Advertisement
Kratom Komoditas Berpotensi, Minus Regulasi
Advertisement
Mungkin di antara pembaca yang budiman pernah mendengar kata, nama, atau istilah kratom? Jangan pertanyakan nama tersebut ke warga Yogyakarta yang sebagian besar masih dhemen dengan plesetan—atau playing words—kalau tidak ingin beroleh jawaban méngslé seperti ini: “Oh, yang diapit Alun-Alun Lor dan Alun-alun Kidul itu ya?”
“Itu kraton.. Yang saya tanyakan ini: kratom.”
Advertisement
Kratom adalah nama umum untuk tanaman Mitragyna speciosa, sebuah pohon tropis yang berasal dari Asia Tenggara. Daun tanaman ini mengandung senyawa alkaloid, termasuk mitragynine dan 7-α-hydroxymitragynine, yang memiliki efek farmakologis.
Kratom merupakan salah satu tanaman endemik di Indonesia—tepatnya di Kalimantan—serta di Thailand, Malaysia, dan Papua Niugini. Di sejumlah daerah di Kalimantan, kratom dikenal dengan sebutan daun sapat, kedemba, atau purik. Kratom telah digunakan secara tradisional di Asia Tenggara selama berabad-abad untuk berbagai tujuan, termasuk sebagai stimulan yang dapat meningkatkan energi/libido, kewaspadaan dan fokus, serta memperbaiki kesehatan kulit. Selain itu, kratom juga difungsikan untuk mengurangi rasa sakit analgesik, dan antidiare.
Namun, bagi sebagian orang lagi, kratom digunakan sebagai alternatif untuk opioid—golongan obat yang berasal dari opium atau memiliki struktur dan efek kimia yang serupa. Obat-obatan berbasis kratom ini juga bisa membuat ketagihan—seperti halnya morfin atau heroin. Pengonsumsi kratom juga berisiko pusing, mual dan muntah, mengalami konstipasi dan gejala psikotik, serta dapat menderita overdosis. Penggunaan kratom sempat menjadi kontroversi karena potensi efek sampingnya yang dinilai serius, termasuk oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Karena dianggap masih kotroversial itulah, sejumlah instansi negara seperti Kementerian Kesehatan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) diperintahkan melanjutkan riset untuk mengetahui kepastian seberapa aman kratom bagi masyarakat. Kementerian Perdagangan juga diminta mengatur tata niaga kratom agar kualitasnya terjaga.
Dengan pengelolaan yang baik, industri kratom di Indonesia sebenarnya dapat memberikan kontribusi yang lumayan bagi perekonomian nasional. Beberapa peluang yang dapat dimanfaatkan adalah Indonesia dapat menjadi salah satu pemasok kratom terbesar di dunia. Kratom dapat diolah menjadi berbagai produk turunan, seperti teh, kapsul, dan ekstrak, yang memiliki nilai tambah lebih tinggi.
Sejumlah produk berbasis kratom antara lain adalah teh kratom yang merupakan bentuk paling sederhana—daun kratom dikeringkan dan diseduh seperti teh biasa. Sedangkan kapsul kratom dibuat dari penghalusan daun kratom yang dikemas dalam kapsul untuk memudahkan konsumsi. Sedangkan ekstrak kratom mengandung konsentrasi alkaloid yang lebih tinggi dibandingkan daun utuh. Ekstrak ini bisa dalam bentuk cair atau bubuk. Format lain adalah tincture kratom yakni ekstrak kratom yang dilarutkan dalam alkohol.
Sedangkan potensi produk turunan kratom lainnya adalah minuman berenergi, karena efek stimulannya tersebut. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ekstrak kratom memiliki sifat antioksidan dan anti-inflamasi yang dapat dimanfaatkan dalam produk perawatan kulit. Kratom juga dapat diformulasikan sebagai suplemen kesehatan untuk mengatasi berbagai masalah seperti nyeri kronis dan kecemasan. Bila ditambahkan ke dalam makanan fungsional, kratom dapat memberikan manfaat kesehatan tambahan.
Namun, terdapat sejumlah tantangan yang perlu diatasi untuk menjadikan kratom sebagai salah satu primadona produk nasional, misalnya adanya stigma negatif bahwa kratom seringkali dikaitkan dengan penyalahgunaan narkoba. Pemerintah perlu melakukan kampanye edukasi untuk mengubah persepsi masyarakat tentang kratom. Tak hanya itu. Persaingan global juga menjadi tantangan tersendiri yang harus diatasi. karena Indonesia harus bersaing dengan negara-negara produsen kratom lainnya seperti Thailand dan Vietnam.
Apalagi, terdapat hambatan berupa perlakuan sejumlah negara terhadap kratom. Beberapa negara bagian di Amerika Serikat melegalkan kratom untuk penggunaan oleh orang dewasa, sementara negara bagian lainnya melarangnya. Pemerintah federal AS belum memiliki regulasi yang seragam mengenai kratom. Sebagian besar negara di Eropa melarang kratom karena dikategorikan sebagai zat psikoaktif. Kratom termasuk dalam daftar obat-obatan terlarang di Australia.
Tantangan lain berkaitan dengan regulasi kratom adalah kurangnya penelitian. Banyak hal yang belum diketahui tentang kratom, sehingga sulit untuk membuat regulasi yang tepat. Selain itu, persepsi mengenai kratom sangat beragam, baik di kalangan masyarakat maupun para ahli. Karena itu, pemerintah harus menyeimbangkan berbagai kepentingan, termasuk kesehatan masyarakat, ekonomi, dan hak asasi manusia.
Keunggulan Indonesia
Dengan kondisi iklim tropis yang mendukung pertumbuhan kratom, serta luas lahan yang tersedia, Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam industri kratom dunia. Berdasarkan catatan Kementerian Perdagangan, selama periode Januari-Mei 2023 saja, nilai ekspor kratom Indonesia ke AS, sebagai tujuan ekspor utama, mencapai US$4,86 juta. Indonesia juga mengekspor komoditas tersebut ke Jerman, India, dan Republik Cekia.
Mengingat nilai ekonomis kratom relatif tinggi, dan dianggap berpotensi sebagai sumber mata pencaharian sejumlah masyarakat itulah, pemerintah pun merasa perlu turun tangan dengan menugasi sejumlah lembaga dan instansi untuk mengatur legalitas serta tata niaga komoditas tersebut. Apalagi bagi sejumlah penduduk di Kawasan Hulu Kapuas, Pontianak, dan Ketapang yang kesemuanya di wilayah Kalimantan Bara—hampir 80% wilayah Kalbar atau sekitar 42.201 hektare merupakan lahan yang cocok untuk tanaman ini—kratom dianggap lebih menjanjikan ketimbang komoditas yang selama ini menjadi sumber pendapatan mereka a.l. karet, sawit, dan hasil hutan lainnya.
Berbagai lembaga/instansi tadi, ungkap Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan Kabinet Indonesia Maju, diharuskan menyusun standardisasi, sehingga tidak ada lagi produk kratom dari Indonesia yang mengandung bakteri E.Coli, salmonela, logam berat, dan sejumlah anasir yang menurunkan kualitas kratom dari Indonesia yang diekspor ke sejumlah negara.
Moeldoko menambahkan pemerintah merasa perlu cawe-cawe soal kratom ini a.l. untuk mengatasi keluhan masyarakat, terutama dari sekitar 18.000-an kepala keluarga di Kalbar yang kesulitan mengekspor tanaman kratom yang mereka hasilkan karena minimnya standardisasi produk dan adanya sejumlah aturan “sepihak” dari sejumlah instansi tentang kontroversi seputar kratom ini.
BNN diketahui telah merawat 133 pengguna kratom yang mengalami gejala mirip ketergantungan opioid, seperti cemas, tegang, muntah, pusing, dan mual. BPOM juga melarang penggunaan kratom sebagai bahan obat alami, ujarnya. Selain itu, Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC) tunduk pada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terkait dengan kratom. WHO akan terus memantau studi ilmiah tentang kratom dan penggunaannya secara global.
Karena itu, BNN mendukung keputusan Komisi Nasional Perubahan Klasifikasi Narkotika dan Psikotropika yang mengklasifikasikan tanaman kratom sebagai narkotika golongan I. BNN menyatakan penggunaan kratom belum diatur dalam UU Narkotika, sehingga peraturan pemerintah daerah tidak bisa membatasi penggunaannya.
Kontroversi kratom ini mengingatkan kita pada kasus serupa yang terjadi pada tanaman koka (Erythroxylum coca), tanaman perdu yang berasal dari Amerika Selatan, khususnya di lereng timur Andes di Peru, Bolivia, dan Kolombia. Tanaman ini telah digunakan selama berabad-abad oleh masyarakat adat di wilayah tersebut untuk berbagai tujuan, termasuk sebagai stimulan, obat penghilang rasa sakit, dan dalam upacara keagamaan.
Tanaman koka mengandung alkaloid yang disebut kokain, yang memiliki efek stimulan pada sistem saraf pusat. Kokain telah digunakan secara ilegal sebagai obat rekreasi, tetapi juga memiliki beberapa kegunaan medis, seperti sebagai anestesi lokal dan vasokonstriktor. Selain kokain, tanaman koka juga mengandung alkaloid lain, termasuk ecgonine, cuscohygrine, dan tropacocaine, yang juga memiliki efek farmakologis.
Tanaman koka memiliki sejarah panjang penggunaan dalam budaya dan pengobatan tradisional. Masyarakat adat di Amerika Selatan telah menggunakan tanaman ini selama berabad-abad untuk berbagai tujuan, termasuk sebagai stimulan, obat penghilang rasa sakit, dan dalam upacara keagamaan. Tanaman koka juga telah digunakan dalam pengobatan tradisional untuk mengobati berbagai penyakit, termasuk sakit kepala, sakit gigi, dan rematik.
Walaupun nama "Coca-Cola" berasal dari dua bahan utama awalnya, yaitu daun koka dan biji kola, kandungan kokain dalam minuman ini sudah dihilangkan sejak awal abad ke-20. Kokain, zat psikoaktif yang ditemukan pada daun koka, memang pernah menjadi bagian dari formula asli Coca-Cola. Namun, karena efek adiktif dan berbahaya dari kokain tersebut, perusahaan minuman ringan yang medunia itu memutuskan untuk menghilangkannya dari produk mereka.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Jalur Trans Jogja: Transportasi Menuju Tempat Wisata, Rumah Sakit, Sekolah dan Kampus
Advertisement
Pelajar SMPE Mangunan, Athalia, Tulis Buku soal Perundungan
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement