasan sipil mencangkup ; 1) Kebebasan pers ; 2) Kebebasan berpendapat, berpikir, kebebasan berkumpul secara damai, dan kebebasan berserikat ; dan 3) Kebebasan akademik.
Akan tetapi, demokrasi di Indonesia menjadi semakin suram. Dalam beberapa artikel tercetus banyak pandangan mengenai fenomena situasi “defective democracy” (Mietzner, 2016), “democratic setbacks” (Hadiz, 2017), “democratic regression” (Waburton and Aspinall, 2019), “neo-authoritarianism” (Wirataman, 2018), “neo New Order” (Lindsey, 2017). Kesemuanya mempunyai satu tesis bahwa terdapat kecenderungan yang mengarah pada hancurnya sendi demokrasi di Indonesia.
Kehancuran ini bersumber dari tren penyempitan ruang sipil (civic shinking space) yang ditandai dengan variatifnya model pembungkaman, “pendisiplinan”, manipulasi, serta pemanfaatan instrumen kekuasaan negara dengan cara koersif, intimidatif, dan bahkan tanpa pertanggungjawaban atau akuntabilitas hukum.
Dramaturgi
Sebagaimana tren represifitas dan pembungkaman yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, seakan memberikan sinyal elemen yang kuat bahwa ada bentuk-bentuk pengabaian dalam melindungi kebebasan sipil dalam kerangka politik kewargaan untuk memperkuat demokrasi. Dalam aspek kebebasan pers yang terbuka dan independen masih belum banyak terdapat perbaikan kondisi.
Berdasarkan data pemantauan yang dilakukan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat, sejak pemerintahan Joko Widodo (2014-2023) terdapat sekitar 607 kekerasan yang dialami jurnalis. Ragam kekerasan tersebut mulai dari ancaman, intimidasi teror, pelarangan liputan, gangguan atau serangan digital hingga kekerasan fisik dan pelaporan hukum.
Ancaman kepada pers juga datang dari ranah digital dengan makin tingginya tingkat disrupsi berupa peretasan, profilling dan doxxing kepada awak media. Sebagaimana terjadi pada 2022, terdapat peretasan kepada lebih dari 40 jurnalis Narasi dan peretasan situs Project Multaluli. Pelemahan dan serangan terhadap institusi pers menjadi salah satu penanda betapa buruknya kualitas kebebasan sipil di era Jokowi. Tantangannya, represi media kini tak sebatas pembungkaman, melainkan serangan dengan cara manipulasi, kontra narasi, bahkan menghambat hingga mendangkalkan informasi di ruang publik.
Beranjak pada aspek kebebasan berpendapat, berkumpul dan berserikat, menunjukkan tren memprihatinkan. Dalam laporan kebebasan sipil yang diluncurkan pada 2022, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendokumentasikan total terdapat 799 pelanggaran terhadap kebebasan berekpresi dan berkumpul dengan variabel pelanggaran berupa penangkapan sewenang-wenang, teror, kriminalisasi, pembubaran paksa, pelarangan aksi bahkan penembakan.
Pelbagai pola represi secara brutal yang dilakukan oleh aparat terjadi di beberapa momentum, seperti aksi #ReformasiDikorupsi pada 2019 dan aksi menolak Omnibus Law Cipta Kerja. Pada aksi #ReformasiDikorupsi, yang digelorakan dalam kurun 23-30 September 2019, sebanyak lima orang massa aksi harus meregang nyawa.
Tak berhenti disitu, terdapat pola yang sama terus berulang, terutama pada aksi penolakan Omnibus Law. Total ada 5.198 mahasiswa ditangkap secara sewenang-wenang tanpa alasan jelas. Praktik tersebut kian menjadi-jadi, dengan digunakannya corak pendekatan represi dan manipulasi hukum dalam membatasi hak konstitusional warga.
Dalam konteks kebebasan akademik, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) mencatat terdapat 21 kasus pelanggaran terhadap kebebasan akademik pada 2021. Angka ini naik signifikan dibandingkan dua tahun sebelumnya. Korbannya adalah dosen, mahasiswa dan kelompok masyarakat sipil dengan variabel pelanggaran di antaranya serangan siber, represi terhadap aksi-aksi mahasiswa, serta kriminalisasi terhadap akademisi yang suarakan antikorupsi dan kebebasan akademik.
Opisisi Dilema, Warga Melemah
Potret di atas kemudian dipertegas dengan faktor ketiadaan oposisi yang kuat dalam mengontrol kekuasaan negara. Berdasarkan teori oposisi yang dikemukakan oleh Edward Aspinall dalam bukunya Political Opposition and the Transition from Authoritarian Rule : The Case of Indonesia, terdapat 4 kategori oposisi yakni ; a) Semi oposisi, b) Oposisi legal, c) Oposisi ilegal, d) Proto oposisi. Kategorisasi ini kemudian menjadi satu analisis yang menarik jika dilihat dalam konteks pemerintahan Jokowi. Pada konteks oposisi legal yang seharusnya menjadi kewajiban dari parlemen terhadap eksekutif sebagai sebuah bagian dari check and balances, tidak ditemukan adanya keterkaitan atau peran yang kuat untuk melakukan kontrol.
Di periode kedua Jokowi, oposisi praktis tidak ada. Hal ini disebabkan lawan politik Jokowi justru diinkorporasi masuk dalam sistem eksekutif sehingga terjadi fenomena kehampaan oposisi.
Terakhir, skema proto oposisi dengan landasan kekuatan kelompok masyarakat sipil justru tidak berdaya. Fenomena penarikan aktivis dalam lingkaran istana adalah salah satu faktor yang menggerus kekuatan kritis masyarakat sipil (Olle Tornquist, 2022). Faktor lain adalah peran masyarakat sipil yang tak terlalu strategis dalam mengawal agenda besar negara karena sibuk sebagai “pemadam kebakaran”, alih-alih merepresentasi institusi pengawasan (watchdog).
B. Mario Yosryandi Sara
Peneliti Aegis Freedom Studies, Jakarta
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Gratifikasi dan Ketidakjujuran Akademik Masih Membayangi Dunia Pendidikan
- HIKMAH RAMADAN: Tasamuh Sesama Muslim dalam Perbedaan Gerakan Salat
- HIKMAH RAMADAN: Merangkul Duka, Menemukan Cahaya
- HIKMAH RAMADAN: Meningkatkan Keterampilan Regulasi Emosi Anak saat Ramadan
- HIKMAH RAMADAN: Lansia Sehat, Berilmu, Bertaqwa, dan Bahagia
Advertisement

Truk Bermuatan Batu Alam Kecelakaan Tunggal di Piyungan, Sopir Meninggal di Tempat
Advertisement

Polisi Sebut Artis Jonathan Frizzy 6 Kali Transaksi Liquid Vape Berisi Obat Keras
Advertisement
Advertisement