Advertisement

OPINI: Diploma Disease, Pergeseran Persepsi Berkuliah

Fuandani Istiati
Kamis, 04 Juli 2024 - 11:27 WIB
Sunartono
OPINI: Diploma Disease, Pergeseran Persepsi Berkuliah Fuandani Istiati, Dosen Ilmu Komunikasi UAD. - Istimewa.

Advertisement

Belum lama ini dunia pendidikan digemparkan oleh pernyataan sekretaris direktorat jendral Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Tjitjik Sri Tjahjandarie yang menyatakan pendidikan tinggi adalah pendidikan tersier.

Pernyataan ini menuai pro kontra di kalangan masyarakat serta dilematika pendidikan Indonesia yang terlihat tidak pernah dikemas secara serius. Ketidakseriusan tersebut sudah terlihat dari perubahan kurikulum yang tidak pernah usai yang untuk implementasinya sendiri terkadang tidak tuntas. Belum lagi permasalahan keterpaksaan dan pemaksaan pendidikan, masalah kesehatan mental, beban pelaku pendidikan sehingga esensi pendidikan itu sendiri mulai kabur dan nyaris tidak tampak lagi bagi para pelakunya.

Advertisement

Dinamika Tren Kuliah

Menilik sedikit ke belakang, di era 80-an ke belakang pendidikan tinggi menjadi sebuah pilihan dan memiliki prestige tersendiri. Karena faktanya, di era itu mereka yang berkuliah memiliki pekerjaan yang lebih menjanjikan dibanding mereka yang tidak. Bahkan ada kebanggaan tersendiri bagi orang tua di masa itu yang bisa menyekolahkan di perguruan tinggi.

Fenomena ini mulai berubah seiring perkembangan zaman, dimana bukan lagi manusia yang berkembang, melainkan teknologi. Manusia berkuliah bukan lagi sebagai sekedar menuntut ilmu, tetapi gengsi. Munculnya persepsi jika tidak kuliah maka nanti tidak sama dengan yang lainnya, dan merasa termajinalkan. Padahal dunia perkuliahan adalah tempat untuk mengekplorasi pengetahuan sesuai ilmu yang ingin ditekuni. Maka, tak heran jika banyak lulusan yang pada akhirnya tidak sesuai dengan output yang direncanakan perguruan tinggi.

Kebutuhan pasar yang berubah pun menjadi salah permasalahan baru dalam dunia perkuliahan. Dilansir dari Handayani, 2015 menyebutkan, beberapa pergeseran penting yang terjadi meliputi berkembangnya pengangguran terdidik baik pengangguran terbuka, maupun terselubung sebagai akibat dari massifikasi pendidikan tinggi. Berubahnya struktur sosio-ekonomi dan politik global yang mempengaruhi pasar dunia kerja dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat sehingga menyebabkan terjadinya berbagai perubahan-perubahan mendasar dalam hal kualifikasi, kompetensi, dan persyaratan untuk memasuki dunia kerja.

Faktanya, data BPS menemukan adanya kenaikan 50.000 orang sarjana yang meningkat dalam satu tahun pada tahun 2023 dan menyumbang 7,99% pengangguran di Indonesia adalah dari kalangan sarjana dan 45% nya adalah mereka yang memulai berkuliah di tahun 2020.

Selain itu, covid-19 yang tidak bisa dipungkiri menjadi salah satu penyumbang problematika ini, dan dunia pendidikan pun merasakan dampak yang cukup signifikan, yaitu beralihnya pembelajaran secara luring ke daring. Memang pembelajaran daring bukanlah alasan dari gagalnya transformasi keilmuan, namun efektivitas transformasi ilmu dan keterampilan memang cukup menantang pada proses daring tersebut.

Selain itu, terdapat juga beberapa alasan mengapa sarjana hari ini mengalami kesulitan kerja salah satunya pengalaman dan keterampilan kerja yang dibutuhkan tidak cocok . Artinya, dalam dunia pendidikan Indonesia ilmu yang diberikan kepada mahasiswa belum mencukupi bekal kompetensi mereka di dunia kerja saat ini. Dapat disimpulkan, pendidikan tinggi merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional yang memiliki peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dalam menghadapi globalisasi di segala bidang. Dengan demikian, akses masyarakat terhadap pendidikan tinggi perlu ditingkatkan.

Revolusi Pendidikan Tinggi

Pendidikan tinggi adalah ranah andragogy dimana pendidikan perlu dirancang secara khusus dan serius untuk orang dewasa agar proses pembelajaran berpusat pada peserta didik itu sendiri. Beberapa permasalah atau problematika pendidikan tinggi di Indonesia salah satunya adalah masih rendahnya kualitas dan relevansi pendidikan, kedua, rendahnya pendidikan karakternya.

Saepudin (2004), penyebab umum kegagalan pendidikan berkenaan dengan rendahnya desain kurikulum, gedung tidak memadai, lingkungan kerja tidak menunjang, sistem dan prosedur kerja tidak cocok, pengaturan waktu tidak mencukupi, kurangnya fasilitas, sumber anggaran, dan pengembangan staff tidak memadai.

Adapun penyebab khususmya karena kegagalan tersebut muncul karena prosedur dan peraturan yang tidak dipatuhi, staf tidak memiliki keterampilan, pengetahuan dan sikap kerja sebagaimana mestinya, kurangnya motivasi, kegagalan komunikasi, serta perlengkapan yang tidak memadai.

Memaknai hal tersebut, maka pendidikan andragogy perlu menangkap keterkaitan pentingnya pendidikan karakter dan problematika umum pendidikan tinggi. Maka dari itu perlu adanya pembangunan hasrat belajar dan menghidupkan inisiatif mahasiswa agaknya menjadi hal yang perlu disadari bagi pelaku pendidik di ranah pendidikan tinggi.

Tantangan kita tidak lagi manusia, melainkan teknologi yang dapat mendikte manusia, maka perlu adanya terobosan agar teknologi ini menjadi kawan dalam pendidikan tinggi. Dengan harapan lulusan pendidikan tinggi dapat bersaing dan menjawab kebutuhan zaman yang hari ini erat kaitannya dengan teknologi.

*Dosen Ilmu Komunikasi UAD

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

KPU Kota Jogja Pastikan Caleg DPRD Terpilih Telah Daftarkan LHKPN

Jogja
| Minggu, 07 Juli 2024, 21:27 WIB

Advertisement

alt

Tampil di Prambanan Jazz, Javier 'Lenon' Parisi Apresiasi Karya Musik Indonesia

Hiburan
| Minggu, 07 Juli 2024, 05:37 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement