Advertisement

NGUDARASA: Mendongkrak Kualitas Gerabah Kasongan

Ahmad Djauhar, Ketua Dewan Redaksi Harian Jogja
Senin, 26 Agustus 2024 - 06:02 WIB
Maya Herawati
NGUDARASA: Mendongkrak Kualitas Gerabah Kasongan Ahmad Djauhar, Ketua Dewan Redaksi Harian Jogja - Gambar Harian Jogja - Hengky Kurniawan

Advertisement

Pekan lalu, kesampaian juga memenuhi keinginan untuk mengunjungi lagi kawasan kerajinan gerabah/tembikar Kasongan, Bantul. Tiap kali mengunjungi kawasan seni seperti Kasongan itu, saya selalu menemukan sesuatu yang inspriratif dan/atau bermanfaat untuk memuaskan wawasan batin. Karena itu, tiap kali berkunjung ke pusat kerajinan di mana pun, selalu saya manfaatkan untuk window shopping alias cuci mata ke berbagai gerai ataupun workshop milik perajin, sekadar mengetahui ada-tidaknya hal baru yang mungkin belum saya ketahui.

Seperti yang terjadi di Kasongan pekan lalu, mata saya langsung tertumbuk pada sebuah gerai benda-benda keramik. Di situ terdapat piring, pot, tempayan, mangkuk, jambangan, dan sebaginya tentu dengan oranamen khas perkakas tersebut. Secara sepintas, terlihat bahwa finishing untuk berbagai produk keramik tersebut lumayan bagus, termasuk gaya “kaca retak seribu”, dengan ornamen bunga-bungaan, flora, fauna, pemandangan alam, reproduksi keramik era kolonial, hingga kaligrafi Arab.

Advertisement

Harga produknya pun cukup bervariasi, dari Rp50.000 hingga jutaan rupiah per buah, tergantung apa produk yang kita minati. Dengan nilai uang gocap alias Rp50.000 itu, di Jakarta belum dapat memperoleh produk yang layak pajang, karena umumnya berharga selangit. Terlebih lagi bila membelinya di gerai yang berlokasi di mal atau pusat perbelanjaan mewah.

Terkecuali, kalau memiliki waktu senggang cukup leluasa, dan memiliki kemampuan tawar-menawar dengan pelapak, kita dapat memperoleh aneka produk sejenis itu dengan “harga miring” di Pasar Ular, tidak jauh dari kawasan Tanjung Priok. Aneka produk keramik itu berasal dari China dan berbagai negara bahkan, dengan kualitas prima.

Sebenarnya, saat di Kasongan itu, saya ingin membeli piring tempelan dinding berornamen kaligrafi, terutama cuplikan ayat Al-Qur’an. Sayangnya, di gerai yang saya kunjungi tersebut, hanya tersedia sejumlah produk yang merupakan hasil karya “amatiran”, bukan produk seni kaligrafi profesional. Saya sebut amatiran karena jenis khath yang tercetak tidak mengikuti kaidah penulisan kaligrafi yang baku.

Kaligrafi Arab atau yang dikenal dengan sebutan khath memiliki berbagai aliran atau genre yang baku. Kesemuanya indah menarik dan memiliki aturan standar, sehingga setiap kalimah ataupun ayah/ayat, senantiasa terlihat proporsional. Karena, untuk membuat khath tersebut, tidak asal menggoreskan kalam/pena. Contoh khath atau kaligrafi tersebut sering terlihat di berbagai tempat ibadah umat Islam—dari musala hingga masjid agung—yang biasanya memajang satu atau lebih karya tersebut.

Beberapa jenis kaligrafi Arab memiliki pola kaidah yang ditentukan dengan ketat. Jenis khath tersebut dikenal sebagai Khath Naskhi, Khath Tsuluts, Khath Farisi, Khath Diwani, Khath Jali Diwani, Khath Kufi, Khath Riq’ah, dan Khath Raihani.

Setiap jenis memiliki karakteristik dan gaya penulisan yang berbeda, dan masing-masing memiliki keindahan dan kompleksitas tersendiri. Kaligrafi Arab sering terlukis atau bahkan diukir indah pada berbagai media, seperti tembok, dinding, kertas, keramik, kanvas, dan sebagainya.

Khath atau kaligrafi jenis tsulus, misalnya, banyak ditampilkan pada kiswah—kain beludru tebal penutup dinding ka’bah di masjidil haram—sedangkan jenis naskhi lebih umum dipergunakan sebagai teks standar pada Al-Qur’an dan sejumlah buku terbitan Timur Tengah.

Kaligrafi Arab telah dikenal sejak masa kepemimpinan khalifah Utsman bin Affan pada abad ketujuh tahun Miladiyah. Utsman berupaya mengumpulkan ayat suci Al-Qur’an menjadi mushaf dan mengembangkan cara penulisan ayat-ayat—termasuk harakat/tanda baca tambahan/diacritical mark—agar umat Islam tertarik untuk membaca dan mempelajarinya. Sejak itu, kaligrafi dikenal sebagai warisan seni Islam yang menunjukkan perkembangan dan kemajuan peradaban Islam dalam segi budaya dan keilmuan.

Ekskalasi Bisnis

Kalau untuk produk gerabah lainnya, tak diragukan lagi. Di situlah tempat yang pas untuk membelanjakan uang demi memperoleh karya seni kriya berbasis gerabah itu. Mungkin ada baiknya apabila pemerintah setempat melakukan ekskalasi terhadap pusat seni gerabah dan/atau keramik Kasongan tersebut, dengan cara meningkatkan skill para perajin di sana, sehingga selain memperkaya varian produk yang mereka hasilkan, juga kualitas produk itu sendiri.

Ingatan saya langsung melayang ke Jepara, yang sangat terkenal dengan aneka produk ukir kayunya itu. Selain menghasilkan aneka produk berukir—dari relief, patung, aneka benda suvenir, mebel berukir, hingga gebyok kayu jati—yang tidak hanya diminati oleh konsumen dalam negeri, melainkan sampai manca negara. Begitu pengunjung memasuki Kota Jepara, langsung “tercium” dan “terhidang” aneka produk khas kawasan tersebut, baik yang berupa aneka bangunan maupun berbagai produk yang tersedia di pelbagai gerai sepanjang jalan maupun di berbagai pedalaman wilayah Kota Ukir itu.

Juga ketika pengunjung menginjakkan kaki di Bali, langsung terasa sensasi produk Bali yang termanifestasi pada berbagai bentuk bangunan maupun aneka produk yang menjadi penanda bahwa “Inilah Bali”.

Kalau saja Pemerintah Kabupaten Bantul mampu melaksanakan ekskalasi semacam itu, niscaya produk berbasis gerabah/keramik Kasongan akan menjadi lebih meng-internasional dan hal itu tentu akan menjadi nilai tambah bagi wilayah yang selama ini sudah terkenal dengan geplak itu.

Bukan tidak mungkin apabila produk berbasis gerabah/keramik Kasongan tersebut makin bervariasi, orang akan dengan sukarela memajang, misalnya, kaligrafi gerabah di rumah masing-masing. Saya yakin pengembangan produk berbasis tembikar itu masih memiliki potensi pengembangan yang semakin variatif. Toh selama ini tegel/ubin lantai terakota dari Kasongan, umpamanya, telah menjadi produk terapan di berbagai bangunan elite, mengingat nilai eksotisnya yang cukup tinggi itu.

Pemerintah Kabupaten Bantul sebenarnya beruntung karena memiliki aset kesenian luar biasa, termasuk kemungkinan memanfaatkan lebih jauh keilmuan dari para pakar di kampus Institut Seni Indonesia (ISI) yang berkedudukan di Bantul itu. Kalau saja Dinas Perindustrian dapat me-link-and-match-kan dengan salah satu institusi pendidikan seni ternama nasional tersebut, besar kemungkinan industri berbasis gerabah Kasongan yang selama ini mungkin diklasifikasikan sebagai usaha kecil menengah, dapat terdorong menjadi industri kriya kelas menengah-besar karenanya.

Kalau produk yang dihasilkan sudah semakin beraneka, dapat dipastikan masyarakat perajin di sana akan termotivasi untuk menciptakan produk-produk lain yang bukan tidak mungkin akan memicu permintaan konsumen hingga mancanegara. Kalau sudah demikian, sektor usaha lainnya pun—termasuk ekspedisi ekspor-impor, transportasi, kuliner, pariwisata—akan terdongkrak oleh karenanya.

Bukankah hal itu akan bermuara pada peningkatan ekonomi masyarakat secara keseluruhan dan kelak pemerintah daerah juga yang akan memetik manfaat dari kemajuan yang tentu akan memicu nilai tambah kawasan seni dan kerajinan tersebut? Sudah pasti pula industri pariwisata setempat akan terdorong pula karenanya akibat multiplier effect yang tercipta.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Dampak Perubahan Iklim, Tanaman Cabai-Melon Petani Pesisir Kulonprogo Banyak Roboh

Kulonprogo
| Senin, 16 September 2024, 13:27 WIB

Advertisement

alt

Glamor! Ini Deretan Selebritas Terkaya

Hiburan
| Jum'at, 13 September 2024, 21:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement