Advertisement
OPINI: Jangan Terjebak Dengan Greenwashing?
Advertisement
Beberapa tahun terakhir, pemasaran ramah lingkungan (Green Marketing) menjadi isu popular karena meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan. Masyarakat memahami konsep green marketing, konsep green marketing merupakan suatu praktik pemasaran yang menunjukkan kepedulian dan kenyamanan terhadap isu lingkungan. Mengikuti tren Green Marketing yang banyak diadopsi perusahaan agar tidak ketinggalan dan bahkan menjadikan perusahaan bereputasi dan unggul dibandingkan pesaing. Dengan kata lain, hal ini merupakan cara praktis bagi perusahaan untuk menonjolkan Brand image yang ramah lingkungan guna mendapatkan pelanggan dalam kampanye pemasarannya.
Lalu, seberapa pentingkah Greenwashing bagi perusahaan? Apakah itu Greenwashing? yang keberadaannya menimbulkan adanya kegagalan konsumen dalam mengembangkan interpretasi yang benar mengenai klaim ramah lingkungan dari sebuah produk maupun jasa selama proses pemrosesan informasi atau green consumer confused di Indonesia. Konsep ini merupakan banyaknya konsumen hijau yang kebingungan terhadap produk hijau yang bersebaran dan yang mereka pilih untuk digunakan sehari hari. Greenwashing dapat dikatakan sebagai sebuah praktik ketidakselarasan nilai. Ketika sebuah perusahaan (dengan sengaja atau dianggap) membuat klaim palsu mengenai inisiatif ramah lingkungan dan keberlanjutannya maka perusahaan menyatakan memiliki “nilai-nilai pelestarian lingkungan dan tersertifikasi” namun kenyataannya tidak memiliki standar atau inisiatif lingkungan apa pun. Menggunakan kata-kata yang tidak jelas seperti ramah lingkungan, organik, alami, dan hijau tanpa fakta yang mendukung klaim tersebut.
Advertisement
Selama beberapa dekade terakhir, isu terkait lingkungan dan pembangunan berkelanjutan telah menjadi fokus publik di tengah riuhnya berbagai persoalan kemanusiaan. Isu lingkungan ini terkait erat dengan fenomena pemanasan global yang berdampak serius bagi kelangsungan kehidupan di masa depan. Salah satunya ialah praktik greenwashing yang merugikan lingkungan kian marak terjadi. Istilah greenwashing pertama kali digunakan pada tahun 1986 oleh seorang ahli lingkungan yang bernama Jay Westervelt. Dia menerbitkan sebuah tulisan yang mengkritik sistem manajemen handuk di banyak hotel. Kesadaran terhadap lingkungan mendorong sejumlah produsen mengkreasi banyak produk yang diberi label tertentu dan diklaim ramah lingkungan. Produk dengan label eco-friendly, nature-friendly, biodegradable, atau save the earth belum menjamin keberlanjutan yang sesungguhnya karena ada institusi atau perusahaan yang melakukan praktik greenwashing. Di Indonesia, salah satu kebijakan yang sempat disorot publik dalam pengelolaan lingkungan dan emisi karbon adalah kebijakan tambang pasir laut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Semangat peraturan tersebut adalah melakukan pengelolaan hasil sedimentasi di laut yang berupa pasir dan lumpur secara berkelanjutan. Pengelolaan sumber daya bahari yang berkelanjutan tentu berorietasi pada lingkungan, apalagi ekosistem laut turut menyumbang wadah penyimpanan karbon. Hanya saja, di satu sisi kebijakan tersebut dikhawatirkan bakal merusak lingkungan bahari dengan diizinkannya kembali ekspor pasir laut. Tindakan kebohongan yang dilakukan secara sadar dan mutlak. Tidak ada sedikit pun upaya dalam kebijakan atau produk yang berorientasi pada pemenuhan klaim hijau. Semuanya diproduksi tanpa mempertimbangkan aspek keberlanjutan, tetapi produk tersebut langsung dipromosikan sebagai produk hijau.
Perusahaan yang menerapkan praktik Green marketing, dalam menghindari predikat greenwashing perlu melakukan beberapa tindakan. Pertama, perlu bersikap transparan: perlu diingat bahwa konsumen mengharapkan transparansi dari Brand ramah lingkungan dari lembaga penjamin yang jelas. Disertakan bukti sertifikasi (ecolabel) pada produk yang mudah ditemukan konsumen. Kedua, Berhati-hatilah dengan gambar: pastikan gambar tersebut tidak “ambigu” dapat dicontohkan terdapat cangkir kopi sekali pakai di hamparan bunga atau padang rumput hijau. Justru hal itu dapat memberikan kesan bahwa produk tersebut ramah lingkungan padahal sebenarnya tidak seperti itu. Ketiga, Klaim harus sesuai dengan nilai yang ada pada perusahaan. Perusahaan yang menggunakan pemasaran ramah lingkungan harus memastikan bahwa aktivitasnya tidak mencemari lingkungan, dan tidak melanggar peraturan yang berhubungan dengan lingkungan hidup. Terakhir, dukung klaim dengan data. Apabila memungkinkan gunakan pihak ketiga seperti lembaga riset atau organisasi untuk memverifikasi promosi yang digunakan.
Sedangkan bagi konsumen langkah paling sederhana untuk mengatasi greenwashing adalah meningkatkan kesadaran, wawasan, dan pengetahuan lingkungan. Kebanyakan orang ingin menjadi masyarakat berkelanjutan tetapi tidak tahu bagaimana melakukannya dengan benar. Pendidikan terhadap lingkungan, kampanye, dan obrolan santai dengan rekan-rekan di komunitas pecinta lingkungan hidup akan sangat membantu. Pada akhirnya, greenwashing memang merupakan sisi gelap dari tren keberlanjutan. Namun, hal itu tidak boleh menghentikan masyarakat sadar lingkungan untuk mencari solusi dan mencoba berbuat lebih baik bagi keberlangsungan manusia dan Bumi (People and Planet).
Oleh: Fauziyah Nur Jamal,S.E.,M.M.,Ph.D.
Dosen Prodi Manajemen
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Advertisement
Film Dokumenter Petrus Tayang di KlikFilm, Ini Jadwalnya
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement