Advertisement

Menyerap Energi Soerjopranoto dari Panggung Teater

Arief Junianto
Selasa, 03 Desember 2024 - 22:57 WIB
Arief Junianto
Menyerap Energi Soerjopranoto dari Panggung Teater Pertunjukan teater yang digelar oleh Sakatoya dalam rangkaian Soerjopranoto: 6 Tubuh si Raja Mogok di SMK Ibu Pawiyatan Tamansiswa, Jogja, Senin (3/12/2024). - Harian Jogja/Arief Junianto

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Jelas tak mudah, menjaga energi untuk menggelar 6 pertunjukan dalam 6 hari dengan 6 lokasi dan 6 sutradara yang berbeda. Tak cuma sekadar pertunjukan, proyek teater bertajuk Soerjopranoto: 6 Tubuh si Raja Mogok yang digelar oleh Kelompok Sakatoya menjadi ajang refleksi betapa kesetaraan dan saling menghargai adalah unsur utama dalam kemanusiaan.

Di sore yang teduh, Selasa (3/12/2024), puluhan orang mulai berdatangan ke area SMK Ibu Pawiyatan Tamansiswa yang menjadi perhentian terakhir mereka dalam proyek teater bertajuk Soerjopranoto: 6 Tubuh si Raja Mogok.

Advertisement

Sebelum akhirnya berkumpul di SMK Ibu Pawiyatan Tamansiswa, puluhan orang itu sudah sedari pagi mendatangi sejumlah tempat untuk menapaktilasi jejak Soerjopranoto, Sang Pahlawan Nasional asal Jogja.

Setelah mendapatkan sedikit pengarahan dari guide, mereka lantas memasuki area belakang.

Di sana, seorang perempuan berkebaya menyambut. Perempuan itu adalah R.A Jauharin Insiyah. Perempuan itu lantas menyalami satu per satu orang sembari menyebut sejumlah nama.

Setelah mempersilakan duduk, perempuan itu kemudian kembali ke kursinya. Setelah sejenak terdiam, suara serempak beberapa orang meriuh. “Satu piring untuk bertiga. Satu piring untuk bertiga.”

Setelah itu, perempuan tersebut memulai kisah tentang suaminya, Soerjopranoto. Sementara puluhan orang yang hadir, khidmat mendengarkan perempuan itu bermonolog.

Lewat monolognya, Jauharin mengenangkan kisah-kisah suaminya yang dengan teguh membela kalangan “masyarakat biasa” dari kesewenang-wenangan para juragan Belanda.

Termasuk salah satunya adalah ketika Iskandar—nama kecil Soerjopranoto—dengan tegas merobek selembar ijazah Middelbare Landbouw-School (MLS/Sekolah Menengah Pertanian) miliknya sekaligus memutuskan untuk mundur dari jabatannya di Dinas Penerangan dan Penyuluh Pertanian di Wonosobo, Jawa Tengah.

“Silakan angkat kertas yang sudah Anda pegang. Ikuti saya,” teriak Jauharin sembari merobek kertas ijazah itu, diikuti oleh puluhan orang tersebut.

Menurut Jauharin, perobekan ijazah itu menjadi bukti konsistensi suaminya dalam memprotes kesewenang-wenangan para juragan Belanda terhadap kaum pribumi.

Naskah yang dipentaskan Kelompok Sakatoya yang berjudul RM Soerjopranoto tersebut sepertinya memang bukan tanpa sengaja dimainkan sebagai pentas pembuka rangkaian acara Soerjopranoto: 6 Tubuh si Raja Mogok.

Rencananya, Soerjopranoto: 6 Tubuh si Raja Mogok bakal digelar selama 6 hari, mulai dari 3-8 Desember 2024.

Di hari pertama, selain pentas RM Soerjopranoto di SMK Ibu Pawiyatan, puluhan orang sedari pagi mengunjungi sejumlah tempat yang menjadi tilas dari Soerjopranoto, yakni PG Madukismo di Padokan, Bantul; dan ziarah serta mendengarkan storytelling di Makam Soerjopranoto di Gambiran.

Itulah sebabnya, lewat pentas RM Soerjopranoto, puluhan orang tersebut seolah mendapatkan sajian penutup yang tegas.

Kesadaran mereka seperti dimunculkan lewat bentuk penuturan Jauharin akan suaminya, kesadaran akan pentingnya meneladani keteguhan sikap suaminya dalam memperjuangkan hak kalangan pribumi dari penindasan orang-orang Belanda.

“Suatu ketika, suami saya pernah bicara dengan lantang sambil membawa sebilah papan bertuliskan namanya. ‘Siapa yang mau mengambil gelar RM [Raden Mas] ini silakan. Saya tidak butuh’,” teriak Jauharin.

Bisa jadi, inilah fungsi Sutradara RM Soerjopranoto, Miftahul Maghfira Simanjuntak melibatkan penonton sebagai spect-actors.

Jika sutradara teater asal Brasil, Augusto Boal, menggunakan konsep ini lewat Teater Forum-nya untuk meneguhkan peran penonton dalam menghasilkan sebuah pertunjukan yang berkualitas dan solutif, Miftah, sapaan akrab Miftahul Maghfira Simanjuntak, seolah ingin menyampaikan “pesan khusus” kepada penonton dengan cara melibatkannya secara langsung dalam pertunjukan.

Setidaknya, lewat cara itu, Miftah bermaksud mengoneksikan penonton dengan peristiwa-peristiwa heroik Soerjopranoto, beberapa di antaranya adalah perobekan ijazah beliau serta pencoretan gelar Raden Mas (RM) dalam papan nama yang bertuliskan RM Soerjopranoto.

Lakon yang dipentaskan oleh Kelompok Sakatoya sore itu memang menjadi sajian pembuka yang apik dalam rangkaian pertunjukan proyek teater selama enam hari ke depan.

Lewat pementasan itu, penonton tidak lagi diperkenalkan dengan ‘Siapakah Soerjopranoto’, tetapi ‘Seheroik apa perjuangan Soerjopranoto dalam membela masyarakat kelas bawah’.

Soerjopranoto merupakan anak dari Kanjeng Pangeran Aryo Soeryaningrat yang tidak bisa melanjutkan takhta lantaran buta. Dia sekaligus kakak dari Soewardi Soeryaningrat yang lebih dikenal dengan Ki Hadjar Dewantara.

Sebagai keturunan ningrat dan cucu seorang raja, Soerjopranoto bisa mendapatkan segalanya—hidup bergelimang harta, kekuasaan, hingga pendidikan yang layak. Tetapi nyatanya, Iskandar—nama kecil Soerjopranoto—justru kerap berkonfrontasi dengan penguasa sehingga membuatnya tak bisa lagi menikmati segala fasilitas laiknya seorang ningrat.

Salah satu kisah yang cukup dikenang adalah ketika Soerjopranoto menempeleng seorang controleur Belanda di Tuban lantaran dia bersikap kasar terhadap seorang pribumi. Akibat ulahnya itu, Soerjopranoto pun dikeluarkan dan dipulangkan ke Jogja.

Di Jogja, Soerjopranoto kemudian diangkat sebagai Wedana Sentana Praja Paku Alaman dengan pangkat Panji dengan tugas mengurusi administrasi kerabat Paku Alaman.

Selama di Jogja, Soeryopranoto mendirikan Mardi Kaskaya pada tahun 1900. Satu tahun kemudian juga mendirikan Societeit Soetrohardjo sebuah klub yang identik dengan sebuah kelompok belajar (biblioteek).

Aktivitas ini tak pelak membuat Belanda waswas, sehingga dengan dalih melanjutkan pendidikan ke Middlebare Londbouw School (MLS) dia harus meninggalkan Jogja dan pergi ke Bogor.

Pada 1907 pendidikan di MLS Bogor selesai dan Soeryopranoto berhak atas Landbouw Kundige (Ahli Pertanian), dan Landbouw Leerar (Guru Pertanian). Dengan ijazah yang dimilikinya, dia ditugaskan di Kejajar, Wonosobo sebagai Lanbouw Consulent (Kepala Dinas Pertanian).

Di Wonosobo inilah, Soeryopranoto lantas mendirikan SI (Sarekat Islam) dan dia sendiri menjadi anggota Komisaris Central Sarekat Islam (CSI). Setelah insiden perobekan ijazah tersebut, pada 1916, Soeryopranoto mendirikan Mardi Kiswa, suatu koperasi petani, tetapi gagal. Dia pun lalu aktif dalam Boedi Oetomo (BO) dan menjadi pemimpin Adhi Dharma.

Pada 1922, terjadi pemogokan oleh pegawai pegadaian, melibatkan 3000 orang pegawai. Untuk mengatasi kekacauan ini Soerjopranoto kemudian mendirikan sebuah pertolongan korban pemogokan, dengan nama Komite Hidup Merdeka yang diketuai oleh Ki Hajar Dewantara.

Karena sikapnya yang terus terang melawan pemerintah Belanda, tak heran kalau Soerjopranoto berkali-kali harus masuk penjara. Meski begitu, di dalam penjara pun dia terus menyumbangkan pikiran dan tenaganya untuk masyarakat lewat tulisan-tulisan di surat kabar Sarekat Islam yang diasuhnya.

Bebas dari penjara di Semarang selama 6 bulan, Soerjopranoto kembali aktif berjuang. Dia juga menulis seri Ensiklopedi tentang perjuangan sosialisme. Aksinya inilah yang kemudian membuatnya kembali dibui oleh Belanda. Kali ini dia jebloskan ke penjara Suka Miskin, Bandung selama 16 bulan. Ensiklopedi yang ia susun pun disita oleh Belanda.

Minim Dramatisasi

Hanya saja, durasi pertunjukan yang tak lebih dari 60 menit membuat pemilihan peristiwa menjadi sangat terbatas. Ditambah dengan minimnya dramatisasi dan eksplorasi latar dalam pertunjukan membuat aksi heroik Soerjopranoto menjadi terasa sedikit hambar.

Selama durasi pertunjukan, penonton tak lebih sekadar mendengarkan dongeng tentang “kebengalan” Soerjopranoto.

Ninda Filasputri yang memerankan tokoh Jauharin tampak kurang fasih dalam memainkan emosi laiknya seorang istri dan ibu yang harus membesarkan 10 anak lantaran suaminya dipenjara. Belum lagi beberapa kesalahan ucap yang di satu sisi adalah hal yang lumrah dalam sebuah pertunjukan monolog, tetapi sekaligus tak bisa dimaafkan jika sudah menyangkut pembangunan emosi tokoh.

Namun, di luar celah-celah itu, pertunjukan RM Soerjopranoto tetap memukau sebagai pertunjukan pembuka.

Salah satu yang membuatnya memukau adalah konteks yang pas. Tak sekadar mengisahkan perjalanan seorang Pahlawan Nasional, pertunjukan itu sekaligus juga menjadi kritik tajam terhadap sikap penguasa dan yang dikuasai yang kerap mengabaikan unsur-unsur kemanusiaan.

6 Hari 6 Pertunjukan

Aksi-aksi heroik Soerjopranoto yang selama ini hanya dikenal dari banyak referensi itulah yang kemudian di-capture oleh Kelompok Sakatoya. Dengan dukungan dari Kementerian Kebudayaan lewat program Fasilitasi Bidang Kebudayaan Teater Kepahlawanan 2024, Sakatoya merancang pertunjukan selama enam hari penuh yang fokus pada kisah heroik dan perjuangan Soerjopranoto dalam membela hak-hak pekerja pribumi yang ditindas oleh penguasa kolonialis.

Selama enam hari, mulai dari 3-8 Desember 2024, Sakatoya yang juga berkolaborasi dengan sejumlah pelaku seni pertunjukan di Jogja, mementas kan enam pertunjukan dengan enam lakon, enam lokasi, dan enam sutradara yang berbeda.

Tak hanya pertunjukan, selama enam hari itu pula, Sakatoya mendatangkan puluhan partisipan yang berasal dari berbagai kalangan, mulai dari pelajar, akademisi, penyandang disabilitas, serikat buruh, hingga perkumpulan guru untuk menapaktilasi jejak-jejak Soerjopranoto. Beberapa titik yang didatangi adalah Pabrik Gula Madukismo, SMK Ibu Pawiyatan Tamansiswa, Masjid Gedhe dan Makam Kotagede, Aula Budi Utomo, Ndalem Suryoputran, hingga makam Soerjopranoto di Gambiran.

Produser dan Dramaturg Soerjopranoto: 6 Tubuh si Raja Mogok, BM Anggana menegaskan bahwa proyek pertunjukan ini dirancang guna membicarakan kembali nilai-nilai perjuangan Soerjopranoto yang masih sangat relevan dengan dinamika hari ini, terutama terkait dengan persoalan sosial-ekonomi yang dihadapi oleh kaum buruh dan pekerja di Indonesia. Bentuk pertunjukan dipilih sebagai upaya untuk tidak memaksakan pemampatan biografi sejarah dalam satu durasi pertunjukan bernalar prosenium, yang acapkali mereduksi narasi kecil yang penting untuk dipercakapkan.

Setelah sukses mementaskan RM Soerjopranoto, gelaran hari kedua, yakni hari ini, Rabu (4/12/2024) pukul 14.00 WIB, mereka akan mementaskan Den Mas Landung Bertukar Jalan di Pabrik Gula Madukismo, Padokan, Bantul.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terkait

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Gamelan: Problematika, Ekosistem, dan Kemajuan Kebudayaan

Jogja
| Rabu, 04 Desember 2024, 23:07 WIB

Advertisement

alt

1 Kakak 7 Ponakan Jadi Film Terbaru Yandy Laurens, Adaptasi dari Sinetron Tahun 1990-an

Hiburan
| Rabu, 04 Desember 2024, 17:57 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement