OPINI: Catatan Pendek Warisan Dunia Sumbu Filosofi Yogyakarta
Advertisement
“Saya tidak yakin ada manfaat dan dampak praktis bagi warga kampung saya”
“Semakin banyak hotel, semua pindah seperti satu RT hilang mau dibangun hotel. Kelangan paseduluran, konco cilik”
Advertisement
“Sangkan Paraning Dumadi itu bisa berangkat dari bapak ibu kita sendiri, menumbuhkan rasa hormat pada orangtua seperti perilaku pamitan, cium tangan”
“Lalu lintas semrawut, banyak orang berjualan dan banyak sampah”
“Kami sudah dikumpulkan, ada sosialisasi terkait penataan, besok ndak boleh berjualan di sana lagi, njuk kami gimana?”
“Tapi kenapa tugunya kok tidak dikembalikan, malah bentengnya itu. Apakah setelah beteng baru nanti tugunya? Menurut saya kok kebalik, tapi ya itu danais sih ya!”
“Sumbu filosofi ini cukup aneh. Itu kan produk dari HB I, sekitar tahun 1756. Tapi kelihatannya dari HB II sampai HB IX agak ditinggalkan. Baru HB X ini sejak tahun 2019 mulai menggalakkan karena mau mengajukan ke UNESCO sebagai warisan budaya dunia. Mulai diberi tahu masyarakat Jogja tentang semuanya, lha dulu ngapain?”
Demikian sekelumit harapan dan kekhawatiran yang sempat kami catat saat tim Laboratorium Antropologi untuk Riset dan Aksi (LAURA) UGM menggali aspirasi masyarakat yang tinggal di kawasan Sumbu Filosofi Yogyakarta. Aspirasi masyarakat ini perlu digarisbawahi menjadi pembuka tulisan ini sebagai pengingat, bahwa penting untuk memperhitungkan dan melibatkan masyarakat secara lebih partisipatoris.
Sumbu Filosofi merupakan konsep tata ruang (kota) kerajaan, yang berada di antara Gunung Merapi dan laut selatan, serta diapit oleh masing-masing tiga sungai di sebelah barat dan timur. Menjadi ruang yang menghubungkan filosofi Sangkan Paraning Dumadi, Hamemayu Hayuning Bawana serta Manunggaling Kawula Gusti.
Kawasan ini, secara administratif berada pada 10 kelurahan dan satu kalurahan. Pada sidang Komite Warisan Dunia UNESCO di Riyadh 18 September 2023, Sumbu Filosofi Jogja ditetapkan sebagai warisan dunia dengan nama The Cosmological Axis of Yogyakarta and its Historical Landmarks, setelah dianggap memenuhi dua kriteria Outstanding Universal Value (OUV) yakni kriteria II dan III.
Pada kriteria II, Sumbu Filosofi diangap mampu menunjukkan pertukaran nilai dan gagasan kemanusiaan penting dari perjumpaan berbagai sistem kepercayaan, yang diadaptasi dan diintegrasikan dalam budaya Kasultanan Mataram selama ratusan tahun. Nilai-nilai penting yang menautkan tata ruang, arsitektural, monumen bersejarah, serta desain lanskap. Untuk kriteria III, Sumbu Filosofi menjadi saksi luar biasa terhadap peradaban dan tradisi Jawa yang hidup setelah abad ke-16. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat menjadi patron rujukan peradaban Jawa melalui aneka tradisi dan praktik budayanya.
Tata Rakiting Wewangunan merupakan jalinan konseptual terkait tata ruang, bangunan, ragam hias, tanaman, termasuk fungsi, makna dan filosofi dari masing-masingnya. Hadir pula Tata Rakit Paprintahan, Paugeran, Hajad Dalem serta aneka ekspresi dan seni pertunjukan, perayaan hari besar (Islam), teknologi senjata, tata busana, hingga masakan mataraman yang menjadi living heritage kawasan.
Kawasan warisan dunia Sumbu Filosofi memiliki atribut sejumlah 144 bangunan, yang secara garis besar terbagi dari utara adalah (1) Tugu Pal Putih, (2) Sumbu Filosofi Utara, dari Tugu ke Kraton, (3) Kompleks Kepatihan, (4) Pasar Beringharjo, (5) Kompleks Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, (6) Kagungan Dalem Masjid Gedhe Kauman, (7) Alun-Alun Lor, (8) Beteng, Plengkung dan Pojok Beteng, (9) Kompleks Tamansari, (10) Alun-Alun Selatan, (11) Sumbu Filosofi Selatan, dari Plengkung Gading menuju Panggung Krapyak, (12) Panggung Krapyak.
Kompleks Kraton di luar yang telah disebutkan, masih memiliki 97 atribut lainnya. Sementara itu Kundha Kabudayaan pada 2022 mencatat DIY memiliki 882 cagar budaya mulai tingkat kabupaten/kota hingga nasional. Sebagian dari cagar budaya tersebut berada di kawasan Sumbu Filosofi, sebagian daripadanya tidak menjadi atribut Sumbu Filosofi, sebut saja Benteng Vredeburg, Stasiun Tugu, Museum Sonobudoyo, Hotel Inna Malioboro dan lain-lain.
Rekomendasi UNESCO
Konsekuensi situs warisan dunia demi menjaga integritas, keaslian, pelindungan dan pengelolaan, Unesco memberi beberapa rekomendasi untuk dijalankan: (1) elaborasi detail pendekatan HUL (Historic Urban Landscape); (2) menyusun indikator monitoring dari atribut OUV; (3) mempertahankan moratorium pembangunan hotel dan membuat regulasi pencegahan pembangunan gedung-gedung tinggi; (4) menerapkan relokasi sukarela permukiman yang memastikan bahwa hak dan kebutuhan masyarakat terlindungi; (5) mempertimbangkan perluasan zona penyangga untuk membantu efektivitas pengelolaan tekanan pembangunan perkotaan; (6) mengembangkan rencana manajemen risiko bencana; (7) menerapkan pedoman kajian dampak warisan budaya (heritage impact assessment) pada semua proyek pembangunan perkotaan, pariwisata dan infrastruktur besar pada kawasan dan sekitarnya.
Beberapa kajian dan pelatihan dari rekomendasi-rekomendasi tersebut telah diinisiasi oleh Kundha Kabudayan melalui Unit BPKSF (Badan Pengelola Kawasan Sumbu Filosofi). Beberapa regulasi telah diterbitkan, sebut saja Keputusan Gubernur DIY 108/2017 tentang penetapan ruas jalan sepanjang Sumbu Filosofi sebagai struktur cagar budaya, juga Peraturan Gubernur DIY 44/202 tentang Analisis Dampak pada Warisan Budaya.
Pelibatan pengelolaan dan penataan, literasi kawasan warisan dunia serta proyeksi pemanfaatan demi kesejahteraan budaya, sosial dan ekonomi, menjadi isu penting bagi masyarakat, khususnya di dalam kawasan. Kawasan Sumbu Filosofi dihuni oleh beragam masyarakat, baik yang tinggal di njeron beteng maupun di luar. Ngapati, Slametan, Tedak Siten, Jagong, Selapanan, Mitoni, Brokohan, Layat, Tilik, Rewang, Nyadran, Macapatan, adalah beberapa tradisi “agraris” yang lestari pada masyarakat “urban.”
Tradisi-tradisi masyarakat ini berkelindan dengan upacara-upacara kerajaan yang dilakukan oleh Kraton. Tradisi yang hidup pada keseharian warga ini menanti rengkuhan demi memperkaya potensi-potensi budaya kawasan warisan dunia.
Jika dunia pariwisata mengenal Pentahelix aktor, maka Sumbu Filosofi memiliki Hexahelix aktor yakni pemerintah, akademisi, badan/pelaku usaha, masyarakat/komunitas, media dan (tentu saja) Kraton. Tentu, semua pihak perlu bekerja sama terkait pengelolaan kawasan warisan dunia (baru) ini, khususnya untuk mewujudkan aspirasi warga (terutama) yang tinggal di sekitar Sumbu Filosofi.
Transpiosa Riomandha
Anggota Tim Laboratorium Antropologi untuk Riset dan Aksi (LAURA) UGM
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Ini Dia 3 Karya Budaya Indonesia yang Diusulkan Masuk Menjadi WBTb ke UNESCO
Advertisement
Hanya Satu Hari, Film The Last Dance Jadi Box Office di Hong Kong
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement