Advertisement

NGUDARASA: Gempa Megathrust Tinggal Tunggu Waktu

Ahmad Djauhar, Ketua Dewan Redaksi Harian Jogja
Senin, 19 Agustus 2024 - 05:32 WIB
Maya Herawati
NGUDARASA: Gempa Megathrust Tinggal Tunggu Waktu Ketua Dewan Redaksi Harian Jogja, Ahmad Djauhar. - Harian Jogja/Hengky Kurniawan

Advertisement

Beberapa waktu terakhir di berbagai media muncul pemberitaan cukup gencar tentang kemungkinan munculnya gempa megathrust dan fenomena badai Matahari (solar storm). Kedua fenomena alam tersebut akan sangat memengaruhi keseharian kita—seperti kerusakan bangunan dan bahkan infrastruktur—dan niscaya berdampak langsung bagi perikehidupan umat manusia, baik di lokasi terdekat dengan episentrum maupun umat manusia secara keseluruhan.

Adalah Badan Meteorologi Klimatologi dan Gaofisika (BMKG) yang tetiba memberikan pemaparan  terkait dengan potensi gempa di zona megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut yang disebut tinggal menunggu waktu. Entah kapan peringatan BMKG tersebut akan menjadi kenyataan, tiada yang dapat memprediksi, termasuk peranti teknologi supercanggih sekalipun belum mampu.

Advertisement

Masyarakat di DIY tentu belum lupa terhadap peristiwa gempa Bumi 2006, yang juga dikenal sebagai gempa Bantul. Peristiwa itu merupakan gempa tektonik yang mengguncang DIY dan sebagian wilayah Jawa Tengah yang terjadi pada 27 Mei 2006. Gempa ini memiliki kekuatan 6,3 magnitudo dan berlangsung selama 57 detik.

Peristiwa naas tersebut tercatat sebagai salah satu peristiwa gempa Bumi terbesar pada 2000-an di seluruh dunia. Total korban tewas mencapai 5.778 hingga 6.234 orang, dengan 80% korban jiwa berada di Kabupaten Bantul dan Klaten. Perserikatan Bangsa-Bangsa mengklasifikasikan total kerusakan akibat gempa ini sebagai salah satu bencana ekstrem. Lebih dari 800.000 orang kehilangan tempat tinggal, dan kerugian finansial mencapai sedikitnya Rp29,1 triliun. Gempa tersebut dianggap sebagai salah satu bencana alam paling merugikan di Indonesia setelah gempa Bumi Samudra India 2004.

Gempa Yogyakarta 2006 meninggalkan jejak trauma yang mendalam bagi banyak orang, dan peringatan akan pentingnya mitigasi dan persiapan dalam menghadapi bencana alam tetap relevan hingga saat ini.

Akan halnya fenomena yang disebut sebagai megathrust diperkirakan terjadi dalam terminologi “tinggal menunggu waktu” itu, adalah zona bertemunya lempeng samudra bertemu dan menekan ke bawah lempeng benua. Tekanan yang sangat besar di zona ini dapat menyebabkan patahan dan pergeseran tiba-tiba, mengakibatkan gempa bumi besar. Pergeseran semacam ini terkadang juga dapat menyebabkan tsunami berkategori sangat dahsyat.

Indonesia disebut-sebut memiliki 16 zona megathrust yang berada pada 6 zona subduksi aktif. Dua zona yang paling diperhatikan adalah Zona Mentawai-Siberut di sepanjang batas barat Pulau Sumatra, yang dapat menyebabkan gempa hingga magnitudo 8,9 serta Zona Selat Sunda, yang diperkirakan dapat memicu gempa dahsyat dengan magnitudo 8,7. Kedua wilayah ini, menurut catatan BMKG, sudah ratusan tahun belum mengalami gempa besar, sehingga para ilmuwan memantau dengan cermat.

Lalu apa yang dapat dilakukan umat menusia ketika menerima peringatan seperti ini? Apa hanya berpangku tangan menunggu nasib? Tentu tidak. Manusia memiliki akal budi dan pengetahuan, karena itu penting untuk memahami dan persiapan sebagai bentuk mitigasi terhadap kemungkinan munculnya bencana.

Bentuk mitigasi bencana yang mendasar—sekaligus paling sederhana dan relatif mudah dilaksanakan—adalah edukasi tentang fenomena megathrust dan dampaknya, karena selain penting juga memberikan sikap antisipatif kepada bagi masyarakat. Kesadaran akan potensi pemadaman listrik, gangguan komunikasi, dan perlunya persiapan dapat membantu mengurangi risiko.

Tinggal Menunggu Waktu

Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, mengungkapkan pembahasan mengenai potensi gempa megathrust sebenarnya bukanlah hal baru, bahkan sudah ada sejak sebelum terjadi Gempa dan Tsunami Aceh 2004. "Munculnya kembali pembahasan potensi gempa di zona megathrust saat ini bukanlah bentuk peringatan dini atau early warning yang seolah-olah dalam waktu dekat akan segera terjadi gempa besar. Tidak demikian.," ujar Daryono, Kamis (15/8).

Dalam hal ini, BMKG kembali mengingatkan pengamatan para ahli bahwa Zona Megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut yang diduga sebagai zona kekosongan gempa besar (seismic gap) yang sudah berlangsung selama ratusan tahun.

Untuk itu, seismic gap ini mesti diwaspadai karena dapat melepaskan energi gempa signifikan yang dapat terjadi sewaktu-waktu. Lebih lanjut, Daryono menerangkan munculnya potensi gempa di Zona Megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut tidak ada kaitan langsung dengan peristiwa gempa kuat 7,1 magnitudo yang berpusat di Tunjaman Nankai dan mengguncang Prefektur Miyazaki Jepang.

"Menariknya, gempa yang memicu tsunami kecil pada 8 Agustus 2024 beberapa hari lalu mampu menciptakan kekhawatiran bagi para ilmuwan, pejabat negara, dan publik di Jepang akan potensi terjadinya gempa dahsyat di Megathrust Nankai," jelasnya.

Menilik perjalanan masa, gempa besar terakhir di Tunjaman Nankai terjadi pada 1946 dengan usia seismic gap 78 tahun. Sedangkan, gempa besar terakhir di Selat Sunda terjadi pada 1757 atau dengan usia seismic gap 267 tahun, sementara gempa besar terakhir di Mentawai-Siberut terjadi pada 1797 dengan usia seismic gap 227 tahun. Seismic gap adalah segmen dari patahan aktif yang dikenal dapat menghasilkan gempa bumi signifikan, tetapi belum mengalami pergeseran dalam waktu yang luar biasa lama dibandingkan dengan segmen lain pada struktur yang sama. "Artinya kedua seismic gap kita periodisitasnya jauh lebih lama jika dibandingkan dengan seismic gap Nankai, sehingga mestinya kita jauh lebih serius dalam menyiapkan upaya-upaya mitigasinya."

Hal itu yang membuat BMKG menyebut gempa di 2 megathrust wilayah tersebut tinggal menunggu waktu. Pasalnya, kedua wilayah tersebut sudah ratusan tahun belum terjadi gempa besar, namun tidak berarti akan segera terjadi gempa dalam waktu dekat.

Adapun maksud dari terma “tinggal menunggu waktu”, kata Daryono, yaitu lantaran hampir semua segmen sumber gempa di sekitarnya sudah merilis gempa besar, sedangkan Selat Sunda dan Mentawai-Siberut hingga saat ini belum terjadi. "Sudah kita pahami bersama, bahwa hingga saat ini belum ada ilmu pengetahuan dan teknologi yang dengan tepat dan akurat mampu memprediksi terjadinya gempa, sehingga kita semua juga tidak tahu kapan gempa akan terjadi, sekalipun tahu potensinya."

Ia mengimbau masyarakat untuk tetap tenang dan beraktivitas normal seperti biasa, seperti melaut, berdagang, dan berwisata di pantai. BMKG, lanjutnya, selalu siap memberikan informasi gempabumi dan peringatan dini tsunami dengan cepat dan akurat.

BACA JUGA: Jokowi Resmi Bentuk Badan Gizi Nasional, Ini Tugas dan Fungsinya

Badai Matahari

Sementara itu, badai Matahari merupakan fenomena yang menarik dan memiliki dampak signifikan. Badai Matahari terjadi ketika terjadi ledakan besar dari permukaan Matahari yang melepaskan radiasi elektromagnetik secara intens. Intensitas ledakan ini menentukan klasifikasi badai Matahari, dengan yang paling kuat adalah badai kelas X, diikuti oleh M-, C-, dan B-; dan yang terlemah adalah badai kelas A.

Penyebab utama badai Matahari adalah akumulasi energi magnetik di atmosfer surya yang kemudian dilepaskan secara tiba-tiba. Perilaku medan magnetik yang tidak stabil di permukaan Matahari sering menjadi titik asal dari badai Matahari. Badai Matahari dapat terlihat sebagai kilatan terang di wilayah tertentu dan berlangsung selama beberapa menit.

Badai Matahari mengikuti siklus surya sekitar 11 tahunan. Selama periode puncak aktivitas surya (dikenal sebagai solar maximum atawa maksimum Matahari), kutub magnet Matahari bahkan dapat terbalik. Peningkatan aktivitas matahari menghasilkan lebih banyak bintik Matahari dan energi, yang dapat memicu badai geomagnetik. Dampaknya dapat dirasakan hingga ke Bumi, termasuk pemadaman radio.

Baru-baru ini, para ahli dari Solar Cycle 25 Prediction Panel mengumumkan bahwa Matahari secara resmi memasuki siklus baru, yaitu siklus ke-25. Siklus Matahari 25 diperkirakan merupakan siklus yang cukup lemah, dengan kekuatan yang sama dengan siklus 24. Maksimum matahari diperkirakan terjadi pada Juli 2025 alias setahun mendatang, dengan puncak sekitar 115 bintik Matahari.

Meskipun puncak aktivitas diperkirakan akan terjadi sekitar 2025, dalam beberapa tahun mendatang, kita akan melihat peningkatan aktivitas Matahari. NASA telah memperingatkan tentang lonjakan aktivitas Matahari yang dapat mempengaruhi Bumi, tetapi klaim soal kiamat Internet pada 2025 akibat badai Matahari adalah hoaks dan tidak benar. Jadi, meskipun fenomena badai Matahari menarik, klaim yang beredar di media sosial perlu kita teliti dengan bijaksana.

Aktivitas Matahari selama siklus 25 menjadi perhatian para ilmuwan dan peneliti. Ketika Matahari mengalami peningkatan aktivitas, terjadi badai Matahari yang dapat memancarkan lebih banyak radiasi partikulat berenergi tinggi dan materi ke Tata Surya. Fenomena tersebut dapat menimbulkan efek berupa terciptanya electromagnetic pulse (EMP) atau badai geomagnetik di magnetosfer Bumi. Badai ini dapat mengganggu dan merusak jaringan listrik di Bumi serta satelit di orbit.

Menghadapi kedua fenomena alam tersebut, manusia memang tampak lemah dan tidak berdaya sama sekali. Hal yang dapat kita lakukan tentu saja memperbanyak permohonan ampunan kepada Sang Pencipta alam semesta ini, agar kita terhindarkan dari segala bencana, termasuk bencana non-alam yang diciptakan oleh tingkah polah manusia sendiri.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Cegah Gesekan, KPU Gunungkidul Batasi Pendukung Saat Pengundian Nomor Urut Pilkada 2024

Gunungkidul
| Jum'at, 13 September 2024, 06:47 WIB

Advertisement

alt

Dewa 19 Segera Gelar Konser All Stars 2.0, Hadirkan Musikus Terkenal Internasional

Hiburan
| Rabu, 11 September 2024, 21:17 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement