OPINI: Kebijakan Ekonomi Pemerintahan Baru
Advertisement
Minggu yang lalu telah dilaksanakan pemilihan presiden (pilpres) secara serentak di seluruh Indonesia (Rabu, 14/02/24). Hasil penghitungan suara sementara dapat diketahui baik secara hitung cepat (quick count) maupun penghitungan yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang juga disebut real count. Siapapun pemenang pilpres tahun ini, sejak 1 Oktober 2024 terbentuk pemerintahan baru.
Apakah dengan pemerintahan baru dimungkinkan akan diterapkan kebijakan ekonomi (economic policy) yang baru? Jawabnya dapat dipastikan ada kebijakan ekonomi yang melanjutkan kebijakan pemerintahan sebelumnya. Di sisi lain juga ada kebijakan ekonomi akan memperbaiki atau bahkan mengoreksi kebijakan yang lama. Bukan tidak mungkin kebijakan yang relatif baru artinya belum diterapkan oleh pemerintahan sebalumnya.
Advertisement
Seperti diketahui, setidaknya terdapat beberapa kebijakan ekonomi yang dijalankan oleh pemerintah. Kebijakan termaksud adalah kebijakan fiskal, kebijkan perdagagan luar negeri dan kebijakan di sektor riil. Untuk kebijakan moneter menjadi otoritas Bank Indonesia (BI) yang didsukung oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Jadi kebijakan dan manajemen ekonomi selama ini dijalankan oleh Pemerintah (otoritas fiskal) dan otoritas moneter (BI yang didukung OJK dan LPS.
Masalah Ekonomi
Pemerintahan baru akan memghadapi permasalahan ekonomi yang tidak berbeda dengan pemerintahan Jokowi saat ini. Masalah-masalah ekonomi termaksud adalah; (1) Tingkat kemiskinan, dimana persentase penduduk miskin sampai dengan bulan Maret 2023 mencapai 9,36%. (2) Ketimpangan pengeluaran, dimana Rasio Gini masih cukup tinggi yaitu sebesar 0,388 per Maret 2023. (3) Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sampai dengan Agustus 2023 mencapai 5,32%. (4) Perekonomian ekonomi yang relatif stagnan dengan pertumbuhan sekitar 5% per tahun. (5) Beban utang pemerintah yang terus meningkat dan pada bulan November 2023 mencapai 39,11% dari PDB (Produk Domestik Bruto).
Pemerintahan baru dengan kebijakan ekonomi yang diterapkan harus mampu mengatasi masalah-masalah tersebut. Artinya kebijakan ekonomi yang dijalankan harus mampu mengurangi tingkat kemiskinan, ketimpanga n pengeluaran, TPT dan utang pemerintah. Di samping itu, pekerjaan pemerintah yang baru harus mampu mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dari 5% per tahun, misalnya 6%-7% per tahun.
BACA JUGA: DPR Tolak Wacana Makan Siang Gratis Pakai Dana BOS
Tantangan Ekonomi
Agar mampu menjalankan kebijakan ekonomi dengan efektif, tentu Pemerintah Pusat harus mengoptimalkan sinergi dan kolaborasi kebijakan dengan BI, OJK dan LPS. Di samping itu, sinergi dan kolaborasi antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah (Provinsi, Kabupaten dan Kota) harus lebih baik. Seperti diketahui, Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan otonomi daerah termasuk dsesntralisasi fiskal sehingga kebijakan ekonomi di daerah harus sinkron atau sejalan dengan kebijakan ekonomi yang dijalankan oleh Pemerintah Pusat.
Kebijakan ekonomi pemerintahan baru juga harus mampu mengakomodasi dan menghadapi tantangan yang terkait dengan ekonomi hijau (green economy) dan turunannya (green financial, green banking, green GDP dan sebagainya), akselerasi digitalisasi (perdagangan, pembayaran, dan aktvitas ekonomi lainnya), dan hilirisasi dalam arti luas tidak hanya sektor pertambangan saja namun mencakup sektor pertanian (tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan).
Jika dicermati kebijakan ekonomi yang terkait dengan ekonomi hijau, digitalisasi dan hilirisasi saling berkorelasi satu dengan lain. Sebagai contoh, kegiatan hilirisasi di sektor pertambangan tentu harus mempertimbangan faktor kelestarian lingkungan. Agar proses hilirisasi dapat efektif dan efisien dipastikan membutuhkan dukungan teknologi digital. Demikian kebijakan yang diterapkan harus terintegrasi mulai dari proses perizinan, proses produksi dan pascaproduksi sampai dengan penjualan produk/ekspor produk.
Masalah pangan dan energi juga harus mendapat perhatian yang serius oleh pemerintahan baru mendatang. Dengan semakijn terbatasnya energi yang berbasis fosil, maka dilakukan upaya untuk mencari esumber energi baru bukan fosil. Kondisi tersebut menjadikan hasil produksi pangan dijadikan sumber energi non fosil, misalnya kelapa sawit.
Beberapa waktu yang lali pernah terjadi kelangkaan minyak goreng (migor). Setelah ditelusur langkanya migor yang berujung melonjaknya harga migor. Hal tersebut disebabkan turunnya pasokan minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) ke industri migor. Produksi CPO diekspor ke pasar dunia karea harganya lebih tinggi jika dibandingkan dijual kepada industri migor domestik. Kelangkaan dan melonjaknya harga migor beberapa tahun yang lalu, dapat mendorong harga migor di pasar dalam negeri.
Harga pangan meningkat karena turunnya pasokan di pasar karena produk domestik menurun dan pasokan impor juga turun. Seperti diketahui, beberapa produk pangan tergantung impor dari beberapa negara. Sebagai contoh, beras, jagung, kedelai dan gandum Sebagian besar masih mengimpor dan beberapa negara pengekspor pangan ke Indonesia sejak tahun lalu nmengurangi kuota ekspornya. Kondisi tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara pengimpor terdampak. Pada gilirannya harga komoditas pangan berbasis baku impor harganya terkerek meningkat. Tentu hal tersebut mendorong terjadinya inflasi yang dapat menurunkan daya beli masyarakat.
Dalam mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pemerintah baru haris benar-benar cermat dan fokus untuk mempertimbangkan, sisi penerimaan maupun pengeluaran. Sampai saat ini rezim anggaran defisi APBN tetap dijalankan, dimana defisit tersebut ditutup dengan utang luar negeri dan domestik. Pemerintahan baru nampaknya tetap akan menerapkan defisit anggaran, tentu dengan mengoptimalkan sisi penerimaan pajak dan menekan utang secara bertahap.
Catatan Penutup
Presiden baru yang terpilih nantinya akan menyusun kabinet dan menjalankan pemerintahan yang baru, termasuk kebijakan ekonomi. Seperti diketahui, siapapun presidennya akan diberi sejumlah “warisan” oleh presiden/pemerintahan periode sebelumnya. “Warisan” tersebut berupa kekayaan (baik finansial dan sumber daya alam/energi), sumber daya manusia (ASN), utang pemerintah dan sejumlah asset milik pemerintah/negara.
Presiden baru akan memilih menteri dalam kabinet yang terdiri dari orang-orang yang kepercayaan dan profesional yang berasal dari parpol pengusungnya. Selanjutnya Menteri terpilih nanti akan memilih Dirjen dan Staf Ahli yang dapat membantu tugas-tugas mereka. Di luar Menteri, Dirjen dan Staf Ahli, maka seluruh ASN (Aparatur Sipil Negara) di Kementerian Pusat/Lembaga di tingkat pusat dan daerah adalah ASN yang sudah ada sejak pemerintahan sebelumnya. Artinya sumber daya manusia (SDM) yang benar-benar baru serta dipilih langsung atau tidak langsung oleh presiden baru adalah Menteri, Pejabat setingkat Menteri, Dirjen dan Staf Ahli. Presiden baru ibarat pelatih speak bola yang boleh mengganti seluruh perangkat official (asisten pelatih, dokter tim, tukang pijat dan sebagainya namun dilarang mengganti seluruh pemain yang ada.
Berkaitan dengan hal tersebut maka dalam memilih para pembantunya harus memperhatian aspek profesional sebagai pertimbangan utama. Kemudian dapat dibarengi pertimbangan politik dan non-politik lainnya. Sehingga Menteri ataupun pejabat setingkat Menteri benar-benar dapat membantu Presiden dan sekaligus meningkatkan kinerja pemerintahan baru, khususnya bidang pembangunan ekonomi. (***)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
KPU Sleman Memprediksi Pemungutan dan Perhitungan Suara di TPS Rampung Maksimal Jam 5 Sore
Advertisement
Hanya Satu Hari, Film The Last Dance Jadi Box Office di Hong Kong
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement