Advertisement

OPINI: Waspadai Daging Sapi Langka

Rochadi Tawaf
Sabtu, 24 Februari 2024 - 06:17 WIB
Bhekti Suryani
OPINI: Waspadai Daging Sapi Langka Rochadi Tawaf - JIBI

Advertisement

Salah satu klausul perubahan UU No.18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) menjadi UU No.41/2014, adalah pelonggaran masuknya produk ternak dan hasil ternak dari negara yang belum bebas penyakit mulut dan kuku (PMK). Pada 2016, pemerintah mulai memberlakukan importasi daging kerbau beku dari India sebagai negara yang belum bebas PMK.

Dalam perkembangannya, sejak ada kebijakan tersebut importasi daging sapi dan kerbau tumbuh pesat  sebesar 35% sejak 2016—2022. Sementara itu, daging kerbau beku tumbuh 19%. Importasi daging kerbau beku menurunkan importasi sapi hidup.

Advertisement

Berdasarkan perhitungan (volume) impor sapi bakalan setara daging di 2016 sebesar 119.976 ton dan pada 2023 menjadi 56.347 ton. Menurunnya importasi sapi hidup dan meningkatnya importasi daging sapi dan khususnya daging kerbau beku dari India, mengindikasikan bahwa importasi daging kerbau beku cukup menguntungkan bagi para importir ketimbang sapi hidup. Namun, jika dianalisis lebih lanjut nilai manfaat impor sapi bakalan hidup memberikan dampak positif lebih banyak ketimbang daging beku.

Sesungguhnya importasi daging kerbau beku ini diharapkan akan terjadi harga daging sapi nasional berada di posisi Rp80.000/kilogram. Namun, realitanya harga daging kerbau beku yang terangkat ke atas. Sebagaimana diketahui bahwa harga (landed cost) daging kerbau beku berkisar Rp50.000—Rp60.000, dijual ke konsumen dengan variasi harga Rp100.000—Rp120.000. 

Kondisi lapangan menunjukkan bahwa kehadiran daging kerbau beku, memberikan peluang pedagang daging eceran mencampur daging segar yang berasal dari sapi lokal dengan daging kerbau beku. Kondisi inilah yang merugikan peternak rakyat, karena seharusnya mereka menerima keuntungan tetapi malah merugi. 

Fenomena ini, telah menurunkan gairah beternak sapi potong di dalam negeri. Apabila dilihat neraca, kebutuhan akan daging sapi terus meningkat,  sementara kemampuan produksinya menurun. Ini mengindikasikan bahwa negeri ini menuju kepada kondisi “ketergantungan impor” daging sapi yang makin melebar. 

Kondisi yang paling parah terjadi tatkala Pandemi Covid-19, wabah PMK dan LSD sehingga terjadi pengurasan populasi di dalam negeri, sedangkan importasi daging terus meningkat. Menurut BPS (2023), bahwa penurunan populasi sapi potong terjadi sangat tragis, yaitu dari populasi 18,6 juta ekor  di 2022, menjadi 11,3 juta ekor pada 2023.

Hari Raya

Melihat fenomena pada tahun politik dan terganggunya birokrasi di Kementan karena Mentan Amran Sulaeman sedang bersih-bersih SDM seusai digelandangnya Mentan SYL oleh KPK. Di sisi lain, dalam waktu dekat perlu segera dipersiapkan pengadaan sapi dan daging sapi dalam menghadapi Idulfitri dan Iduladha yang merupakan pasar besar  tahunan bagi peternakan sapi di dalam negeri.

Kendala birokrasi yang terjadi pada tahun ini, terutama lambatnya merealisasikan hasil rapat terbatas Kementerian Koordinator Ekonomi dalam menetapkan neraca kebutuhan daging sapi nasional. Kebijakan ini, ternyata baru dirilis sehingga dikhawatirkan akan terjadi dampak negatif bagi ketersediaan daging sapi di dalam negeri. Pasalnya, daging dan sapi impor sebagai substitusi tidak mungkin tersedia dalam jangka waktu yang pendek. Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh Satgas Pangan Polri menyatakan bahwa ketersediaan daging sapi segar sebagai stok indikatif jumlahnya sekitar 88.000-an ton, jumlah ini hanya cukup untuk sekitar dua bulan. 

Selain itu, jika diamati kondisi iklim dan bisnis perdagangan internasional antara Indonesia dan Australia, pada Februari—Juni, masuk musim penghujan di Australia. Kondisi ini, akan menghambat proses logistik dan transportasi ternak sapi. Kenyataan ini memperparah ketersediaan sapi di dalam negeri, karena jika pun dipaksa untuk melakukan importasi dari Australia, harga sapi hidup akan sangat mahal karena kesulitan logistik dan transportasi.

Kehawatiran peternak sapi di dalam negeri, diduga akan terjadi pengurasan populasi yang sangat tajam, yaitu pemotongan betina produktif yang harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan sapi-sapi jantan. Penelitian yang pernah penulis lakukan pada 2013, bahwa pemotongan sapi betina produktif mencapai sekitar 31%, kemungkinan besar kejadian ini akan berulang pada tahun ini.

Dalam situasi dan kondisi birokrasi sebagai dampak lambatnya kebijakan pemerintah, dan menghadapi kondisi iklim (musim hujan di Australia) dan Idulfitri, perlu segera diwaspadai ketersediaan daging sapi jelang Lebaran mendatang. Karena momentumnya hanya tinggal beberapa bulan saja. Jika momentum ini terlewatkan, maka dampak negatifnya akan terjadi kelangkaan ketersediaan daging sapi di dalam negeri dan tentunya yang terjadi adalah pemotongan sapi betina produktif secara besar-besaran. 

Akibat lanjutnya, juga yang akan jadi korban adalah  depopulasi ternak sapi perah. Hal ini terjadi, karena harga sapi akan melonjak tajam sementara harga susu tidak kondusif. Kondisi ini pernah terjadi sekitar 2012—2014. 

Agar hal tersebut tidak terjadi, peternak sapi potong dan sapi perah berharap pemerintah segera mengatur dan meluncurkan strategi kebijakan rasio impor daging/sapi dengan kemampuan produksi didalam negeri pada tahun ini. Kebijakan ini harus mampu merangsang pertumbuhan positif populasi dan produksi daging sapi di dalam negeri. 

Rochadi Tawaf

Dewan Pakar DPP Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Bukan September, Bus Sekolah di Bantul Dipastikan Mengaspal Mulai 17 Agustus 2024

Bantul
| Sabtu, 27 Juli 2024, 09:27 WIB

Advertisement

alt

Thariq Halilintar dan Aaliyah Massaid Jadi Pasangan Suami Istri, Presiden Jokowi Jadi Saksi Akad Nikah

Hiburan
| Jum'at, 26 Juli 2024, 18:37 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement